28.4 C
Jakarta

Melihat Lebaran Ketupat dari Kacamata Deradikalisasi

Artikel Trending

Milenial IslamMelihat Lebaran Ketupat dari Kacamata Deradikalisasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Rabu (17/4) besok masyarakat akan kembali menggelar Lebaran lokal, yakni Lebaran Ketupat. Dikatakan Lebaran lokal karena ia tidak dirayakan oleh seluruh umat Islam, melainkan hanya ada di Indonesia. Di Indonesia sendiri pun tidak semua daerah menggelar, namun hanya sebagian saja. Karenanya, daripada disebut hari raya, Lebaran Ketupat lebih pas disebut sebagai tradisi. Perayaannya ialah hari kedelapan Syawal.

Tradisi Lebaran Ketupat memiliki latar historis yang panjang. Ia sudah ada sejak zaman Walisongo, dan yang masih berlangsung hingga kini merupakan pelestarian terhadap tradisi dan kearifan lokal (local wisdom). Kendati akhir-akhir ini kerap dibid’ahkan oleh pengikut Wahabisme, eksistensi Lebaran Ketupat merupakan simbol keterbukaan Islam, manifesto toleransi agama atas lokalitas, hingga perlawanan atas radikalisasi.

Dalam konteks antitesis radikalisasi ini, Lebaran Ketupat dapat dilihat sebagai ambivalensi Wahabisme. Selain itu, ia juga dapat dipandang sebagai konter atas gerakan transnasional seperti Hizbut Tahrir. Demikian karena baik Wahabisme maupun Hizbut Tahrir sama-sama mencoba menggerus loyalitas generasi bangsa terhadap negara dan sistem pemerintahan. Masyarakat dibuat radikal dan mendukung ideologi mereka. Ironis.

Karena itu, melihat Lebaran Ketupat dari kacamata deradikalisasi merupakan alternatif yang diperlukan saat ini. Namun deradikalisasi yang dimaksud di sini tidak dalam makna denotatif: menyembuhkan napiter dari terorisme, melainkan makna konotatif yakni melawan radikalisasi yang sedang semarak. Faktanya, banyak local wisdom yang semakin digerus radikalisasi, sehingga masyarakat Indonesia semakin asing dengan lokalitasnya sendiri.

Filosofi Ketupat

Menurut Wardani (2023), ketupat adalah simbol maaf bagi masyarakat Jawa. Ketika seseorang berkunjung ke rumah kerabatnya, mereka akan disuguhkan ketupat sebagai simbolisasi maaf. Jika dimakan, maka kerabatnya sudah menerima maafnya. Saling bermaaf-maafan, intinya. Ketupat terbuat dari tiga bahan utama, yaitu janur dan beras juga kerap dijadikan lambang tolak bala dan simbol kemakmuran.

Kata ketupat atau kupat berasal dari bahasa Jawa yaitu ‘ngaku lepat’, yang berarti ‘mengakui kesalahan’ dan ‘laku papat’ yang berarti ‘empat tindakan’, yaitu lebaran, luberan, leburan, dan laburan. Lebaran berarti selesainya Ramadan dan datangnya hari kemenangan, sedangkan luberan bermakna berbagi dan mengeluarkan sebagian harta yang luber kepada sesama, terutama yang finansial pas-pasan.

Adapun leburan berarti habis dan melebur, yaitu momen untuk saling melebur dosa dengan saling memaafkan satu sama lain. Sementara laburan yang berasal dari kata labur atau kapur dipahami bahwa hati seorang Muslim mesti kembali jernih dan putih laiknya sebuah kapur. Intinya, Lebaran Ketupat memiliki makna filosofis bebasnya umat Islam dari kesalahan, kebencian, permusuhan, dan segala sikap-sikap “radikal” lainnya.

BACA JUGA  Beragamalah dengan Rasional di Tahun Politik

Mengapa kebencian dan permusuhan disebut radikal? Jawabannya, karena ia merupakan titik tolak intoleransi, ekstremisme, bahkan terorisme. Indoktrinasi Wahabisme dan Hizbut Tahrir tidak mengajarkan apa pun kecuali membenci sesama: baik antar-Muslim dan lebih-lebih kepada non-Muslim. Mereka mengajarkan umat untuk melakukan pemberontakan (bughāt), pengafiran (takfīr), dan pembunuhan dengan kedok perang dan jihad.

Spirit Deradikalisasi

Doktrin radikal semacam itu yang mesti dilawan bersama dengan spirit deradikalisasi. Pentingnya spirit deradikalisasi hari ini memiliki alasan teologis-politis yang jelas. Alasan teologisnya ialah fakta aktual bahwa radikalisasi keislaman tengah mengalami eskalasi yang signifikan. Dimulai dari masifnya indoktrinasi puritanisme, propaganda khilafah, hingga provokasi ketidakpercayaan terhadap pemerintah. Mengapa disebut radikalisasi keislaman? Sebab pelaku dan targetnya adalah umat Muslim.

Lebaran Ketupat, sebuah perayaan yang kaya akan makna filosofis, bukan sekadar tradisi kuliner atau ritual kosong. Ia mengandung pesan mendalam tentang maaf, toleransi, dan perdamaian. Bagi masyarakat Jawa, ketupat adalah simbol ihwal pentingnya mengakui kesalahan, memaafkan, dan berbagi dengan sesama. Dalam konteks ini, Lebaran Ketupat merupakan perlawanan terhadap radikalisasi dan eksklusivisme Islam.

Ketupat juga memiliki makna geometris yang dalam: mencerminkan harmonisasi antarmasyarakat. Persegi yang menjadi bentuk ketupat, misalnya, dipersepsikan sebagai pandangan ‘kiblat papat lima pancer’, mengingatkan tentang pentingnya mengarahkan hidup kepada Allah Swt., sumber harmoni dan esensi keberagamaan yang darinya spirit deradikalisasi bertolak. Sayangnya, ini tidak banyak dipahami.

Lebaran Ketupat mengajarkan tentang menghargai keragaman, mengutuk segala rupa radikalisme, dan mendorong perdamaian. Pelajaran dari makna ketupat: betapa pentingnya mengakui kesalahan, memaafkan, dan berbagi dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Poin-poin ini tidak dijumpai dalam doktrin Wahabisme dan Hizbut Tahrir yang mengajarkan hal-hal negatif: mulai dari kebencian sesama hingga pemberontakan.

Di tengah gejolak ideologi yang merongrong kedamaian, spirit deradikalisasi mengembalikan Muslim ke esensi Islam yang menganjurkan cinta-kasih, toleransi, dan keadilan sesama. Lebaran Ketupat bukan hanya perayaan tradisional, tetapi juga panggilan terhadap umat Islam untuk bersatu dalam semangat moderat dan anti-radikalisasi: melawan segala yang mengancam multikulturalisme dan merusak persatuan dan kesatuan negara-bangsa.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru