29.1 C
Jakarta

Alumnus Universitas Indonesia Ini Bisa Dibilang Penerus Ahmad Wahib

Artikel Trending

Islam dan Timur TengahIslam dan KebangsaanAlumnus Universitas Indonesia Ini Bisa Dibilang Penerus Ahmad Wahib
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Selain Ahmad Khoiri, saya punya teman, meski jarang ketemu, tapi dia selalu aktif bersua via sosmed. Ya, paling tidak di grup WhatsApp. Teman yang saya maksud adalah Zainal Abidin atau akrab saya sapa Mas Zainal. Saya tertarik mengulas tentangnya karena dia cukup frontal menuangkan gagasan-gagasannya di pelbagai media sosial. Yang saya tahu di Facebook dan WhatsApp Group.

Zainal secara geneologis merupakan lulusan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik di Universitas Indonesia (UI). Saya belum mendapatkan informasinya, apakah studinya ini masih di jenjang Strata Satu atau sudah Strata Dua. Tapi, yang jelas dia punya spesialisasi keilmuan dalam bidang politik. Satu tahun terakhir dia aktif di organisasi kemanusiaan yang bernama ”Ruang Damai”.

Saya mengamati perkembangan Zainal, baik sebelum maupun sesudah menyelesaikan studinya dan aktif di lembaga kemanusiaan itu. Ketika bertemu dulu, kisaran tiga tahunan yang lalu, saya melihat Zainal biasa saja dan tidak memperlihatkan argumentasi kritisnya dalam merespon hiruk-pikuk negeri ini. Tapi, ketika aktif di Ruang Damai dia mulai menuangkan gagasannya yang cukup frontal di sosmed. Bikin kaget, bukan?!

Saya membatin, kenapa Zainal mulai kritis melihat suatu persoalan, bahkan kekritisannya seakan tidak ada perasaan takut sedikit pun? Apa yang melatarbelakangi ideologinya? Kepentingan apa yang sedang dia kejar untuk diraihnya, duniawikah atau ukhrawikah? Lalu, siapa yang ada di balik kekritisan Zainal? Masih banyak pertanyaan yang tak mungkin saya sebutkan di sini. Paling tidak pertanyaan itu bisa mewakili dari beberapa pertanyaan yang terbersit di benak.

Kekritisan Zainal dalam merespon sesuatu mencakup beberapa hal: Pertama, tidak segan-segan mengkritik kelompok separatis (bila enggan berkata: ”radikal”). Biasanya kelompok yang dia kritik adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang sudah lama dibubarkan oleh pemerintah Indonesia. Meski begitu, Zainal melihat bahwa benih-benih HTI masih tetap tumbuh berkembang di negeri ini. Kenyataan semacam ini mungkin membuat Zainal gelisah dan merasa terganggu.

Kritik Zainal terhadap kelompok separatis juga dilayangkan pada pendiri Pesantren Az-Zaitun Panji Gumilang. Baginya, Panji terlibat dalam pemikiran kelompok separatis dan pesantren yang didirikannya berafiliasi dengan Negara Islam Indonesia (NII) sehingga tidak segan-segan Zainal menyebut Az-Zaitun adalah NII KW 9. Bahkan, Zainal menyuruh Panji belajar dari keruntuhan HTI agar nasibnya tidak berujung sial di kemudian hari. Ternyata benar, karena tidak mengindahkan saran Zainal, Panji terseret ke dalam penjara.

BACA JUGA  Dua Hal Penting Biar Kita Layak Jadi Warga Indonesia

Kedua, Zainal berani menyatakan kebobrokan pemerintah di negara ini. Baginya, pemerintah banyak dramanya. Pemerintah kurang serius dalam mengatur negara, sehingga korupsi sulit dibendung. Bahkan, dia juga kritik sayap pemerintah dalam pencegahan terorisme, yaitu BNPT. BNPT terlalu banyak menggunakan anggaran negara, sedang dampaknya kurang maksimal. Buktinya, masih banyak warga negara yang terpapar paham radikal, bahkan sebagian pergi ke Suriah untuk gabung dengan ISIS.

Kritik Zainal tersebut lahir dari kegelisahan batinnya. Kegelisahan ini sebagian dia tuangkan dalam bentuk pertanyaan saat menyambut Perayaan HUT RI yang ke-78. Begini saya kutipkan dari laman Facebooknya, ”Entah kita sudah merdeka dari apa dan siapa? Kemerdekaan macam apa? Ketika keadilan hanya hadir bagi mereka yang punya uang atau kekuasaan? Pancasila yang katanya sakti hanya indah dalam ilusi? Kemerdekaan untuk apa jika hanya mengantarkan rakyat Indonesia dari satu penjajahan ke penjajahan yang lain?”

Pertanyaan semacam itu pasti lahir dari kegelisahan batin. Sepertinya Zainal sedang mencari ketenangan itu bermuara. Dia merasakan trauma tingkat tinggi karena mungkin merasa dibohongi oleh janji manis pemimpin negara yang dulunya menebar janji di hadapan rakyatnya. Sekarang Zainal tidak mau mengulangi kembali terjebak dalam kebohongan para penguasa. Maka tidak heran jika dia dengan geramnya berteriak, ”Suara rakyat didengar hanya ketika Pemilu saja? Setelah itu, rakyat kembali dieksploitasi hanya untuk membiayai gaya hidup mewah para pejabat serta aparatur negara yang hobinya bersafari dan jalan-jalan ke luar negeri?”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengingatkan saya pada kegelisahan Ahmad Wahib yang tertuang dalam buku ”Pergolakan Pemikiran Islam”. Tapi, keberanian Ahmad Wahib dalam mengkritik kebijakan politik Suharto tidak berlangsung lama. Karena, dia mendapatkan intimidasi sehingga mengakibatkan terhadap keselamatannya. Kritik pada masa itu benar-benar tidak mendapatkan ruang. Tentu, ini berbeda dengan masa Zainal yang bebas menuangkan kritiknya di Era Reformasi sekarang.

Sebagai penutup, pencarian Zainal tentang hakikat kehidupan baru dia temukan dalam keluarganya. Dia mengaku, ”Tiada tempat yang paling menenteramkan di dunia ini selain keluarga.” Pertanyaan saya, apakah Zainal akan berhenti mengkritik setelah menemukan ketenangan ini? Jika melihat pemikir muslim Al-Ghazali, meski dia sudah menemukan kebenaran yang dia cari, dia tetap menyerang pemikiran para filsuf. Mungkin Zainal juga seperti Al-Ghazali.[] Shallallahu ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru