29.2 C
Jakarta

Belajar dari Keberhasilan Fatayat NU Jawa Barat dalam Penanggulangan Radikalisme

Artikel Trending

KhazanahTelaahBelajar dari Keberhasilan Fatayat NU Jawa Barat dalam Penanggulangan Radikalisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.comDi dalam Perpres Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme berbasis Kekerasan (RAN-PE) Nomor 7 Tahun 2021, dengan menggunakan pendekatan whole of government approach and whole of society approach, pendekatan di mana antara pemerintah dan sipil itu bekerja sama, Fatayat NU Jawa Barat mencatat sebuah prestasi kepemimpinan perempuan, yang bisa dikatakan berhasil dalam upaya mencegah radikalisme-terorisme di akar rumput.

Neng Hannah, Ketua PW Fatayat NU Jawa Barat, bercerita perjalanan para perempuan dalam menerapkan pendekatan kerja sama dengan pemerintah terkait. Dalam upaya membentuk forum multi stakeholder, didasarkan pada pengalamannya di Jawa Barat. Tentu, hal itu karena ada dukungan oleh Komnas Perempuan dan sudah ada sebelum 2016 melakukan riset.

Fatayat juga salah satu anggotanya bersama Jakatarub, Jaringan Relawan Independen (JARI), ada Institut Perempuan, GKP Pasundan, WCC Durebang Pasundan, Aji Bandung, LBH, dan banyak lagi. Forum ini menjadi basis dari kekuatan gerakan untuk membuat perubahan yang lebih nyata untuk melibatkan perempuan dalam kerja-kerja

“Yang pertama tentu saja OPD (Organisasi Perangkat Daerah) dalam hal ini pemerintah. Kedua, organisasi masyarakat sipil. Ketiga adalah akademisi. Keempat, media. Kelima, perusahaan atau corporate, cuma memang di corporate ini belum ada tergabung,” ungkapnya.

Pentingnya pelibatan perempuan dalam upaya pencegahan radikalisme-terorisme, untuk menunjukkan kekuatan dari perempuan sebagai manusia. Sebab selama ini, kasus keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme yang terjadi seperti bom Surabaya 2018 termasuk bom panci berasal dari Jawa Barat, menunjukkan keprihatinan yang sangat mendalam dari kelompok perempuan agar tidak terjadi hal serupa. Dengan harapan besar, tidak ada lagi perempuan yang menjadi subjek pelaku teror dengan alasan apa pun.

Tidak hanya itu, pelibatan perempuan dalam pencegahan radikalisme, penting dilakukan karena mereka adalah edukator yang baik, karena akan menyampaikan ajaran tersebut kepada kelompok kecil, yakni keluarganya.

“Karena biasanya memang kalau perempuan itu teredukasi, tidak untuk dirinya saja, tapi bisa jadi untuk keluarganya bahkan mungkin untuk komunitasnya dan kita lihat itu sudah teruji,” jelas Hannah.

Hannah, melalui Fatayat NU Jawa Barat, melihat potensi besar yang dimiliki oleh perempuan. Secara loyalitas dan militansi, perempuan memiliki modal tersebut untuk menyebarkan sebuah ajaran kepada orang terdekat, dalam konteks ini adalah keluarga.

“Apabila perempuan berkumpul berorganisasi misalkan di masyarakat, kalau kita lihat hari kemarin Kamis 17-an yang biasanya menyukseskan dari banyak kegiatan secara kerelawanan adalah ibu-ibu. Sehingga, ini adalah potensi yang sangat besar termasuk di Islam misalkan, kalau kita lihat pengajian atau majelis taklim Jawa Barat, pengajian itu dari Senin misalkan di RT 1, Selasa sore di RT 2 termasuk ibu saya, dalam seminggu ikut majelis taklim,” ungkap Hannah.

BACA JUGA  Fenomena Misogini Online yang Dilakukan Para Aktivis Khilafah Terhadap Aktivis Perempuan

Kepemimpinan Perempuan: Sebuah Keberpihakan Kepada Orang lain

Tulus Sibuea, Kabid Wasda mengapresiasi penuh kepemimpinan perempuan. Sejauh ini, Fatayat NU Jawa Barat memiliki gerakan yang sangat baik dalam upaya pelibatan perempuan dalam pencegahan radikalisme-terorisme.

“Kepemimpinan perempuan jangan dilihat dari perspektif gender seksual, tetapi lebih kepada keberpihakan dia, namun ada sesuatu yang tidak bisa dipungkiri dan sebuah keniscayaan yang tidak dimiliki secara perbedaan seksual tadi, jadi saya rasa itu yang bisa saya sampaikan karena kelompok-kelompok rentan returnis, deportan banyak sebenarnya perempuan. Kalau si mantan Napiter sendiri itu kan tidak, kalau dibandingkan dengan pelaku tidak terlampau signifikan, boleh dikatakan gitu,” ungkap Tulus.

Kepemimpinan perempuan dalam upaya pencegahan radikalisme-terorisme, tentu harus mengedepankan pendekatan intersectionalitas atau sebagai kerangka kerja itu pendekatan GEDSI, gender equality, disability, and social inclusion, yang tidak boleh ditinggalkan karena harus merangkul semua kelompok sehingga keberpihakan kepada semua pihak bisa terwujudkan dengan baik. Kepemimpinan perempuan harus benar-benar dilihat sebagai kekuatan dan pondasi masyarakat untuk membuat perubahan, khususnya dalam pencegahan radikalisme-terorisme.

“Tetapi justru kuncinya kalau perempuan ini yang bergerak, yang menjadi benteng, yang mendidik, supaya yang lain anaknya tidak terpapar, dia sendiri sudah punya benteng secara personal dia sebagai perempuan, itu pun bisa mencegah si mantan Napiter yang notabene adalah laki-laki untuk bisa menyelamatkan. Anak-anak kan kita tidak dilihat itu laki-laki atau perempuan,” jelas Tulus.

Kerja kemanusiaan yang dilakukan kelompok perempuan, perlu mendapat apresiasi besar dari masyarakat. Baik dari kelompok masyarakat sipil ataupun pemerintah. Hal ini karena, sejauh ini ruang perempuan untuk bergerak sosial masih sangat terbatas. Artinya, tidak semua pihak mendukung upaya yang dilakukan perempuan.

Makanya, ketika pembuktian atas kerja sosial, dilakukan oleh perempuan, seperti halnya Fatayat NU Jawa Barat, penghargaan besar perlu kita berikan dengan cara terus memberikan kesempatan bagi perempuan untuk bergerak. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru