31.8 C
Jakarta

Keniscayaan Beragama Secara Inklusif di Negara Multikultural

Artikel Trending

KhazanahOpiniKeniscayaan Beragama Secara Inklusif di Negara Multikultural
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Islam adalah agama yang rahmatal lil alamin, yang bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat dimanapun dan kapanpun. Tak terkecuali di Indonesia dengan latar belakang masyarakatnya yang multikultural, yang dibangun berdasarkan etnis, ras, agama dan kelompok yang bermacam-macam. Sebab itulah, sikap beragama menjadi suatu hal penting yang harus diperhatikan di tengah keberagaman yang ada.

Melihat hal tersebut, banyak tokoh yang giat menggaungkan ajaran-ajaran ramah dalam konteks keindonesiaan. Baik secara online melalui akun media sosial seperti youtube, instagram atau secara offline melalui event kajian atau tulisan seperti buku. Tujuannya sama, menciptakan kultur keagamaan yang harmonis dan damai di tengah keberagaman yang ada di Indonesia.

Ajaran Islam didakwahkan dengan desain yang pas untuk masyarakat Islam Indonesia yang tumbuh dan berkembang di negara multikultural. Sehingga nilai-nilai yang disampaikan sangat mengedepankan sikap moderasi beragama. Juga kiat-kiat seseorang untuk beragama di tengah keberagaman.

Salah satu tokoh yang giat dakwah seperti itu adalah Habib Habib Husein Ja’far Al-Hadar, salah seorang tokoh muda yang aktif berdakwah melalui media sosial maupun tulisan. Melalui bukunya pula yang berjudul Seni Merayu Tuhan, Habib Ja’far menguraikan Islam dengan luwes serta menarik yang diperkaya dengan referensi dari al-Qur’an-Hadis.

Dapat dilihat juga di akun youtube Habib Ja’far, Jeda Nulis, konten-konten dibuat menekankan sikap beragama secara wasathiyah. Memotret berbagai fenomena keragaman kontemporer, mulai dari kesalehan ritual, sosial hingga kesalehan digital, juga seputar psikologis sebagai muslim ideal. Model penyampaiannya yang luwes menggunakan bahasa gaul membuat dakwahnya mudah diterima berbagai kalangan, terlebih para anak muda.

Sudah sejak lama, isu agama dan keagamaan merupakan isu sensitif yang ada di Indonesia. Banyak konflik terjadi sebab persinggungan antar umat bergama yang memiliki sikap fanatik dan tidak mau terbuka. Persoalan toa masjid, memberi ucapan selamat hari raya, saling menolong di tempat ibadah adalah sedikit contoh isu-isu yang terjadi dan sering berulang tiap tahunnya.

Berbagai komentar bahkan ujaran kebencian muncul silih berganti, saling menyalahkan dan tidak menerima pendapat orang lain. Adalah sikap-sikap yang sering dimiliki oleh kebanyakan orang yang merasa dirinya benar dalam beragama. Padahal, sikap-sikap seperti itulah yang memicu munculnya konflik. Yang kemudian memunculkan tindakan intoleransi, fanatisme, radikalisme baragama dan lain sebagainya.

Di sinilah, sekali lagi ditekankan pentingnya memiliki sikap beragama yang sesuai dengan kebaragaman Indonesia. Agar kerukunan antar umat beragama atau antar umat seagama dapat tercipta di negara yang multikultural ini.

BACA JUGA  Isra Mi’raj: Antara Etika dan Spiritualitas

Berbicara mengenai kerukunan umat beragama, berdasarkan hasil survei dari Kementrian Agama (Kemenag), sejak tahun 2017 kondisi kerukunan umat beragama di Indonesia mengalami pasang surut. Terdapat penurunan sebanyak 6,37% pada tahun 2020. Meskipun demikian, angka indeks kerukunan umat beragama diatas 60% tiap tahunnya.

Artinya, masyarakat Indonesia sebanarnya sangat berpotensi menjalin kerukunan antar satu sama lain. Meskipun sejauh ini, tetap ada isu-isu keagamaan yang muncul dan membuat tegang suasana keagamaan di Indonesia.

Melihat adanya fakta tersebut, ada banyak usaha yang bisa dilakukan guna tetap menstabilkan bahkan menaikkan angka kerukunan umat beragama, salah satunya dengan menggencarkan dakwah genre milenialis seperti yang dilakukan Habib Ja’far sebagaimana dijelaskan di atas.

Mengapa dakwah milenialis penting untuk dilakukan. Sebab, saat ini di Indonesia sendiri, kondisi keagamaan khususnya Islam saling tarik menarik. Antara golongan kanan dengan konservatifnya dan golongan kiri dengan sekulerismenya. Tipe pertama biasanya disebut sebagai kaum berhijrah. Mereka sangat taat melaksanakan ritual keislaman serta menghiasi diri dengan atribut-atribut yang dinggap representasi Islam, seperti cadar, baju gamis dan lain sebagainya. Ajaran-ajarannya cenderung eksklusif dan menjadi penyumbang terbanyak isu-isu radikalisme di Indonesia.

Golongan kedua, kaum sekulersime. Sebagian besar dari mereka merupakan umat Islam Indonesia yang mengaku atheis atau agnostik. Orang-orang tipe ini merasa kecewa pada agama yang seharusnya jadi penebar kedamaian justru menebar kebencian, kekerasan bahkan teror. Fakta tersebut tentu memprihatinkan, sikap beragama yang kurang tepat berdampak pada hilangnya keyakinan orang pada tuhan dan agamanya.

Sebab itulah, dakwah milenalis yang menggelorakan Islam damai serta berposisi moderat sangat penting dilakukan. Khususnya kepada para pemuda-pemudi sebagai penerus generasi bangsa. Kedua golongan tersebut harus dirangkul dengan dakwah Islam yang menekankan spiritualitas Islam yang cinta terhadap kedamaian. Dengan rasa suka dan minat yang kuat, tidak hanya rutinitas tetapi juga spiritualitas akan meningkat dengan baik.

Harapannya, dengan dakwah genre milenialis, sikap beragama yang baik, yang sesuai dengan keberagaman dapat tertanam di masyarakat Indonesia yang multikultur. Langsung memberi solusi tanpa menyalahkan, tidak lagi saling menyesatkan, tidak saling mengujar kebencian, memfitnah apalagi klaim sesat. Adalah sikap-sikap yang harusnya ditanamkan pada masyarakat di negara yang multikultural ini.

Rofiqoh Nurul Ashfiya'
Rofiqoh Nurul Ashfiya'
Mahasiswi Ilmu Al-Qur'an Tafsir, STAI Al-Anwar Sarang Rembang

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru