26.1 C
Jakarta

Diskursus Relasi Agama dan Pancasila

Artikel Trending

KhazanahDiskursus Relasi Agama dan Pancasila
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

“…musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan”. Pernyataan kontroversial Prof Yudian Wahyudi selaku Kepala BPIP yang baru beberapa hari dilantik  Presiden Jokowi itu sontak menimbulkan polemik. Beragam respon publik datang yang mayoritas mengecamnya.

Respon keras datang dari beberapa tokoh. Sekjen MUI meminta agar Yudian dipecat. Rohaniawan, Prof Franz Magnis Suseno mengusulkan agar BPIP dibubarlkan. Dan banyak lagi respon publik yang menggaduhkan media sosial utamanya.

Semua sebenarnya telah sepakat bahwa Pancasila sebagai dasar negara adalah final dan wajib dihormati. Pancasila merupakan anugerah Tuhan Yang  Maha Esa bagi segenap Bangsa Indonesia. Benturan Pancasila dan agama tidaklah ada. Kalaupun ada yang berupaya membenturkannya itu adalah proyek klasik yang selalu diulang-ulang. Sebagaimana pernah ditegaskan oleh Jendral AH. Nasution yang saat itu menjabat Ketua MPRS ketika diwawancarai KOMPAS. Dikatakan bahwa membenturkan Pancasila dan Islam telah dilakukan PKI kala itu.

Diskursus Islam dan Pancasila

Islam sebagai agama mayoritas, di negeri ini menjadi standar terdepan dalam memperbincangkan relasi agama dan Pancasila. Diskursus dan dinamika keislaman di Nusantara selalu ramai jika memperdebatkan korelasi antara ajaran agama dengan Pancasila dan nasionalisme.

Banyak kutub yang menempatkan kelompok atau pandangannya terkait benturan ketiga aspek tersebut. Pihak pertama menerima Pancasila dan nasionalisme serta menganggap tidak terkait agama. Pihak kedua menolak keras Pancasila dan nasionalisme, karena bertentangan dengan agama. Pihak ketiga, menerima keduanya karena masih sejalan dengan ajaran agama.

Mayoritas pendapat ulama di Nusantara dan diikuti sebagian besar kaum muslim adalah pendapat ketiga. Pendapat pihak pertama umumnya muncul dari kaum sekuleris. Sedangkan pendapat pihak kedua berpotensi bahaya menjadi bibit terorisme dan radikalisme.

Banyak faktor penyebab terjadinya perubahan ideologi, fanatisme agama yang sempit, solidaritas sosial yang keliru dan berujung pada lemahnya rasa nasionalisme sebagai bangsa Indonesia (Hartini, 2016).

Hadits paling masyhur yang menjelaskan nasionalisme adalah “Hubbul wathoni minal Iman” atau “cinta tanah air sebagian dari iman”. Pihak penolak nasionalisme menggunakan argumen bahwa hadits Maudhu’/palsu. Lepas dari derajat keshahihannya, substansi hadits ini sebenarnya tidaklah sesat.

Beberapa nash lain, baik al-Quran maupun hadits dapat digunakan menjadi rujukan terkait konsep nasionalisme dalam Islam. Nabi Ibrahim AS pernah berdoa dan diabadikan dalam al-Quran, “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa..” [al Baqarah:  126]. “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini (Mekah), negeri yang aman, dan jauhkanlah aku beserta anak cucuku daripada menyembah berhala-berhala.” [Ibrahim: 35].

Nabi Muhammad SAW juga pernah berdoa tatkala pertama kali tiba di Madinah. Doanya adalah  “Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Mekkah, atau melebihi cinta kami pada Mekkah” (HR al-Bukhari 7/161).

BACA JUGA  Serangan Moskow: Bentuk Ancaman Terorisme Itu Nyata!

Dalam al-Quran bahkan terdapat satu surat yaitu al Balad yang artinya negeri). Dalil yang menyebut kata negeri misalnya  al Balad ayat (1), Saba’ ayat (15) dan (18), serta al A’raaf ayat (137).

Aktualisasi Relasi

Relasi agama dan Pancasila tidak sekadar pada tataran diskursus namun hingga menyentuh aktualisasi ajaran. Misalnya dalam konteks nasionalisme yang sejalan antara keduanya. Konsep nasionalisme atau cinta tanah air tentunya harus karena Allah SWT.  Allah berjanji tidak akan membinasakan negeri yang tidak dzalim dan durhaka (Huud ayat 117).Sebaliknya, akan membinasakan negeri yang durhaka dan penuh kedzaliman (Al Haaqqah (9) dan Al Israa’ (16)).

Jiwa nasionalismelah yang menggelorakan perjuangan kemerdekaan oleh para pahwalan yang banyak berlatar belakang muslim bahkan ulama. Sebut misalnya Sultan Hairun, Sultan Nuku, Sultan Hasanuddin, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Sisingamangaraja,Tuanku Imam Bonjol, Teuku Cik di Tiro, Pangeran Diponegoro, dan lain-lain.

Di ranah global muncul Syekh Jamaluddin Al Afghani dari Mesir. Beliau seorang tokoh modernis Islam, yang sangat gigih menyerukan kepada umat Islam untuk melawan kolonialisme dan imperialisme. Langkah nyata beliau lakukan pada tahun 1879 dengan mendirikan Partai Nasional (Hizbul Wathan) di Mesir.

Selanjutnya terkait Pancasila, Karim (2011) menyatakan bahwa Pancasila adalah Maqasid Syariah tafsiran Indonesia. Hal ini dilandaskan pada kitab al Muwafaqat karya Imam al Syathibi. Kitab ini menjelaskan konsep al maqasid al syariah agar para ulama dalam mengambil penafsiran fikih selalu berpegang pada maksud hakiki syariah, berpegang pada roh syariah, bukan sekadar pada formalitasnya.

Maqasidus Syariah mengandung lima hal, yaitu melindungi agama yang dalam Pancasila disebut ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Kedua, melindungi jiwa yang dalam Pancasila disebut ‘Perikemanusiaan yang adil dan beradab’. Ketiga, melindungi keutuhan keluarga besar yang dalam Pancasila disebut ‘Persatuan Indonesia’. Keempat, melindungi akal pendapat yang dalam Pancasila disebut ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’. Kelima, melindungi hak atas harta yang dalam Pancasila disebut ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’. Kemiripan ini diyakini sebagai faktor yang menyebabkan gagasan Pancasila sebagai dasar negara mendapat dukungan penuh dari bangsa ini yang mayoritas muslim.

Kesepakatan mayoritas ulama di Indonesia terkait kedudukan Pancasila ada tiga hal (Fathur, 2015). Pertama, Pancasila bukan agama dan tidak bisa menggantikan agama. Kedua, Pancasila bisa menjadi wahana implementasi Syariat Islam. Ketiga, Pancasila dirumuskan oleh tokoh bangsa yang mayoritas beragama Islam.

Pancasila dan nasionalisme selayaknya tidak dibenturkan dengan agama. Nyatanya bahkan sejalan dengan nafas ajaran Islam. Penolakan terhadap Pancasila dan nasionalisme patut diwaspadai agar tidak atraktif dan membuahkan gerakan. Sebaliknya sikap anti agama juga tidak sejalan dengan Pancasila.

Oleh: RIBUT LUPIYANTO

Penulis, adalah Deputi Direktur  Center for Public Capacity Acceleration (C-PubliCA)

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru