27.6 C
Jakarta

Bisakah Mendirikan Negara Islam di Era Modern?

Artikel Trending

KhazanahPerspektifBisakah Mendirikan Negara Islam di Era Modern?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis tentang judul di atas yang menyangkut persoalan tentang fenomena Islam dan politik kontemporer. Berawal dari adanya diskurus tentang penafsiran Islam sebagai agama yang menyeluruh (Islam kammil) telah melahirkan berbagai tafsiran dari banyak kalangan. Dalam konteks perpolitikan global, setidaknya gejala tentang Islam sebagai politik (pejuang khilafah) ditandai dengan munculnya berbagai organisasi Islam dengan beragam cita-cita. Misalnya Hizb Tahrir (HT), Ikhwanul Muslimin (IM), Jamaah Islamiyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Semua organisasi tersebut memahami arti Islam sebagai ajaran yang menyeluruh dalam bentuk politis.

Secara umum terdapat dua faktor yang menyebabkan munculnya organisasi tersebut. Pertama faktor internal umat Islam; kedua faktor eksternal yang disebabkan karena adanya dominasi kapitalisme global. Faktor internal ditandai dengan masih banyaknya umat Islam terjebak dalam dominasi keilmuan klasik, sehingga pengembangannya masih kurang. Sedangkan dari faktor eksternalnya disebabkan karena terjadinya penjajahan yang dialami oleh negara-negara yang berpenduduk mayoritas Islam.

Melalui ekspansi tersebut, para penjajah secara tidak langsung menghegemoni segala bidang kehidupan masyarakat. Sebagai bentuk adanya dominasi tersebut dibuktikan dengan berdirinya negara-negara di Timur Tengah yang sebelumnya bersatu dalam pangkuan kekhalifahan Ottoman Turki. Kesadaran tentang nation-state secara tidak langsung telah mengakibatkan dunia Arab terpecah menjadi beberapa negara. Maka dari itu, muncul pertanyaan di atas; masih bisakah mendirikan sebuah negara Islam atau negara khilafah di era modern?

Upaya yang Utopis

Peradaban manusia saat ini sedang menuju dunia modern. Apabila sebuah negara atau bangsa ingin berkembang atau sekedar bertahan, maka ia harus berdampingan dengan dunia modernitas beserta perangkat-perangkatnya. Namun sebaliknya, apabila mereka tidak mau berdampingan dengan gerak perubahan zaman, maka ia akan tertinggal.

Maka dari itu, sebab utama kegagalan kemajuan dari dunia Arab secara umum diakibatkan oleh kurangnya keterbukaan dengan dunia modern. Hal ini disebabkan karena mereka masih mengangap bahwa dunia modern tidak sesuai dengan Islam, sehingga mereka membaca ulang tradisinya untuk dijadikan sebagai landasan historis. Pembacaan atas tradisi Arab sesungguhnya sudah banyak dibahas oleh para teoritikus (Lihat Issa J. Baulatta. 2001). Meski demikian, belum ada suatu kesepakatan bersama bagaiman merespon tradisi yang sudah mengakar di dunia Arab-Islam.

BACA JUGA  Neo-HTI: Spirit Propaganda Khilafah yang Mesti Dilawan

Pembacaan atas tradisi tersebut juga melibatkan diskursus tentang sikap mereka terhadap sistem negara-bangsa yang diciptakan oleh dunia modern. Melalui pembacaan tentang ajaran agama yang menyeluruh, organisasi-organisasi di atas berpendapat bahwa Islam juga mengajarkan tentang politik (sistem khilafah). Islam tidak hanya bicara tentang Tuhan semata, melainkan juga menata mulai dari bentuk komunitas terkecil yaitu keluarga hingga negara.

Maka dari itu, mereka menolak gagasan sistem negara-bangsa yang diciptakan oleh dunia modern. Menurutnya sistem tersebut bukan merupakan ajaran Islam, sehingga tidak perlu diikut. Lantas pertanyaan kemudian adalah bentuk negara seperti apa yang hendak dicapai? Bukankah saat ini tidak ada negara Islam yang bisa menjadi acuan? Bukankah saat ini semua menggunakan sistem negara-bangsa?.

Melihat fenomena yang terjadi di dunia Arab-Islam tentu mendirikan sebuah negara Islam, baik bentuk khilafah maupun lainnya, merupakan upaya yang utopis. Peradaban dunia saat ini sedang berjalan ke arah modernitas. Manusia tidak bisa meninggalkan gerak kebudayaan ini dengan hanya berjalan di tempat. Umat Islam sudah semestinya juga mengembangkan dirinya untuk bisa survive di kancah lokal maupun global.

Meski ada sebagian negara yang mengistilahkan negara mereka Islam namun bukan berarti memang demikian. Sebab di dalam ajaran Islam tidak ada bahasan secara detail tentang indikator-indikator sebuah negara dikatakan Islam (termasuk khilafah), yang ada hanyalah nilai-nilai yang bersifat universal. Ada perkataan menarik dari mantan Rektor Al-Azhar yang menyaksikan kehidupan masyarakat Eropa tentang universalitas ajaran Islam. Abduh mengatakan bahwa ‘aku melihat Islam (di sana) namun tak melihat seorang muslim’.

Maka dari itu, tidak ada pilihan lain selain mengikuti gerak perubahan kebudayaan manusia saat ini. Secara historis maupun normatif, Islam sedari awal juga sudah mengajarkan untuk selalu menyesuaikan dengan zamannya. Penyesuaian ini membutuhkan sebuah perangkat metodologi untuk membaca khazanah Islam untuk bisa bersaing pada tingka lokal maupun global.

M. Mujibuddin SM
M. Mujibuddin SM
Alumnus Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru