32.7 C
Jakarta

Aktualisasi Teologi Pembebasan ala Asghar Ali Engineer

Artikel Trending

Milenial IslamAktualisasi Teologi Pembebasan ala Asghar Ali Engineer
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – “Islam relevan dengan zaman modern, bukan?” Pertanyaan tersebut dilontarkan Asghar Ali (m. 2013), seorang pemikir dan aktivis pemimpin Daudi Bohras, salah satu kelompok Syi’ah Ismailiyyah di Bombay, India. Ini menarik sekali untuk dikaji.

Penting diungkap dahulu, saya mengenal pemikiran Asghar yang concern-nya pemosisian Islam sebagai Teologi Pembebasan (Theology of Freedom) itu setengah dekade lalu. Membaca karya relatif kontroversial tersebut memunculkan kesan tersendiri bagi saya, lebih-lebih pembahasannya mengarah pada persoalan sensitif; agama.

Tawaran penelaahan Islam dari aspek determinisme sejarah oleh Asghar bahkan ‘sempat’ memunculkan was-was, apakah saya harus meneruskan membaca atau tidak. Hal tersebut bukan karena saya meletakkan diri dalam posisi Muslim ortodoks.

Tetapi, karena penelaahan demikian saya sadari akan berimplikasi terhadap rekonstruksi dan restrukturisasi konsensus-dogmatis ulama abad pertengahan—meski dalam beberapa aspek hal tersebut memang merupakan keniscayaan. Pada akhirnya, jiwa muda saya saat itu memberontak untuk tidak meneruskan atau memosisikan diri sebagai Muslim yang ‘penakut’.

Pada setiap bab, saya akui, Asghar telah melakukan dekonstruksi terhadap dogma konvensional, utamanya tentang beberapa istilah seperti ‘mu’min’, ‘kafir’, ‘riba’, ‘tawhid’ dan ‘syirk’. Istilah-istilah tersebut dikemukakan kembali maknanya oleh Asghar dalam mencapai tujuan utamanya mengkonstruk Teologi Pembebasan.

Sebagai Muslim yang berpolitik-keagamaan Sunni, sudah barang tentu dalam beberapa persoalan saya tidak selaras dengan Asghar. Kendatipun demikian, kekaguman saya kepadanya tidak surut oleh perbedaan tersebut. Saya sangat kagum ketika memahami bahwa spirit utama pemikiran Asghar bertumpu pada dua hal; keadialan dan kebaikan (al-‘adl wa al-ihsan).

Keadilan (al-‘adl) dimaksudkan Asghar bahwa sejatinya, Islam—bisa dilihat dari materi wahyu saat awal turun di Makkah—sangat menginginkan tatanan sosial yang sejahtera dan jauh dari nuansa ketimpangan dan eksploitasi. Ajaran Islam yang revolusioner, dan dengan demikian Nabi adalah aktornya, dapat dilihat dalam upayanya mengentaskan kemapanan dan penindasan yang terjadi di Arab pra-Islam.

Tidak heran, kata Asghar, bahwa ternyata para penentang Nabi di Makkah didominasi kaum saudagar, yang notabene menganggap ajaran Nabi merugikan perekonomiannya. Meskipun perlu disadari bahwa bukan ajaran keagamaan yang membuat mereka menentang, namun justru dampak ajaran Islam terhadap sosial-ekonomi saudagar Arab ketika itu.

Adapun kebaikan (al-ihsan), menurut Asghar, merupakan implikasi yang dihasilkan dengan terciptanya keadilan tersebut.

Urgen untuk Diaktualisasi

Dengan membuang beberapa dogma Syi’ah Ismailiyyah yang melekat dalam diri Asghar, saya setuju dengan pemikirannya. Adalah sesuatu yang tidak dapat disangkal, bahwa “Teologi Pembebasan adalah kebutuhan saat ini—suatu teologi yang meletakkan tekanan berat pada pembebasan, persamaan, keadilan distribusi, menolak keras penindasan, penganiayaan dan eksploitasi manusia oleh manusia.”

Di samping itu, perjuangan problem bipolaritas spiritual-material dengan cara rekonstruksi tatanan sosial ke arah yang adil, egaliter dan tidak ekspolitatif juga merupakan keharusan, karena tujuan Islam ialah demi kemaslahatan manusia. Demi menambah dimensi-dimensi baru, kemungkinan-kemungkinan baru pun mesti dicari, karena menurut Asghar, kita “tidak bisa hidup dalam masyarakat satu dimensi.”

Upaya yang dapat dilakukan ialah langkah berani bahkan untuk merombak (baca: kritis) terhadap ketentuan yang sudah baku, utamanya yang telah dirumuskan ulama abad pertengahan dalam aspek sosio-religio-politik yang melingkupi mereka. Pemikiran mereka bagaimanapun tetap temporal, sehingga sakralisasi terhadapnya tidak bisa disebut sebagai kebenaran.

BACA JUGA  Melihat Lebaran Ketupat dari Kacamata Deradikalisasi

Apakah Asghar selamanya objektif dan pemikirannya tentang Teologi Pembebasan sama sekali tidak memiliki celah─kelemahan? Jelas tidak. Asghar juga pemikir yang pula tidak bisa sama sekali bebas dari persoalan sosial-ekonomi-agama-politik yang mengitarinya. Dari satu karyanya yang saya baca, Islam and Its Relevance to Our Age, Asghar memang kritis terhadap beberapa persoalan, terutama tentang politik Islamisasi Pakistan yang dipandangnya jauh dari kata Islami karena secara de facto kebijakannya masih eksploitatif.

Rakyat jauh dari kata sejahtera dan itu jelas jauh dari spirit Islam sejati. Bagi Asghar, sebagai konklusi dari banyak persoalan yang dibahasnya, kekuasaan dan kekayaan merupakan sesuatu yang ambivalen dengan keadilan. Keduanya tidak akan bisa bergandengan. Sayang sekali, Asghar tidak melengkapi hipotesisnya dengan membahas keadaan politik-keagamaan India, seperti dilakukannya kepada negara rivalnya, Pakistan.

Hal yang sama dilakukannya dengan sama sekali tidak menyinggung kemelut yang terjadi dalam Syi’ah Ismailiyyah sendiri, kecuali sedikit ketika ia membahas munculnya Qaramitah—cabang Ismailiyyah—disebabkan jiwa revolusioner Ismailiyyah memudar gara-gara telah memeroleh kekuasaan.

Sedikit Komentar Pribadi

Ketidakselarasan saya dengan pendapat Asghar juga ketika ia menggunakan ayat Al-Qur’an. Dalam setiap pendapatnya, sama sekali tidak dijumpai sisi penafsirannya terhadap ayat. Ia melontarkan suatu hipotesis, lantas kemudian mendukungnya dengan kutipan ayat yang kadang terjemahnya bersifat reduktif.

Barangkali penafsiran, lebih-lebih jika merujuk pendapat mufasir abad pertengahan, disinyalir Asghar hanya akan menghambat jalannya Teologi Pembebasan itu. Ia sama sekali bersikap abai bahwa suatu ayat, apalagi jika dipahami secara parsial, hanya akan mereduksi makna yang diharapkan dan dengan demikian Al-Qur’an telah dipelintirnya.

Alih-alih memaknai secara objektif, dengan menghindari penafsiran konvensional, justru ayat yang dikutip Asghar sekadar berkutat terhadap justifikasi hipotesisnya tanpa sedikit pun ruang untuk menentangnya.

Bahkan dalam suatu hipotesis tentang toleransi dan upaya mencapai kesatuan, Asghar mengutip satu ayat yang salah, entah kesalahan tersebut disebabkan kesalahan ketik atau apa pun. Yang jelas, ayat yang dikutipnya tidak ada (lihat bab ‘Islam dan Pembebasan’ catatan kaki nomor 68).

Redaksi yang agak mirip memang saya temukan dalam ayat lain yang berbeda dari yang dikutipnya, namun sekali lagi, ujung ayat justru sama sekali reduktif bahkan berbeda dari pemaknaan yang dikemukakan Asghar.

Begitulah sedikit petualangan saya bersama Asghar ketika itu, sang orator Teologi Pembebasan, yang baru sempat saya tulis sekarang. Semoga Allah Swt. senantiasa membimbing kita menjadi Muslim sejati, Muslim yang tidak takut melawan arus kemapanan yang mesti direkonstruksi.

Teologi Pembebasan adalah salah satu upaya rekonstruksi yang brilian di tengah dekadensi kekritisan umat Islam dewasa ini. Ia berusaha kembali kepada spirit Islam seperti di awal munculnya, yakni masa Nabi Saw., dan lepas dari pengaruh eksploitasi sosial-ekonomi-agama-politik manusia-manusia klasik selama rentangan sejarah Islam yang panjang.

Wallahu A’lam bi al-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru