28.2 C
Jakarta

Dualisme Identitas Mantan Napiter

Artikel Trending

KhazanahTelaahDualisme Identitas Mantan Napiter
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Bakti Utomo, mantan Napiter yang saat ini sudah menjadi warga Binaan Densus 88 AT Polri, mengajak semua pihak untuk mendukung aparat dalam memberantas aksi terorisme di tanah air. Saat ini, ia menjadi Ketua Yayasan Maluku Merah Putih, sebagai bagian dari gerakan sosial pasca dipenjara. Selain Bakti Utomo, kisah lain dari mantan Napiter adalah Ali Fauzi, yang meraih gelar doktor dengan predikat Cum Laude. Gelar tersebut diraih di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Baik Ali Fauzi ataupun Bakti Utomo, merupakan salah satu representasi dari seorang mantan Napiter bahwa, tindak kejahatan yang pernah dilakukan oleh seseorang, bisa dilampiaskan dengan hal baik. Mulai dari pendidikan, hingga aktivitas sosial yang bisa mengajak orang lain untuk melawan terorisme.

Kisah kesuksesan mantan Napiter nyatanya tidak semua mulus. Ada yang justru kembali melakukan kejahatan serupa dengan modus yang berbeda. Kasus bom bunuh diri di Polsek Astana Anyar, Bandung, terungkap pelaku atas nama Sujatno (34). Pelaku merupakan mantan napi teroris (Napiter) kasus bom Cicendo. Berdasarkan kasus tersebut, diperkirakan sebanyak 10% dari narapidana teroris yang sudah dibebaskan di Indonesia, kembali melakukan atau mendukung aksi kekerasan (BBC Indonesia). Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Boy Rafli mengungkapkan pada Februari 2023 silam, sebanyak 1.036 dari total eks Napiter, 116 Napiter kembali menjadi residivis kasus terorisme. Berdasarkan dari data itu, 19 orang masih berada dalam lapas (CNN Indonesia).

Mengapa pelaku tindak kejahatan melakukan kejahatan yang sama meskipun sudah mendapatkan hukuman? Setidaknya ada beberapa faktor yang melatar belakangi seseorang residivis, di antaranya: pertama, kurangnya pendidikan. Pendidikan seseorang, berpengaruh terhadap relasi serta relasi pekerjaan. Seni untuk bertahan hidup pasca menjadi napiter, sangat sulit. Sehingga keputusan untuk tetap khidmat kepada organisasinya teroris, untuk bertahan hidup atau mendapatkan perlindungan dari kelompoknya menjadi pilihan terakhir.

Kedua, kemiskinan. Seni bertahan hidup yang dimiliki oleh mantan napiter sangat rendah. Selain dikucilkan oleh masyarakat, tidak mudah mencari pekerjaan. Kemiskinan menjadi faktor besar bagi seseorang melakukan kejahatan yang sama. Ketiga, tidak keluar dari lingkungan yang lama. Artinya sikap ‘kambuh’ untuk melakukan aksi yang sama, kemungkinan bisa terjadi. Keempat, kehancuran. Akibat stigma yang buruk dari masyarakat, pengucilan bahkan diskriminasi, mantan napiter merasa tidak memiliki ruang aman untuk hidup normal sehingga merasa hidupnya hancur dan kembali melakukan perbuatan serupa. Kelima, rehabilitas yang tidak tepat. Adanya program deradikalisasi dari pemerintah, masih perlu dipertanyakan sejauh mana efektivitas dari program tersebut, apabila masih ada mantan napiter yang sudah mengikuti program radikalisasi.

BACA JUGA  Lebaran Ketupat: Merawat Tradisi dan Ketaatan Pasca Idulfitri

Tulisan ini tidak sedang mempertanyakan seberapa besar efektivitas program deradikalisasi BNPT untuk napiter dan pendampingan kepada para mantan napiter, dalam menjalankan kehidupannya pasca dipenjara. Kita perlu menilik lebih jauh tentang bagaimana perasaan mantan napiter terkait wacana keagamaan dan kebangsaan yang ada pada dirinya. Di satu sisi, ketika ikrar kepada NKRI, ia memiliki identitas sebagai bangsa Indonesia. Menjadi bangsa yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal Indonesia. Di sisi lain, ia masih terikat dengan identitas sebagai bagian dari kelompok keagamaan yang sebelumnya diikuti, seperti tergabung dalam kelompok JAD, ISIS, MIT, dll.

Dualisme Identitas

Dhestina dalam penelitiannya, menjelaskan bahwa terdapat dua identitas yang dimiliki oleh para mantan Napiter. Dalam proses radikalisasi, identitas yang mendominasi kepada pelaku teror adalah identitas sebagai mujahid. Artinya, identitas ini lebih subordinat daripada identitas lain, termasuk identitas personalnya. Namun, ketika menjadi mantan Napiter, para perlaku teror masih mengimani nilai-nilai jihad, memiliki keinginan hidup di bawah naungan hukum Allah secara kaffah, ataupun berjihad di negara konflik.

Akan tetapi, ikrar setia kepada NKRI, menjadi identitas nasional yang dimiliki oleh Napiter. Keinginan untuk menjaga dan membela negara dan menjaga keamanan Indonesia, menjadi bagian dari identitas yang tidak terpisahkan dari bagian dari sisi personal. Dua identitas ini melekat dalam diri mantan Napiter. Kecenderungan untuk memilih menjadi residivis atau tidak, tergantung dari pelaku teror itu sendiri dengan melihat latar belakang yang dimiliki. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru