27.8 C
Jakarta

Dualisme Nilai Frasa “Perempuan Bisa Melakukan Segalanya”

Artikel Trending

KhazanahPerempuanDualisme Nilai Frasa “Perempuan Bisa Melakukan Segalanya”
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Cuma perempuan yang bisa multitasking. Masak, nyuci, urusin anak, nyupirin mereka, bantuin ngerjain PR, sambil kerja atau berdagang pula, belum lagi ikut bantu-bantu di tetangga, acara di sekolah, bahkan aktif di komunitas.” Apakah ada yang merasa bangga ‘bisa’ akan hal tersebut?

Tak terkecuali saya, sih. Merasa super atau wonder, apalagi ketika mereka tahu si sulung merupakan individu berkebutuhan khusus. Orang-orang ‘seolah’ mengglorifikasi saya, yang bisa mengasuh didik si sulung, mengurus hal-hal domestik, termasuk tetap bekerja paruh waktu di sebuah lembaga budaya.

Bisakah? Bisa, tetapi apakah sekian tahun itu saya baik-baik saja? Ternyata … saya burn out. Terkena panic attack tahun 2019 setelah seorang Bapak hendak ‘menyergap’ anak saya yang autis tersebut, dengan tuduhan si sulung telah mencubit atau memukul putri kecilnya.

Sejujurnya serangan panik itu diikuti dengan bombardir perasaan yang menjatuhkan mental, ternyata saya belum berhasil mendidik anak. Bila disederhanakan, diri saya, terutama mentalnya sebenarnya tak mampu mengelola semua task itu.

Apa sih multitasking itu?

Dari berbagai sumber, saya menyimpulkan.

Ada dua jenis kemampuan multi-tasking. Jenis pertama adalah kemampuan mengelola berbagai pekerjaan mengikuti job desc rutin saja. Contoh para staf administrasi yang mengerjakan semua list pekerjaannya mulai dari menerima telpon, menyortir surat, email dan apapun informasi yang masuk, termasuk membuat laporan-laporan kepada atasannya.

Hasilnya penting completed, memenuhi target. Tak ada yang lain.

Tipe kedua adalah kemampuan untuk mengelola beberapa pekerjaan dalam waktu yang bersamaan. Sambil menunggu masakan matang, seorang perempuan bisa menjalankan mesin cuci, sambil menyapu lantai. Sambil menunggu cucian dikeringkan mesin, dia bisa duduk menyuapi balitanya makan.

Hasil dari pekerjaan itu, bisa sempurna, tapi sesekali juga meleset. Tempe saya gosong, kala kedua tangan masih mencuci panci dan wajan. Beberapa baju saya ada bekas cetak bentuk setrika, karena disambi membuat caption di hp untuk permintaan tim konten kreator. Jadi …?

Sebuah hasil riset  jurnal PLOS One pernah membongkar stereotip: hanya perempuan yang mampu multitasking dalam mengerjakan tugas.

Ternyata perempuan tidak lebih baik daripada laki-laki. Kerja otak para perempuan pun tidak lebih efisien dalam hal menyambi dibandingkan dengan laki-laki.

Meski sebelumnya, Professor Keith Laws, seorang psikolog di University of Hertfordshire dalam penelitiannya menyatakan bahwa perempuan lebih mampu merefleksikan masalah sambil terus menyeimbangkan komitmen mereka yang lain ketimbang lelaki, juga dapat mengandalkan kedua tangan dan dua otak untuk bekerja secara simultan.

Pernyataan Keith itu didukung riset yang menemukan perempuan lah yang memiliki corpus callosum. Sekelompok syaraf yang menghubungkan otak kanan dan otak kiri yang ukurannya 25% lebih besar dibanding lelaki.

Artinya, kondisi itu menunjukkan perempuan memiliki koneksi yang kuat antara bagian-bagian otak yang berlainan, sehingga dalam satu waktu perempuan mampu berpikir, mengingat, merasa, mendengar dan merencanakan suatu hal secara bersamaan.

Lalu, apakah sebenarnya ‘mampu’ multitasking itu menguntungkan, merugikan, atau bagaimana, bagi seorang perempuan?

Mitos yang Perlu Kita Tentang

Jika dalam jurnal PLOS One, disebutkan otak perempuan sesungguhnya tak bisa efisien dengan tugas ganda, mengapa masyarakat, atau sebenarnya kita, perempuan sendiri mengglorifikasi kaumnya untuk melakukan hal tersebut?

Padahal ekses glorifikasi ini ‘menambah’ beban secara tidak langsung. Sebuah temuan mengungkapkan, ketika seorang anak hadir dalam sebuah keluarga, perasaan diburu-buru atau terdesak waktu dirasakan lebih besar oleh sang ibu dibandingkan para ayah.

Pernah mendengar lelucon satire hari Ibu, tentang hadiah yang sejatinya diinginkan. Ibu A ingin ketika BAB pintu toilet tidak digedor-gedor pada hari itu. Ibu B ingin bisa menyeruput kopinya, tanpa dipanggil-panggil untuk mengganti popok anak nomor dua. Ibu C ingin bisa luluran saat mandi, tanpa dipanggil Ayah karena kedua sibling bertengkar.

BACA JUGA  Mindset Misogini, Dalang di Balik Terorisme Global

Kehadiran anak kedua, ketiga, dan seterusnya terus melipatgandakan tekanan waktu untuk para ibu dan berpotensi menyebabkan gangguan stress, termasuk perasaan tak berdaya.

Mitos tentang multitasking identik dengan perempuan juga perlu dipatahkan di tempat kerja, karena pengalokasian kerja terutama administratif ternyata banyak dibebankan kepada staf perempuan. Seperti mengatur jadwal, menyiapkan dan mengorganisir rapat, yang seharusnya bisa dilakukan setiap staf, apa pun jenis kelaminnya.

“Jangan ngeluh, deh. Bukankah perempuan juga yang menuntut persamaan atau kesetaraan. Jadi … bila hendak dianggap, semua pekerjaan siap dilakoni.” Pernyataan itu seolah membenarkan tidak apa-apa beroleh upah yang sama, tapi beban pekerjaan berbeda.

Padahal, International Labour Organization sendiri menegaskan Kesetaraan gender, atau kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, mengacu pada pemenuhan hak-hak, kesempatan dan perlakuan yang adil oleh laki-laki dan perempuan dari semua kelompok umur di segala tahapan kehidupan dan pekerjaan.

Jadi, jelas tak ada istilah semua pekerjaan, termasuk yang di luar job desc-nya wajib dipenuhi perempuan, atas nama kesetaraan, apalagi dibumbui mitos yang bisa multitasking adalah perempuan.

Hal ini makin pelik bila pekerja perempuan tersebut juga seorang ibu. Kebijakan pemerintah menjadi urgen diperlukan untuk pengaturan ketenagakerjaan yang adil gender ini. Berharap ibu bekerja optimal dan produktif, sekaligus melahirkan generasi baru, tentu memerlukan dukungan penyediaan fasilitas tempat penitipan anak di setiap kantor, serta pengaturan cuti kepada para suami saat istrinya melahirkan atau sakit, untuk membantu asuh didik anak-anak mereka.

Pekerjaan rumah pemerintah Indonesia masih sangat banyak untuk hal ini. Apalagi peraturan dan perlakuan satu tempat kerja dengan yang lain masih berbeda.

Sudahi Bilang Perempuan Bisa Segalanya

Tentu saja, hal ini perlu dimulai dari diri sendiri. Karena kebahagiaan perempuan ditentukan oleh diri sendiri juga.

Bahagia menjadi Ibu yang dicintai suami dan anak-anaknya, tidak perlu menuntut bisa menghasilkan uang atau karya untuk masyarakat.

Senang sibuk antara domestik dan kegiatan sosial, menuntut kemampuan membagi segala tugas dengan skala prioritas dan secara proporsional. Seru dengan karir dan organisasi, tak perlu tertekan dengan tuntutan berkeluarga atau kesegeraan memiliki anak.

Yuk, kita sudahi mendoktrin perempuan-perempuan, tentang superwoman atau supermom, yang menjadikan mereka percaya lebih banyak hal yang mereka lakukan, hidup mereka akan lebih bahagia. Juga memosisikan para perempuan untuk mengesampingkan kebutuhan diri mendahulukan orang lain. Karena kondisi ini lama kelamaan akan membuat perempuan mengabaikan ‘suara’ fisik dan mentalnya sendiri.

Mereka akan tak berani bersuara bila lelah, takut dianggap mengeluh, dan malu karenanya. Berorientasi terus untuk menggapai posisi super karena bisa multitasking yang ‘dibuat’ publik dengan kebutuhan diri sendiri yang terus terabaikan. Bila tidak dihentikan, hal ini juga yang tanpa sadar ‘diwariskan’ kepada anak-anaknya. Untuk mengglorifikasi kemampuan super perempuan dalam multitasking.

Kini para perempuan perlu diajarkan. Untuk bisa asertif menolak melakukan hal yang bukan kewajibannya, tidak apa-apa tidak mengerjakan apa yang tidak termasuk dalam job desk-nya, belajar menerima juga perhatian, bantuan atau dukungan orang lain, tanpa merasa bersalah (sudah merepotkan, misalnya), serta bisa memprioritaskan hal yang berarti bagi mereka.

Tentang keberanian berteguh akan pilihan hidup sendiri ini, saya teringat dosen saya, Ibu Meithy Intan, pada suatu perkuliahan bertahun-tahun yang lalu. “Nggak apa kamu mau menikah di usia berapapun. Asal, pahami dulu konsekuensi dari pilihan-pilihan itu. Menikah usia muda, mungkin menghentikan pencapaian karirmu sejenak, yang belum tentu juga kamu lanjutkan karena anak-anak, biaya rumah tangga, batas usia karir, dan lain lain. Menikah di usia lebih tua, memungkinkanmu mencapai jenjang karir tertentu dulu, tapi kesanggupan fisikmu untuk bermain dan bersenang-senang dengan anak-anak akan lebih terbatas. Bila paham semua itu, apapun pilihanmu tidak masalah.”

Ivy Sudjana
Ivy Sudjana
Aktivis Perempuan

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru