31.2 C
Jakarta

Arab Saudi-Iran, Wahabi-Syiah, dan Prospek Perdamaian

Artikel Trending

Milenial IslamArab Saudi-Iran, Wahabi-Syiah, dan Prospek Perdamaian
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Pertemuan Iran dan Arab Saudi yang diprakarsai China berlangsung sukses, pada Jumat (10/3) kemarin. Kedua negara yang selama ini berseteru itu sepakat rujuk setelah permusuhan bertahun-tahun yang telah mengancam stabilitas dan keamanan di Teluk dan membantu memicu konflik di Timur Tengah dari Yaman hingga Suriah. Kesepakatan Teheran dan Riyadh itu pun disambut baik oleh banyak pihak untuk agenda perdamaian wilayah Teluk ke depan.

Perjanjian yang ditandatangani pejabat tinggi keamanan Iran, Ali Shamkhani, dan penasihat keamanan nasional Arab Saudi Musaed bin Mohammed Al-Aiban, setuju untuk mengaktifkan kembali perjanjian kerja sama keamanan tahun 2001, serta pakta lain sebelumnya tentang perdagangan, ekonomi dan investasi. Pejabat tinggi diplomatik China Wang Yi yang menjadi negosiator mengatakan, ini adalah kabar baik di tengah meningkatnya pergolakan dunia.

Irak juga menyambut dibukanya lembaran baru Iran dan Arab Saudi, bahkan telah menjadi tuan rumah pembicaraan damai. Oman juga menyambut baik pernyataan trilateral Arab Saudi, Iran, dan China dan bahkan menjadi tuan rumah pembicaraan sebelumnya. Tak hanya itu, sambutan baik juga datang dari kepala negosiator pemberontak Houthi Yaman, Mohammed Abdulsalam, serta PBB. Jubir PBB Stephane Dujarric menegaskan,perdamaian Arab Saudi dan Iran sangat krusial untuk perdamaian Teluk.

Sambutan kurang baik justru datang dari oposisi Israel, yang menganggap rekonsiliasi Arab Saudi dan Iran merupakan simbol kegagalan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu. Mereka menganggap Netanyahu gagal karena Saudi malah lebih dulu berdamai dengan Iran yang merupakan musuh bebuyutan mereka di kawasan. “Netanyahu menjanjikan perdamaian dengan Arab Saudi. Pada akhirnya, Saudi melakukannya dengan Iran,” ujar oposisi Gideon Saar, dilansir Associated Press.

Benarkah perdamaian Arab Saudi dan Iran memiliki prospek baik dalam jangka panjang? Bagaimana dengan aliran keagamaan kedua negara yang kontras, antara Wahabi dan Syiah? Akankah rekonsiliasi kemarin menjadi akhir dari perseteruan teologi yang telah berlangsung selama berabad-abad? Dan yang tak kalah penting, apakah semua itu menjadi sinyal persatuan umat Islam?

Neo-Khawarij di Indonesia

Sekilas, rekonsiliasi Arab Saudi dan Iran tampak tidak memiliki dampak politis yang signifikan untuk Indonesia. Karena itu, berita tentang perdamaian kedua negara dengan rivalitas tinggi tersebut malah menjadi bahan candaan belaka. Sebagai contoh, Nadirsyah Hosen, melalui akun Twitter miliknya, memosting jokes bahwa perdamaian Wahabi-Syiah ternyata diprakarsai Komunis. Daripada rival secara politik, kedua negara tersebut memang lebih pas sebagai rival ideologis.

Karena itu, jika ditanya apakah rekonsiliasi punya prospek baik untuk ke depannya, secara politik jawabannya iya. Namun dalam konteks Wahabi dan Syiah, perdamaian jangka panjang tersebut tidak bisa dispekulasikan hari ini. Seperti diketahui, perseteruan Wahabi dan Syiah sudah terjadi sangat lama dan mustahil bisa hilang hanya oleh kepentingan politik yang diprakarsai China. Di berbagai negara, perseteruan Wahabi dan Syiah adalah permusuhan Khawarij di masa lalu.

Wahabi dianggap sebagai neo-Khawarij, yakni Khawarij kontemporer, karena doktrin keagamaannya identik. Di Indonesia, radikalisasi oleh neo-Khawarij bahkan bukan wacana belaka, tetapi fakta yang ditandai dengan maraknya Wahabi dan menguatnya Islam radikal. Pandangan keagamaan neo-Khawarij yang sangat tekstualis itu kemudian memengaruhi para pengikutnya untuk anti-NKRI, anti-Pancasila. Artinya, neo-Khawarij hendak melakukan destruksi terhadap Indonesia.

BACA JUGA  Menjaga Toleransi dan Moderasi Bukan Perbuatan Tercela

Propaganda Wahabi di Indonesia juga menggunakan jurus lamanya tentang bahaya Syiah—rival Khawarij. Hal itu semakin mempertegas posisi Wahabi sebagai neo-Khawarij yang, bersama denan Syiah, hendak membawa permusuhan ideologis ke tatanan sosial-politik dan keagamaan Indonesia. Sebagai contoh, gagasan “wasathiyah Islam” yang emansipatoris, menjunjung pluralitas dan pemikiran progresif malah dituduh liberal. Pada saat yang sama, Wahabi menawarkan kemurnian Islam.

Islam murni yang diwacanakan neo-Khawarij di Indonesia ternyata sangat politis, yaitu memasyarakatkan ideologi Wahabi. Setiap yang berbeda, mereka anggap Syiah. Dan setiap Syiah, mereka anggap sesat. Akhirnya, masyarakat Indonesia yang pengetahuan keislamannya rendah justru anti-progresivitas karena diyakininya sebagi Syiah. Adalah ironi bahwa umat Islam di negara ini lebih suka kemurnian Islam yang palsu daripada wasathiyah Islam.

Karena itu, dalam menanggapi rekonsiliasi Arab Saudi dan Iran, Indonesia tidak perlu melihat jauh-jauh selain pada masalah internal negara ini. Neo-Khawarij alias Wahabi dan Syiah sama-sama buruk dan membawa iklim negatif terhadap keberislaman progresif yang telah lama diajarkan para ulama Nusantara. Indonesia juga perlu mencegah kemungkinan terburuk bahwa perseteruan Wahabi dan Syiah di grassroot akan semakin menguat karena rekonsilisasi Saudi-Iran kemarin.

Perdamaian di Depan Mata?

Tentu, jika rekonsiliasi Arab Saudi dan Iran juga membawa kabar baik terhadap berakhirnya perseteruan Wahabi dan Syiah, itu adalah kabar yang sangat menggembirakan. Demikian karena secara ideologis, permusuhan keduanya jauh lebih terasa daripada di bidang politik dan ekonomi. Di Indonesia, salah satu tantangan besar negara adalah mendamaikan pemikiran radikal dan moderat; progresif dan konservatif. Permusuhan Wahabi Syiah menambah keruh iklim keislaman dan kenegaraan.

Apakah artinya tidak ada peluang terhadap perdamaian ideologis antara Wahabi dan Syiah? Tidak juga demikian. Ketika Arab Saudi dan Iran sudah berdamai, maka keduanya perlu melangkah lebih jauh daripada agenda politik-ekonomi saja. Perlu dirumuskan sebuah regulasi khusus, yang arahnya mencegah narasi kontestasi antara Wahabi dan Syiah. Seperti dalam hal moderasi yang Arab Saudi sudah lakukan, kebijakan serupa juga diorientasikan untuk mengonter Wahabisasi.

Tiadanya perseteruan ideologis karena mengedepankan prinsip moderasi Islam akan menjadi sinyal bahwa perdamaian benar-benar ada di depan mata. Karena Arab Saudi memiliki kendati besar terhadap Wahabi sebagaimana juga Iran memegang kendali Syiah, kedua negara tersebut bisa menginisiasi berakhirnya perseteruan panjang Syiah versus Khawarij. Jika tidak, maka Wahabisasi akan terus berlanjut dan artinya perdamaian akan menjadi isapan jempol belaka.

Dengan demikian, perdamaian Arab Saudi dengan Iran bisa menjadi awal dari perseteruan Wahabi dan Syiah. Hanya permulaan, namun rekonsiliasi politik tersebut sama sekali belum cukup untuk meredam konflik ideologis keduanya. Yang jelas, di Indonesia, Wahabisasi harus terus dicegat lajunya, seiring rekonsiliasi tersebut. Perdamaian hanya bisa diciptakan jika sekat ideologis dihapuskan. Dan selama Wahabi-Syiah berseteru, wasathiyah Islam akan terganggu—perdamaian pun akan buntu.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru