28.4 C
Jakarta

Curhatan Diva (Bagian XXII)

Artikel Trending

KhazanahOpiniCurhatan Diva (Bagian XXII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Berdua mengintip senja kala itu serasa di depan mata. Momen itu terkesan berharga dalam hidup Diva. Catatan harian diwarnai kegembiraan. Belum ada momen membahagiakan selain kebersamaan. Tidak penting cinta diumbar, cukup dirasakan berdua saja, karena itu cara terindah.

Suatu malam Diva duduk seorang diri di beranda bilik. Melihat menara masjid yang pertama kali pertama dipandang saat menginjakkan kaki di pesantren. Cinta membahagiakan seakan tidak mau melepaskannya. Inginnya cinta ini menjulang setinggi menara masjid.

Entahlah, kenapa saat melihat menara masjid rasanya tidak mau melepaskannya. Ingin rasanya menulis mimpi masa depan di puncak menara. Tapi, ini hanya mimpi seakan sulit berada di sana. Karena statusnya santri putri, sementara menara itu berada di area pesantren putra. Diva memotivasi dirinya untuk tidak patah semangat. Suatu saat aku akan menulis cerita yang indah di atas manara sembari mengintip senja, batinnya.

Sebuah bolpoin yang digenggamnya menari-nari di buku diarynya. Menulis yang dirasakan, termasuk yang terbersit dalam benak.

Pesantren kini menjeratku dalam sebuah kata, cinta. Apa itu cinta? Ah… aku makin tidak mengerti. Cinta itu menyenangkan aja dah. Hehehe.

Kok cinta jadi lucu ya. Bisa buat aku ketawa sendiri. Tapi, aku nggak gila, kan?! Hmmm aku masih ingat kok. Mungkin aku gila cinta aja. Hehehe.

Malam ini menemaniku seorang diri. Kesunyian ternyata tidak selamanya menyebalkan. Buktinya, aku senang kok. Aku bisa tersenyum sendiri.

Fairuz! Kau siapa sih? Tiba-tiba datang mengetuk hati ini. Aku terperanjat tahu. Karena, aku terlelap dalam tidur yang menyebalkan. Aku bahagia membukakan pintu jika kau yang datang.

Kita baru ketemu kemarin. Itu hanya sebentar. Tapi, nggak apa-apa. Biar Tuhan mempertemukan kita nanti. Entah, kapan ya.

Kau datang membawa kado cinta saat senja mengintip di tepi danau. Sore itu rasanya tidak cepat berlalu. Begitu malam menjelang kau serahkan kado itu dan kubuka. Ternyata, itulah cinta ya.

Malam ini begitu membahagiakan. Tidak ingin berhenti menulis. Menulis yang telah usai.

Buku diary dibaca ulang dan ia pun senyum sendiri. Selain belajar kepada Nadia, Diva rutin menulis diary. Menulis diary adalah cara termudah berlatih menulis. Apa yang terlintas di benak bisa langsung ditulis, baik cerita bahagia seperti cerita Diva di atas ataupun cerita menyedihkan semisal cerita Diva yang sudah-sudah. Sebelum tidur ingin rasanya melihat menara kembali. Diva merindukan Fairuz. Maunya bertemu, tapi tidak bisa, karena peraturan pesantren yang amat ketat. Bisa-bisa dipulangkan jika ketahuan berkhalwat. Tak ada cara untuk membingkai rindu ini selain curhat di buku diary, karena tulisan akan menjadi saksi yang abadi. Di samping itu, boleh jadi dengan doa, karena tak ada hadiah yang paling indah selain doa.

BACA JUGA  Pilpres, Momentum Berbaik Sangka Sesama Bangsa

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru