28.3 C
Jakarta

Era Khilafah; Dari Eksploitasi Perempuan Hingga Maraknya Perang

Artikel Trending

Milenial IslamEra Khilafah; Dari Eksploitasi Perempuan Hingga Maraknya Perang
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Ajakan untuk hijrah ke dalam khilafah ala HTI masih menggema di media sosial. Tidak kapok-kapok para aktivis HTI—yang kini justru banyak diwakili perempuan—menyebarkan propaganda tentang keburukan NKRI di satu sisi dan keniscayaan khilafah di sisi lainnya. Anehnya, masyarakat masih saja ada yang teperdaya, meskipun sudah dijelaskan panjang lebar bahwa khilafah ala HTI itu palsu dan hanya intrik politik belaka.

Ini semua masih berkaitan dengan momentum Muharam, yang dimanfaatkan oleh para aktivis khilafah sebagai ajang khilafahisasi umat. Yang mereka targetkan terutama kalangan remaja, dan terutama lagi perempuan. Hijrah secara kaffah yang mereka maksud adalah menegakkan khilafah. Keburukan demokrasi dan sejenisnya, semua mereka uraikan untuk menjaring umat Muslim—menjadi agen khilafahisme.

Untuk itu, sekalipun sudah banyak pembahasan ihwal kondisi Islam di era monarki adalah menarik untuk terus ditelaah. Benarkah abad pertengahan, yang oleh para aktivis HTI diklaim sebagai era khilafah, itu Islam benar-benar ideal, seperti memuliakan perempuan misalnya? Hari ini HTI menggunakan narasi eksploitasi perempuan, apakah mereka memang mengamalkan prinsip kesetaraan? Atau hanya kedok belaka?

Di sisi lain, “era monarki Islam” (saya menggunakan istilah ini karena tidak setuju abad pertengahan dianggap era khilafah, sebab khilafah itu bukan sistem pemerintahan tertentu) bukanlah masa ketenangan. Sejarawan mencatat, era tersebut diselimuti oleh konflik keras antara Islam dengan Kristen, dan lainnya. Di internal umat sendiri, perang juga menjadi sesuatu yang lumrah. Itu semua tidak dapat disangkal.

Perbudakan Perempuan

Dalam diskursus tafsir, abad pertengahan disebut sebagai abad ideologis. Pada masa itu, ideologi-ideologi mewarnai penafsiran Al-Qur’an, membuat tafsir kentara kepentingan ideologis. Salah satu yang menonjol ialah patriarkat—sistem sosial yang menguntungkan laki-laki. Tidak heran, di era itu, sebut saja era khilafah menurut HTI, perempuan itu bukan manusia. Mereka adalah barang, yang bisa diperjualbelikan.

Raja-raja Islam, mulai dari Bani Umayyah hingga Turki Utsmani, punya ratusan selir yang bisa disetubuhi kapan saja dan juga bisa dibuang kapan saja. Mereka menyebutnya hareem. Para raja itu, terutama yang tidak saleh, bahkan seenaknya saja memilih-memilah perempuan seperti tidak ada harganya sama sekali. Jadi, silakan tanya kepada para aktivis khilafah HTI, mengapa mereka menipu umat dengan berbohong tentang fakta tersebut?

Raja Moulay Ismail, misalnya, yang memimpin Maroko pada periode 1645-1727, memiliki 500 istri. Di Nusantara, Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran yang memerintah 1482-1521, punya 151 istri dan selir. Pakubuwono X, dari Kerajaan Surakarta, juga memiliki 39 selir dan dua istri. Selama dua belas abad lebih, yakni era monarki Islam, yang oleh HTI disebut era khilafah, perempuan adalah barang yang bisa diperjualbelikan. Apakah itu yang HTI bilang khilafah memuliakan perempuan?

BACA JUGA  New-Khilafah dan Pemerkosaan Demokrasi di Indonesia

Di era tersebut, kekuatan seseorang diukur melalui dua hal: seberapa banyak membunuh musuh dan seberapa banyak punya selir. Posisi musuh dan perempuan sama: sama-sama tidak ada harganya, sebatas sarana unjuk power saja. Perempuan baru terangkat derajatnya ketika Utsmani runtuh. Atau, meminjam istilah HTI: ketika khilafah runtuh. Perbudakan perempuan, seiring bubarnya monarki Islam atau era khilafah, ikut bubar. Artinya, perempuan baru dimuliakan ketika khilafah musnah.

Hijrah ke Khilafah? No!

Jadi, khilafah yang oleh HTI disebut sebagai sistem ideal, itu hoaks. Di era monarki Islam, perempuan itu derajatnya direndahkan. Selain itu, perang marak sekali terjadi. Motifnya ekspansi wilayah demi hasrat politik raja, namun diatasnamakan Islam agar umat mau ikut berperang. Kepalsuan demi kepalsuan dibangun dan hari ini, aktivis HTI melakukan hal yang sama. Mereka selalu bicara soal khilafah ini dan itu, yang padahal itu sekadar bualan belaka.

Mulai sekarang, cerdaslah. Katakan tidak untuk hijrah pada khilafah. Selain karena memang Islam tidak mengajarkan sistem politik tertentu sebagaimana diklaim para aktivis HTI, sesuatu yang mereka sebut khilafah itu hanya tentang kekuasaan dan selangkangan. Kekuasaan dalam arti di era tersebut, umat hanya berfungsi sebagai tantara perang demi nafsu kekuasaan sang raja. Ketika mereka syahid, tidak ada penderitaan: istri-istri syuhada akan jadi budak penguasa.

Selangkangan yang dimaksud ialah bahwa di era monarki tersebut, perempuan adalah objek pemuas seks, bukan manusia merdeka. Jadi, bagaimana bisa para aktivis HTI mengatakan, perempuan mulia karena khilafah? Dusta. Mereka—para perempuan yang hari ini ikut menyebarkan narasi khilafah—kelak kalau NKRI ini runtuh dan khilafah tegak, juga akan dijadikan selir. Paling-paling jadi selirnya Ismail Yusanto, Rakhmat Labib, Felix Siauw, dan dedengkot HTI lainnya.

Justru di era demokrasilah, perempuan menjadi manusia yang merdeka seutuhnya. Bukankah para perempuan yang jadi aktivis HTI itu juga diberikan kebebasan berbicara karena mereka hidup di Indonesia—negara yang demokratis? Mikir! Jangan mau ditipu para dedengkot HTI tentang khilafah. Di masa khilafah alias monarki Islam, perempuan itu sengsara. Sengsara seutuhnya. Yang berharga dari mereka, di masa itu, hanyalah selangkangannya.

Lalu sekarang ada ajakan hijrah ke khilafah? Katakan dengan lantang: tidak!

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru