Harakatuna.com – “Islam sudah memuliakan perempuan dengan tetap di rumah, mengurus rumah tangga dan mendidik anak menjadi generasi berkualitas.” Kalimat tersebut adalah salah satu dari sekian banyak kalimat yang disampaikan dalam narasi aktivis khilafah. Dalam buku yang ditulis oleh Lies Marcoes “Seperti Memakai Kaca Mata yang Salah” bahwa, salah satu fungsi perempuan bagi kelompok terorisme adalah sebagai mesin reproduksi.
Mereka akan memproduksi tentara-tentara Tuhan yang berjuang untuk Islam. Fungsi ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kelompok radikal yang menempatkan posisi perempuan sebagai makhluk domestik dan mendiskreditkan para perempuan yang aktif di bidang publik atau perempuan yang memanfaatkan potensi kemanusiaan yang dimilikinya.
Misogini online secara khusus mengacu pada bentuk kebencian terhadap perempuan yang terjadi di ruang digital. Hal ini dapat terwujud dalam bentuk sikap tidak hormat, menghina, dan diskriminatif terhadap perempuan. Namun, kompleksitas misogini membuat sulit untuk didefinisikan secara tepat sehingga tulisan ini akan terbatas pada, narasi misoginis yang disampaikan oleh para aktivis khilafah terhadap para perempuan yang saat ini sedang memperjuangkan keadilan dan hak bagi para buruh perempuan (atau yang biasa disebut sebagai aktivis feminis).
Sikap tidak hormat yang diberikan oleh para aktivis khilafah kepada para aktivis perempuan biasanya atas dasar beberapa hal, di antaranya: pertama, tidak menggunakan jilbab (atau menggunakan namun tidak menutup dada). Bagi mereka, kesalehan seorang perempuan bisa dilihat dari cara berpakaian yang sesuai syariat dengan menutup seluruh tubuh dan menggunakan jilbab panjang.
Sebenarnya, perbedaan pendapat ini tidak menjadi masalah. Akan tetapi, menjadikan sebuah keyakinan untuk menyerang orang lain bukanlah sebuah tindakan terpuji. Biarlah pilihan menggunakan baju/jilbab menjadi hak prerogatif masing-masing orang.
Jika kita melihat dimensi religiusitas, setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita pahami, di antaranya: pertama, dimensi ideologis (religious belief): dimensi tentang keteguhan teologis, doktrinasi, hal prinsipil, dan tradisi. Kedua, dimensi ritualistik (religious practice) yakni dimensi tentang praktik ketaatan dalam menjalanakan ajaran agama sebagai bentuk kesadaran dan komitmen terhadap hal yang diyakini.
Ketiga, dimensi eksperiensial (religious feeling) yakni dimensi yang terkait dengan persoalan yang mampu mengantarkan untuk mencapai pengetahuan subjektif keyakinannya. Keempat, dimensi intelektual (religious knowledge): dimensi yang terkait dengan pengetahuan dan pemahaman agama yang dimiliki oleh seseorang.
Kelima, dimensi konsekuensi (religious effect) yakni dimensi yang merangkum empat dimensi lainnya sebagai konsekuensi atau indikator komitmen religius seseorang, misalnya sejauh mana perilaku individu dalam kehidupan sosial karena dorongan atau motivasi ajaran agamanya.
Para aktivis khilafah mengukur religiusitas berdasarkan hal yang tampak, dalam konteks ini adalah pakaian. Alhasil, judgement selalu keluar dari para aktivis khilafah kepada orang lain yang memiliki pemahaman berbeda.
Kedua, karena ajaran feminis, kesetaraan gender, berasal dari Barat, di mana hal itu sangat ditentang oleh aktivis khilafah, sekalipun yang diperjuangkan oleh para aktivis feminis demi kemaslahatan umat, tidak akan digubris. Mereka terus melakukan propaganda dengan mendiskreditkan posisi perempuan lain. Denial terhadap data kekerasan seksual perempuan, KDRT, hingga masalah keadilan perempuan adalah sikap yang ditunjukkan oleh para aktivis khilafah.
Ketiga, mereka berlindung di bawah naungan ideologi khilafah. Dengan bahasa lain, mereka mengalami kekerasan berbasis agama atas nama khilafah. Seolah-olah khilafah adalah penyelamat, padahal sebenarnya membuat mereka buta terhadap masalah-masalah perempuan sekitar. Woman support woman hilang pada aktivis khilafah karena menganggap bahwa, khilafah adalah penyelamat.
Sehingga para perempuan yang tidak sepakat dengan ideologi khilafah, dianggap sebagai musuh. Mereka abai dengan masalah ketubuhan/biologis perempuan, lantaran terbelenggu dalam ideologi khilafah. Padahal, sikap empati perempuan terhadap masalah perempuan lainnya, harusnya lebih besar karena bisa merasakan secara langsung pengalaman atas ketubuhan tersebut. Wallahu A’lam.