32.5 C
Jakarta

Anti-Korupsi Sebagai Jurus Meredam Radikal-Terorisme

Artikel Trending

EditorialAnti-Korupsi Sebagai Jurus Meredam Radikal-Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kabar buruk dan memalukan kembali datang. Lagi-lagi korupsi terjadi. Menteri termuda yang baru diangkat, Menpora Dito Ariotedjo, menerima suap sebesar Rp27 miliar untuk membantu penyelesaian kasus korupsi BTS 4G di Kejaksaan Agung. Hal itu disampaikan Irwan, saksi mahkota dalam sidang lanjutan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta Pusat, Selasa (26/9) kemarin. Kabar memalukan ini masih jadi bahan perbicangan hingga sekarang.

Untuk diketahui, Menpora Dito Ariotedjo masih enggan memberi tanggapan atas pengakuan Irwan. Ia belum merespons upaya komunikasi. Irwan sendiri diperiksa sebagai saksi mahkota untuk terdakwa eks-Menkominfo Johnny G. Plate, eks-Dirut Bakti Kominfo Anang Achmad Latif, dan eks-Tenaga Ahli Hudev UI, Yohan Suryanto. Selain nama-nama tersebut, kemungkinan lainnya boleh jadi muncul. Singkatnya, kartel koruptor tengah merajalela di NKRI.

Johnny Plate dkk didakwa merugikan keuangan negara sejumlah Rp8 triliun terkait kasus dugaan korupsi penyediaan menara BTS 4G dan infrastruktur pendukung lainnya. Ini tentu menambah catatan buruk dari masyarakat tentang oknum pejabat yang menjadi maling negara. Fenomena korupsi ini melahirkan satu fakta penting, yaitu muaknya masyarakat. Dan ironisnya, kemuakan tersebut akan mewujud sebagai radikalisme hingga aksi teror.

Mengapa demikian? Sebab, dalam ketidakpuasan, ketidakadilan, dan kemuakan, masyarakat akan rela melakukan apa pun. Mereka juga cenderung mudah diprovokasi, terutama untuk mengakhiri penderitaan masyarakat itu sendiri. Maka ini harus dipahami: maraknya korupsi di suatu negara dapat menjadi faktor yang mempengaruhi maraknya radikalisme, meskipun tidak selalu menjadi penyebab langsung. Artinya, anti-korupsi dapat menjadi jurus membendung radikal-terorisme.

Korupsi berkontribusi pada maraknya radikalisme dan terorisme—sedikitnya—karena tiga alasan. Pertama, ketidakpuasan masyarakat. Korupsi yang merajalela sering kali menyebabkan ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi negara. Ketidakpuasan tersebut kemudian menciptakan ketegangan sosial-politik yang pada akhirnya memicu aksi protes, kerusuhan radikal, perlawanan bersenjata, bahkan termasuk tindakan terorisme.

Kedua, hilangnya kepercayaan. Korupsi dapat menghancurkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan aparat. Ketika masyarakat merasa bahwa pemerintah tidak dapat dipercaya atau tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai, mereka mungkin lebih rentan terhadap propaganda para radikalis-teroris dan lebih cenderung untuk merasa bahwa tindakan teror adalah satu-satunya cara untuk menciptakan perubahan.

Ketiga, instabilitas keamanan. Maraknya korupsi dapat mengganggu ketertiban umum dan keamanan di suatu negara. Ini dapat menciptakan kekosongan keamanan yang dapat dieksploitasi oleh kelompok radikal-teroris untuk melakukan serangan atau merekrut anggota. Faktanya, propaganda radikalisme kerap bergerak dalam peluang-peluang politik kebencian, seperti ketidakadilan sipil. Korupsi termasuk di antaranya. Koruptor akan dipropagandakan sebagai thaghut.

Karena itu, dengan hilangnya korupsi dari negara ini, para radikalis dan teroris tidak lagi punya peluang politik. Mereka tidak akan dapat memprovokasi masyarakat dengan dalih melawan sistem thaghut yang menyemarakkan korupsi, atau melawan pejabat-pejabat zalim yang halal dibunuh menurut Islam. Sayangnya, anti-korupsi sebagai jurus kontra-radikalisme ini belum popular, bahkan belum disadari oleh sebagai besar masyarakat.

BACA JUGA  Mitigasi Radikalisme Setelah Perang Iran-Israel

Lalu bagaimana solusi agar anti-korupsi menjadi mindset kolektif masyarakat Indonesia, yang kemudian membuat radikalisme dan terorisme tidak lagi punya peluang memengaruhi masyarakat Indonesia? Jawabannya adalah: Revolusi Mental. Korupsi di Indonesia bak sudah mengakar. Dari jabatan tertinggi hingga terendah, korupsi ibarat sudah jadi tradisi. Artinya, penindakan hukum saja tidak cukup. Perlu merombak kesadaran masyarakat menuju masyarakat anti-korupsi.

Revolusi Mental sebenarnya pertama kali diperkenalkan Presiden Jokowi, sebagai bagian dari program pemerintahannya untuk menciptakan perubahan fundamental masyarakat Indonesia. Salah satu fokus utama dari Revolusi Mental adalah untuk menciptakan mindset atau pola pikir yang anti-korupsi di kalangan masyarakat. Di antara urgensinya ialah untuk mendorong tanggung jawab bersama dalam memerangi korupsi.

Revolusi Mental melahirkan pengakuan bahwa korupsi adalah masalah yang merusak, tidak hanya bagi pemerintah tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Dengan memahami urgensi ini, masyarakat lebih cenderung berpartisipasi aktif dalam melaporkan dan mencegah praktik korupsi, juga menghindar untuk terlibat lakukan korupsi itu sendiri.

Selain itu, Revolusi Mental bertujuan untuk mengubah budaya dan norma masyarakat, mencakup perubahan dalam cara mereka memandang korupsi. Dengan mempromosikan nilai-nilai kejujuran, transparansi, dan etika dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat akan lebih cenderung menolak tindakan korupsi dan mendukung praktik yang bersih dan bermoral. Tentu saja ini mesti diikuti oleh penegakan hukum yang tegas dan adil. Koruptor harus dihukum mati, misalnya.

Singkatnya, Revolusi Mental sangat urgen untuk menciptakan masyarakat transparan, berintegritas, dan anti-korupsi. Dalam jangka panjang, hal ini dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih adil, makmur, dan aman bagi seluruh masyarakat. Apakah dalam kondisi sejahtera dan penuh keadilan tersebut propaganda radikalisme masih akan mempengaruhi masyarakat? Tidak lagi. Tidak akan ampuh. Para radikalis-teroris akan mati kutu dalam narasi mereka sendiri.

Dengan demikian, anti-korupsi dapat menjadi jurus kontra-radikalisme dan kontra-terorisme. Narasi melawan radikalisme tidak akan ampuh selama korupsi masih marak, karena ada peluang politik yang dapat memengaruhi Tindakan anarki masyarakat. Begitu juga, jika anti-korupsi sudah menjadi mindset bersama, dan negara ini bebas koruptor, radikalisme tidak akan lagi ampuh memprovokasi masyarakat.

Bagaimana dengan para koruptor BTS 8 triliun itu? Hukum mati dapat menjadi solusi efektif. Efektif untuk sterilisasi NKRI dari maling, juga efektif sebagai jurus kontra-terorisme. Stabilitas nasional lebih penting dari segalanya. Para koruptor sama tidak berharganya dengan para teroris. Mereka harus dimusnahkan dari bumi NKRI.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru