31.9 C
Jakarta

Arrogance Religiosity: Problem Beragama Karbitan yang Harus Dilawan

Artikel Trending

KhazanahPerspektifArrogance Religiosity: Problem Beragama Karbitan yang Harus Dilawan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Salah satu bentuk gaya hidup di era modern adalah keinginan sebagian kalangan untuk menguasai ilmu agama yang sangat luas dengan cara instan (karbitan). Problem pribadi ini kenyataannya membawa masalah sosial yang tidak kecil, yaitu munculnya perubahan pola keberagamaan yang cenderung dangkal dan arogan.

Tidak hanya disebabkan oleh belajar agama yang singkat, namun pemahaman terhadap teks, nilai dan subtansi ajaran Islam yang tekstualis ditandai dengan sikap ringan kata melabeli murtad, musyrik dan sesat. Sebuah keniscayaan menghiasi ruang publik saat ini yaitu munculnya orang yang dianggap paham agama, namun kenyataannya belum lancar membaca Al-Qur’an, bahkan tidak mampu memahaminya dengan benar.

Fenomena Mendadak Ngustaz dan Religius

Contoh yang paling nyata dalam hal ini adalah Felix Siaw. Ia lahir dari keluarga Katolik dan sempat mengaku sebagai ateis. Felix berikrar masuk Islam dan dikenalkan dengan organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Felix lambat laun mulai berdakwah di kalangan milenial sebagai pasar jualnya.

Contoh lain adalah Sugik Nur, yang konon tidak pernah nyantri, namun mendadak menjadi ustaz dan pengikutnya banyak meski cara berdakwahnya keras. Tengku Zulkarnain juga demikian, ia pernah salah kaprah dalam menafsirkan kata “kafir” dan pernah menyebut suku Dayak kafir dan fenomena-fenomena senada di tengah keterbukaan teknologi saat ini.

Komponen fundamental yang harus terpenuhi ketika menuntut ilmu dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim karangan Az-Zarnuji, salah satunya yaitu irsyad al-ustadz (bimbingan guru): artinya, harus dalam bimbingan guru dan tidak terburu-buru dalam menyikapi suatu hal secara gegabah.

Peran guru yang ‘alim dan bijaksana begitu penting untuk menjaga sanad keilmuan;  Kedua, thul az-zaman (dengan waktu yang lama), artinya syarat menuntut ilmu adalah tidak boleh dengan tergesa-gesa.

Belajar agama yang tergesa-gesa dan instan tanpa bimbingan guru yang tepat akan berdampak pada kedangkalan pemahaman agama. Dari pemahaman ajaran agama Islam hanya sekadar kulit, maka belum sampai menuju substansi.

Kedangkalan pemahaman terhadap pesan agama setidaknya dapat dilihat dari tiga ciri-ciri, yaitu: 1) Memahami teks agama secara harfiah, serampangan, dan ngawur; 2) Hanya memahami kulit ajaran agama dan mendewakan akal; 3) Tidak menguasai membaca Al-Qur’an sesuai kaidah yang benar.

Dari proses belajar yang serampangan dan instan akan berakibat fatal pada kedangkalan pemahaman agama (shallow understanding of religion). Efek fatalnya akan mengakibatkan seseorang tercebur dalam kesalahpahaman (misunderstanding) memahami ilmu.

Ciri-ciri dari pendakwah yang masuk kategori ekstrem yaitu fanatik, mewajibkan sesuatu dengan membawa nama Tuhan padahal belum tentu diwajibkan, keras dalam berdakwah (Tim Bimas Islam, Moderasi Beragama, 2022).

Ciri lain yang melekat yaitu menafikan pluralitas, supremasi (merasa paling unggul), menolak tradisi lokal sebagai sesuatu yang bid’ah. Tahap-tahap ini merupakan hal yang perlu dicermati oleh berbagai kalangan dalam mengidentifikasi ciri-ciri seseorang yang kaku, dalam hal ini bisa disebut dengan arogansi beragama. Arogan dalam beragama merupakan diksi lain dari kata radikal dan ekstrem.

Kecurangan Beragama: Menuju Keberagamaan Arogan

Dalam tulisan ini, terdapat istilah lain yang bisa disandarkan pula pada pola keberagamaan yang kaku, yaitu arogan (arrogance). Kata “arogan” dalam bahasa baku KBBI diartikan angkuh, sombong, congkak, pongah, atau suka memaksa. Jika diartikan pada praktik atau pola keberagamaan yang kasar, maka cocok disebut arogansi beragama (arrogancy religiosity).

BACA JUGA  Bulan Ramadan Jadi Sarana Penyebaran Paham Radikal, Waspada!

Pola beragama demikian menjadi masalah sosial yang dapat membahayakan generasi Muslim Indonesia. Dalam standarisasi seseorang dikatakan keras dalam beragama yang selama ini dikenal dengan istilah radikal acap kali menjadi benalu dinamika keberagamaan di Indonesia. Arogan juga bisa disetarakan dengan kecurangan (fraud).

Sebagaimana dalam teori kecurangan (fraud theory) yang dikenalkan oleh Cressey pada tahun 1954, dan dikembangkan lagi paling mutakhir oleh Crowe Howarth (2011) dikenal dengan Crowe’s Pentagon Theory atau fraud Pentagon. Dalam hasil risetnya ia menambahkan elemen kelima penyebab kecurangan (fraud), yaitu arrogance (arogansi). Istilah lain dari teori temuan Howarth adalah SCORE (Stimulus, Capability, Opportunity, Rationalization, & Ego). Ia menyebut ego sebagai arogansi dan motif dalam melaksanakan kecurangan (fraud).

Lebih lanjut arogansi sebagai faktor kecurangan menurut Howart adalah sifat serakah atau superioritas terhadap hak yang dimiliki. Aspek lain yang senada yaitu juga merasa bahwa kebijakan perusahaan dan pengendalian internal tidak berpengaruh terhadap dirinya, bahkan ia menganggap kecurangan yang dilakukannya tidak diketahui orang lain karena posisi (status) yang tengah didudukinya.

Jika penelitian Cressey dan Howarth melahirkan sebuah teori penyebab kecurangan dalam konteks perusahaan, demikian juga terjadi dalam konteks kehidupan bersosial-beragama yang disebut sebagai “kecurangan” atau “korupsi” beragama.

Kecurangan acap kali melekat pada karakteristik ustaz instan yang kapabilitasnya dipertanyakan. Terlebih pula diperuntukkan kepada mereka yang menafsirkan teks-teks agama secara serampangan, berkarakter keras, gampang melabeli halal-haram, bahkan takfiri, dan bermuara pada penegasian terhadap pluralitas sosial.

Analisis lebih menukik maksud kecurangan beragama yaitu: Pertama, seperti yang dikatakan Crowe Howarth, yaitu perilaku superioritas dan kurangnya kesadaran akan ajaran Islam yang luas, luwes, dan ramah. Demikian diakibatkan dari sifat serakah dengan pola pikir bahwa aturan-aturan agama yang telah ditetapkan tidak berlaku pada diri ustaz instan/karbitan.

Aturan-aturan agama yang dimaksud adalah kecurangan yang mereka lakukan dengan menjadi pembimbing agama instan tidak berlaku, sebab kedudukannya saat ini sudah diakui sebagai ustaz di panggung sosial. Kedua, kecurangan beragama adalah tidak memenuhi syarat-syarat utama menuntut ilmu, yang minimal dalam kitab karangan al-Zarnuji (Ta’lim al-Muta’allim). “Siapa yang belajar tanpa guru, maka gurunya adalah setan”.

Inilah yang pada akhirnya disebut sebagai arogansi beragama (arrogance religiosity) atau korupsi beragama dengan karakter sebagai berikut: 1) Mengadopsi teks agama tertentu hanya untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu; 2) Tidak menerima pendapat orang lain; 3) Keras dalam berdakwah, baik secara materi maupun penyampaiannya; 4) Menafikan perbedaan; 5) Cenderung eksklusif.

Pada dasarnya supaya terhindar dari sifat arogan dalam beragama adalah memenuhi standar kriteria dalam belajar seperti yang diajarkan dalam tradisi pesantren, sebab belajar agama yang sistematis akan berdampak pada tingkat pemahaman yang ideal.

Belajar agama yang baik seperti yang dikatakan oleh Syamsul Ma’arif dalam karyanya, “Education as a Foundation of Humanity: Learning from the Pedagogy of Pesantren in Indonesia”, pada dasanya akan bermuara pada pola keberagamaan yang berlandaskan kemanusiaan (foundation of humanity).

Oleh karenanya, sangat penting untuk selektif dalam memilih guru agama, supaya tidak tercebur pada pola keberagamaan eksklusif. Fenomena arogansi jika dibiarkan berkembang, maka akan berdampak buruk pada aktivitas sosial dan mencederai agama itu sendiri yang hakikatnya rahmatan lil ‘alamin.

Ali Mursyid Azisi, M.Ag
Ali Mursyid Azisi, M.Ag
Peneliti di Centre for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation), Researcher di Nursyam Centre Indonesia & Pengurus Asosiasi Peneliti-Penulis Islam Nusantara se-Indonesia (ASPIRASI).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru