33.2 C
Jakarta

Aktor Terorisme dan Isu Global Abad 21

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuAktor Terorisme dan Isu Global Abad 21
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: Teroris(Me) Aktor & Isu Global Abad XXI, Penulis: Dr. Agus Subagyo, S.IP, M.Si, Penerbit: CV. ALFABETA, Kota Penerbit: Bandung, Jawa Barat, Tahun Terbit: April 2015, Tebal Halaman: x + 106, Teks Bahasa: Bahasa Indonesia, Ukuran Buku: 14,5 × 20,5 cm, Cetakan Kesatu: Juli 2015, ISBN: 978-602-289-127-7, Peresensi: Fardhal Virgiawan Ramadhan.

Harakatuna.com – Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta sering kali merupakan warga sipil.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan “teroris” dan “terorisme”, para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran di mata teroris: “Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang“.

Padahal terorisme sendiri sering mengatasnamakan agama. Terorisme bukan merupakan suatu gejala baru apalagi setelah terjadinya peristiwa Word Trade Center (WTC) di New York Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2011.

Bentuk teror yang disebarkan dalam terorisme dapat berupa intimidasi dan ancaman, pembunuhan, penganiayaan, pengeboman, pembakaran, penculikan, penyanderaan, dan pembajakan. Dampak keragaman itu antara lain timbulnya kepanikan, perasaan terintimidasi, kekhawatiran, kehilangan harta benda, ketidakpastiaan, bahkan kematian.

Bom Bali I adalah rangkaian tiga peristiwa pengeboman yang terjadi pada malam hari tanggal 12 Oktober 2002. Dua ledakan pertama terjadi di Paddy’s Pub dan Sari Club (SC) di Jalan Legian, Kuta, Bali, sedangkan ledakan terakhir terjadi di dekat Kantor Konsulat Amerika Serikat, walaupun jaraknya cukup berjauhan. Pengeboman dalam skala yang jauh lebih kecil yang juga bertempat di Bali pada tahun 2005.

Tercatat 202 korban jiwa dan 209 orang luka-luka atau cedera, kebanyakan korban merupakan wisatawan asing yang sedang berkunjung ke lokasi yang merupakan tempat wisata tersebut. Peristiwa tersebut dianggap sebagai peristiwa terorisme terparah dalam sejarah Indonesia dan parahnya aksi terorisme ini menyangkutpautkan sebagai pergerakan suatu agama yang menyebutkan dirinya sebagai aksi jihad.

Dinamika hubungan internasional
Dinamika hubungan internasional sekarang ini terbelah menjadi dua zona, yakni zona teroris dan zona anti-teroris. Semua negara di dunia terpengaruh oleh munculnya isu dan aktor global abad 21, yakni teroris dan terorisme. Berbagai organisasi internasional, seperti PBB juga setiap tahunnya mengeluarkan daftar hitam nama-nama organisasi terorisme internasional yang patut untuk dihancurkan.

Berbagai organisasi ragional, seperti ASEAN dan Uni Eropa misalnya, mengeluarkan berbagai konvensi atau kesepakatan yang menentang keberadaan terorisme dan melakukan langkah aksi bersama untuk melawan terorisme. Buku ini mengulas tentang aktor dan isu global abad XXI yang banyak mendapatkan sorotan oleh publik internasional, yaitu terorisme.

Terorisme merupakan salah satu aktor dalam hubungan internasional dan menjadi isu global yang mewarnai konstelasi hubungan internasional dewasa ini. Buku ini mengulas tentang terorisme yang dilihat dari perspektif global dan hubungan internasional. Selain itu, dibahas pula bagaimana dinamika aksi terorisme di Indonesia dan upaya yang dilakukan oleh Polri, dan juga TNI, dalam melakukan pemberantasan terhadap terorisme di Indonesia.

Peristiwa Selasa, 11 September 2001, yang menewaskan sekitar 6.000 orang warga sipil memang sangat dahsyat. Mungkin, inilah peristiwa terdahsyat di awal abad ke-21. Dampaknya kepada dunia sangatlah luar biasa. Meski hanya dialami oleh Amerika Serikat saja, WTC dan Pentagon telah menjadi “terror” bagi seluruh dunia.

HAM dalam Hubungan Internasional

Dalam konteks hubungan internasional, upaya implementasi HAM mengalami benturan dan perdebatan. Kisaran perdebatan terletak pada masalah bagaimana interaksi antara implementasi nilai HAM yang bersifat universal dengan kedaulatan negara. Di manakah domain masalah hak asasi, apakah ini merupakan masalah domestik suatu negara yang kedaulatannya tidak dapat diganggu gugat ataukah ia sebagai masalah yang melampaui batas-batas kedaulatan negara.

Secara garis besar, perdebatan itu dapat dirangkum dalam dua pandangan berikut. Pertama, Autonomy of States. Pandangan ini menekankan pada pengakuan atas prinsip kedaulatan negara dalam hubungan internasional. Masalah yang muncul pada negara tertentu, termasuk masalah hak asasi, dilihat sebagai masalah domestik.

Pandangan ini didasarkan pada prinsip tidak campur tangan (non-intervensi) urusan dalam negara lain. Pandangan Autonomy of States bersumber dari pemikiran klasik Thomas Hobbes, bahwa dalam hubungan internasional, masing-masing negara mempunyai kedudukan yang sama; dalam keadaan states of nature.

Karena itu, kedaulatan negara tidak dapat disubordinasi terhadap hukum yang lebih tinggi; suatu hukuman internasional. Karena asas kedaulatan negara, hubungan internasional harus menghormati hak-hak menentukan nasib sendiri (the rights of self-determination) suatu negara.

Kedua, Cosmopolitan Perspective. Pandangan ini bertumpu pada pengakuan HAM pada tingkat individu secara universal. Karena itu, masalah hak asasi pada hakikatnya melampaui batas-batas nasional negara-bangsa. Dalam dunia yang mengalami saling ketergantungan, tidak relevan membatasi prinsip keadilan dalam batas-batas nasional yang sempit.

Meskipun Autonomy of States dan Cosmopolitan Perspective saling bertolak belakang baik dilihat dari asumsi-asumsi yang mendasari maupun pemikiran yang dikembangkan, terdapat kesamaan yang mendasar, yakni keduanya mengklaim HAM sebagai masalah fundamental dari demokrasi. Ironisnya, kesamaan klaim ini tidak dapat mencegah pertentangan seputar pengaplikasian isu HAM secara internasional atau proses internasionalisasi HAM.

Terorisme: Kembali ke High Politics?

Terdapat empat perubahan mendasar yang turut menentukan wujud tatanan politik dunia. Pertama, kecenderungan ke arah perubahan dalam kontelasi politik global dari suatu kerangka bipolar mengarah ke kerangka multipolar.

Kedua, menguatnya gejala saling ketergantungan (interpendensi) antar negara dan saling keterkaitan (interlink age) antar masalah global di berbagai bidang, politik, keamanan, ekonomi, dan lingkungan hidup. Seiring dengan itu, semakin menguat dampak globalisasi baik yang positif maupun yang negatif.

Ketiga, meningkatnya peranan-peranan aktor non-pemerintah dalam tata hubungan antarnegara. Keempat, munculnya isu baru dalam agenda internasional, seperti masalah HAM, intervensi humaniter, demokrasi, good governance, civil society, lingkungan hidup, dan pemberantasan korupsi. Dengan demikian, perubahan tata politik global pasca-Perang Dingin telah menggeser isu high politics menjadi low politics.

Bahkan, pada dasawarsa 1990-an, semakin menguat gejala baru dalam tata hubungan internasional, yaitu kecenderungan ke arah apa yang disebut dengan “intervensi humaniter”. Kemelut yang terjadi di Somalia, Rwanda, Haiti, Kosovo, dan Kongo merupakan kasus yang sangat kental bernuansa intervensi humaniter.

HAM vs Terorisme: “Global Antiterorism Governance”

Dalam konstruksi teoretis, istilah HAM dan terorisme merupakan istilah yang berlawanan. HAM sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, demokrasi, keadilan, dan perdamaian. Sedangkan terorisme sering kali disinonimkan dengan penggunaan atau ancaman kekerasan fisik namun berdampak psikologis tinggi karena ia menciptakan ketakutan dan kejutan.

Singkatnya, terorisme sangat dekat dengan anarkisme, brutalisme, dan kekerasan. Yang menjadi masalah adalah cara menangani dan mencegah tindak terorisme itu. Masalah “metode” penanganan terhadap terorisme global inilah yang terus menimbulkan pro kontra. Supaya perang melawan terorisme global tidak mematikan prinsip-prinsip HAM, diperlukan kerangka konseptual, yang harus dirumuskan oleh seluruh negara-negara di dunia, yang dapat dijadikan batu pijakan dalam memberantas terorisme global sekaligus sebagai pengontrol bias-bias HAM politik luar negeri AS.

PBB seharusnya merumuskan “Global Antiterorism Governance”, yakni suatu sistem pengelolaan dan penanganan masalah secara global-universal. PBB juga harus mengambil alih komando perang melawan terorisme. Semua langkah yang berkaitan dengan terorisme harus didiskusikan lewat forum PBB sehingga akan tercipta sinergi positif-efektif dalam memerangi terorisme global. Konsep “Global Antiterorism Governance” juga harus menjunjung tinggi prinsip HAM baik berskala nasional maupun internasional.

Konteks Domestik Daerah

Perubahan global saat ini, tentu saja mendorong setiap negara dan lembaga internasional, untuk menyesuaikan diri pada konstelasi global tersebut. Indonesia mendukung Resolusi DK PBB untuk memberantas terorisme global dengan cara-cara yang manusiawi dan berpegang teguh pada prinsip HAM.

Hal itu penting bagi politik luar negeri Indonesia mengingat adanya realitas bahwa negara-negara Barat akan memberikan bantuan dana bagi pemulihan ekonomi apabila Indonesia mendukung perang melawan terorisme global. Upaya Indonesia dalam memerangi terorisme global terdiri dari tiga lapis strategi terekam dalam laporan yang disampaikan kepada Komite Kontra-Terorisme (Center Terrorism Committee/CCT) DK PBB berikut.

Pertama, dalam skala internasional, Indonesia berupaya memperluas kerja sama dengan ASEAN, Gerakan Non-Blok (GNB), Organisasi Konferensi Islam (OKI), dan negara-negara Pasifik. Kedua, dalam skala regional, Indonesia juga terlibat secara intensif melawan terorisme bersama Filipina, Singapura, dan Malaysia. Bahkan Indonesia juga menandatangani sebuah Memorandum of Understanding (MoU) untuk memberantas terorisme bersama Australia.

Ketiga, dalam skala nasional, Indonesia secara intensif menggodog RUU anti-terorisme, RUU money laundering, dan memperbaiki sistem keimigrasian. Isu HAM sudah bergeser menjadi isu terorisme. Perang melawan terorisme global berimplikasi pada terpasungnya prinsip HAM. Oleh karena itu, konsep Global Antiterorism Governance harus segera dirumuskan oleh masing-masing negara melalui prosedur organisasi internasional, yakni PBB.

Amerika Serikat dan Ideologi “Politik Realis”

Pasca 11 September 2001, perhatian dunia internasional tersedot pada isu seputar terorisme. Peristiwa penghancuran World Trade Center  (WTC) di New York dan Gedung Pentagon, Kantor Departemen Pertahanan AS, di Washington, oleh pesawat komersial yang diduga dibajak kelompok terorisme.

Di tengah suasana berkabung atas tragedi itu, George W. Bush, membuat pernyataan kontroversial bahwa yang menjadi “dalang” atas tragedi WTC dan Pentagon adalah Osama bin Laden beserta jaringan Al-Qaeda yang bermarkas di Afghanistan. AS dibantu Inggris melakukan serangan udara atas basis-basis militer dan instalasi persenjataan tentara Taliban yang dianggap melindungi Osama bin Laden.

Realisme politik yang selalu ditampilkan oleh AS, sebenarnya tidak dapat menyelesaikan persoalan secara komprehensif dan tuntas. Bahkan, penggunaan kekuatan dan daya paksa semacam itu hanya akan menimbulkan resistensi dan perlawanan yang keras dari rezim Taliban.

Dengan demikian, yang patut dijadikan catatan adalah semua sepakat bahwa aksi-aksi terorisme harus dihancurkan. Tapi, cara-cara militer dengan menyerang negara berdaulat untuk mencari tokoh dan kelompok terorisme global patut disesalkan karena melanggar kedaulatan sebuah negara.

Cara-cara militer yang merupakan bagian besar dari praktek-praktek ideologi “politik realis” politik luar negeri AS sebaiknya diubah. Sebagai campiun demokrasi, AS seharusnya menerapkan ideologi “humanisme dan moralisme poltik” dalam mempraktikkan politik luar negerinya.

Konstelasi Baru Politik Internasional

Sebagai sebuah isu global masa kini, terorisme membawa isu-isu lainnya yang sebelumnya telah terbenam seiring dengan berakhirnya Perang Dingin. Isu-isu itu adalah militerisme, senjata nuklir, dan perang. Peran militer sangat dibutuhkan untuk menumpas terorisme global. Senjata nuklir yang sangat membahayakan keselamatan umat manusia mulai diperbincangkan untuk menghancurkan kelompok terorisme global dan negara yang melindunginya.

Perang mulai dikobarkan dengan legitimasi melawan aksi terorisme global. Isu-isu seputar terorisme global yang mengemuka akhir-akhir ini tentunya sangat membahayakan kemanusiaan, perdamaian, dan stabilitas internasional. Makna besar yang bisa diambil dari perubahan-perubahan besar politik dunia ini adalah terjadinya arus balik orientasi dan isu high politics yang mencakup kajian militer, keamanan, dan perang.

BACA JUGA  Keterlibatan Perempuan dalam Kejahatan Terorisme

Masing-masing negara dengan disponsori oleh PBB seharusnya mencetuskan sistem penanganan dan pengelolaan yang dapat menangkal terorisme global (Global Antiterorism Governance). Setelah itu, PBB harus mengambil alih komado dalam perang melawan terorisme sehingga sepak terjang AS dapat dikontrol dan dibatasi.

Pengelolaan dan penanganan terorisme secara global harus bertumpu pada pendekatan dialog dan kalaupun memakai cara-cara militer, harus didiskusikan secara mendalam dalam forum PBB sehingga tidak menimbulkan kritik dan resistansi dari berbagai pihak.

Global Antiterorism Governance

Dalam khazanah ilmu hubungan internasional, organisasi terorisme adalah salah satu aktor atau pemain dalam percaturan politik internasional, karena sifatnya yang melintas batas negara. Terorisme global telah menjadi isu yang mencuat ke permukaan dan tidak bisa dipungkiri lagi bahwa setiap negara berkewajiban untuk memberantasnya karena bagaimanapun tindakan teror sangat bertentangan dengan kemanusiaan, perdamaian, dan stabilitas keamanan internasional.

Semangat untuk memerangi terorisme terlihat pada KTT Uni Eropa di Brussel, Belgia, 21 September 2001 dan pertemuan para Menlu OKI di Doha, Qatar, 10 Oktober 2001. Setiap negara pun berkecenderungan untuk membuat undang-undang nasional yang berkait dengan penanganan terorisme global.

Tampaknya, ada semangat bersama di antara komponen masyarakat internasional bahwa terorisme global merupakan ancaman bersama dan karena sifatnya yang melintas batas antar negara, maka diperlukan kerjasama antar negara untuk memeranginya. Suatu kemustahilan apabila terorisme global dapat diperangi oleh suatu negara sendirian. Tanpa bantuan dan kerjasama dengan negara-negara lain, upaya memerangi terorisme tidak akan pernah berhasil.

Aktor dan Isu Global Abad XXI

Bersamaan dengan dinamika perubahan global, telah lahir pula isu baru yang sangat besar pengaruhnya terhadap tatanan politik ekonomi global saat ini. Isu ini baru ini adalah isu seputar masalah terorisme. Konsekuensi dari mencuatnya isu terorisme ke permukaan adalah lahirnya teroris sebagai aktor yang sangat diperhitungkan di atas pentas internasional.

Untuk merespons konteks global yang berubah tersebut, masing-masing negara di dunia sebagai entitas politik yang otonom melakukan proses-proses penyesuaian. Hal ini biasa dilihat dalam kebijakan domestik masing-masing negara yang terkesan hanya menanggapi dinamika eksternal yang terjadi.

Selain itu, secara bersamaan ada semacam kesadaran diri masing-masing negara untuk meningkatkan kerja sama intelijen dan melakukan perjanjian ekstradisi. Latihan kemiliteran gabungan yang bertujuan untuk menangkal praktik terorisme global serta fenomena bantuan militer dan peralatan teknis lainnya juga semakin merebak mewarnai dinamika internal masing-masing negara di dunia.

Osama Bin Laden: Pahlawan atau Teroris?

Hingga saat ini, belum ada kesepakatan yang baku tentang apa definisi terorisme. Masing-masing ilmuwan hubungan internasional berbeda pendapat akan istilah terorisme dan gerakan perjuangan kemerdekaan. Padahal, aksi-aksi terorisme semakin merebak di awal abad ke-21. Tragedi WTC dam Pentagon yang terjadi pada 11 September 2001 disinyalir oleh sebagian besar pihak dilakukan oleh gerakan terorisme.

Presiden AS, George W. Bush menuding Osama bin Laden dan jemaah Al-Qaeda sebagai pelakunya. Spekulasi-spekulasi bermunculan seperti teori konspirasi bahwa pelaku utama dari tragedi WTC dan Pentagon adalah Israel dan rakyat AS sendiri.

Osama Bin Laden yang bernama asli Usamah bin Muhammad Awal bin Laden, adalah anak ke-17 dari 50 bersaudara. Dia lahir di Riyadh tahun 1957, saat ayahnya, Mohammad bin Laden telah sukses menjadi konglomerat Arab Saudi yang berkecukupan dalam segi ekonomi dan kasih sayang. Selama bersekolah, Osama aktif dalam gerakan dalam gerakan Ikhwanul Muslimin dan banyak berdiskusi dengan tokoh-tokoh terkenal seperti Abdullah Azzam dan Sayyid Quthb.

Akhirnya, gejala disintegrasi bangsa menjadi fenomena penting yang mendapat perhatian serius waktu itu. Melihat bahayanya permasalahan terorisme di Indonesia ini terhadap persatuan bangsa dan perkembangan multikulturalisme yang sedang dibangun, perlu diupayakan sebuah strategi untuk menangkalnya secepat mungkin. Salah satu cara yang efektif untuk itu adalah langkah penguatan civil society Indonesia.

Relasi Islam dan Negara Pasca Tragedi Bom Bali

Sebagai reaksi atas tragedi bom di Legian, Kuta, Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 melalui Menetri Kehakiman dan HAM, Yusril Ihza Mahendra mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Anti Terorisme. Pemerintah berharap dengan terbitnya Perppu Anti-Terorisme tersebut dapat dijadikan payung hukum kontra-terorisme.

Meskipun mendapat dukungan
Meskipun mendapat dukungan dari negara-negara di dunia, khususnya AS dan sekutunya, Perppu Anti-Terorisme dipandang secara bervariasi oleh publik domestik. Publik menilai bahwa dikeluarkannya Perppu Anti-Terorisme diibaratkan sebagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menangani persoalan terorisme. Namun di sisi lain, dikhawatirkan oleh publik akan disalahgunakan oleh pemerintah dalam memberangus lawan-lawan politik atau kelompok oposan.

Relasi Al-Qaeda dan Jamaah Islamiyah

Al-Qaeda adalah organisasi teroris internasional pimpinan Osama bin Laden yang berbasis di Afghanistan. Al-Qaeda memiliki sel-sel dan jaringan di seluruh wilayah dunia. Al-Qaeda mendukung dan mendanai setiap gerakan radikal yang menentang hegemoni AS. Jama’ah Islamiyah atau sering disebut pula dengan JI adalah organisasi keagamaan radikal yang didirikan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir pada tahun 1993. Organisasi ini beroperasi di Singapura, Indonesia, Filipina, dan Thailand.

TNI dan Terorisme

Perkembangan lingkungan strategis yang ditandai dengan adanya saling ketergantungan antar negara di mana setiap perubahan yang terjadi pada satu negara akan mempengaruhi negara lain merupakan gambaran kondisi dunia yang telah menapaki era globalisasi, yang diakselerasi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi.

Salah satu peristiwa yang merupakan dampak dari perkembangan lingkungan strategis tersebut adalah merebaknya aksi terorisme yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Aksi terorisme diduga kuat sangat terkait dengan jaringan terorisme internasional yang beroperasi di berbagai negara. Upaya terhadap terorisme sangat mendesak dilakukan untuk menciptakan rasa aman dan mendorong stabilitas keamanan nasional.

Perkembangan Lingkungan Strategis

Permasalahan pelanggaran HAM telah dijadikan alat untuk menekan dan menginvestasi negara-negara berkembang dengan melakukan embargo militer di mana Indonesia merupakan salah satu negara yang terkena dampaknya.

Sejak tahun 1999, khususnya ketika terjadi kerusuhan pasca jajak pendapat di Timor-Timur, Indonesia dituduh oleh negara-negara Barat melanggar HAM sehingga dijatuhkan embargo persenjataan yang tentunya berdampak negatif terhadap sistem persenjataan negara.

Penerapan nilai-nilai demokrasi yang bersifat universal-global yang diadopsi oleh setiap negara di dunia telah menciptakan ruang kebebasan dalam berserikat dan berkumpul bagi setiap warga negara yang sebenarnya sangat bagus bagi perkembangan jalannya pemerintahan telah dimanfaatkan oleh sekelompok orang untuk melakukan tindakan teror yang melanggar hukum dan mengancam stabilitas pemerintahan.

TNI, Terorisme, dan Stabilitas Nasional

UU No. 15 Tahun 2003 tentang penanganan terhadap terorisme belum mewadahi secara eksplisit unsur satuan khusus anti-teror TNI. UU terorisme tersebut masih sangat terbatas dan belum detail dalam penanganan aksi teror di Indonesia. UU terorisme tersebut belum dijabarkan dalam aturan perundang-undangan di bawahnya seperti PP, Perpres, atau peraturan lainnya.

Daya Dorong TNI dalam Kontra-Terorisme

Dalam UU TNI disebutkan bahwa TNI melakukan OMSP, yang salah satunya menumpas aksi terorisme, namun dalam kenyataannya TNI kurang difungsikan dalam penanganan aksi teror dan menyebabkan masyarakat kondisi ini sebagai superioritas Polri terhadap TNI di era-Reformasi.

Pasal 7 UU TNI dinyatakan bahwa ada dua macam operasi TNI, yakni Operasi Militer Untuk Perang dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP). Berlandaskan UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, Kepolisian RI melalui Densus 88 telah melakukan perburuan terhadap para teroris. Namun, kinerja Polri masih dikatakan belum optimal dan bahkan terkesan kedodoran dalam penanganan terorisme.

Dalam penanganan terorisme, TNI menghadapi berbagai peluang yang dapat dimanfaatkan sehingga dapat mendorong stabilitas nasional, antara lain: perang melawan terorisme yang dilakukan oleh AS dapat dijadikan peluang bagi Indonesia untuk meyakinkan dunia internasional, bahwa penanganan aksi teror tidak hanya bisa dilakukan oleh satuan tertentu semata.

Citra positif masyarakat internasional terhadap kepemimpinan nasional yang dinilai sangat komit terhadap nilai-nilai demokrasi, HAM, dan good governance menjadi peluang bagi Indonesia untuk menggalang dukungan internasional dalam menyelesaikan aksi teror secara mandiri tanpa ada intervensi dari negara lain.

Densus 88 AT dan Intelkam

Sejak peristiwa WTC dan pentangon 11 September 2001 lalu terorisme dijadikan sebagai kejahatan transnasional telah menjadi isu global yang memengaruhi kehidupan antara yang terjadi di wilayah Indonesia belakangan ini sangat mengancam keamanan dan ketertiban mayarakat. Indonesia sangat terpengaruh oleh isu terorisme global. Keamanan dalam negeri Indonesia sangat terancam oleh aksi terorisme yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia.

Satuan Intelkam adalah unsur pelaksana utama Polres yang berada di bawah Kapolres, bertugas membina fungsi intelijen bidang keamanan, termasuk persandian, dan pemberian pelayanan dalam bentuk surat izin yang menyangkut orang asing, senjata api dan bahan peledak, kegiatan sosial-politik masyarakat, dan Surat Keterangan Rekaman Kejahatan (SKRK/Criminal Record).

Visi Intelkam adalah terwujudnya postur Intelkam yang profesional, bermoral, dan modern dalam memelihara Kamtibmas dan penegakan hukum. Mereka melaksanakan early warning dan early detection terhadap ancaman dan gangguan keamanan guna mewujudkan kewaspadaan dan stabilitas keamanan.

Kekuatan Buku

Cover buku dibuat dengan semenarik mungkin agar minat pembaca terhadap buku semakin tinggi. Judul buku dengan cover buku sesuai karena di cover tersebut terdapat gambar atau aksi-aksi teroris dengan adanya senjata, dan seperti kejadian bom api. Dalam buku yang berisikan enam bab ini juga menjelaskan tentang kejadian teroris yang terjadi di AS secara terperinci.

Isi dari buku ini pun tidak kalah menarik dengan buku terorisme yang lain, karena dalam buku ini juga terdapat beberapa hal yang menjelaskan tentang hubungan terorisme dengan Indonesia. Dalam buku ini juga menjelaskan hubungan teroris dengan Polri, Densus 88, serta intelijen Polri.

Minat para pembaca
Minat para pembaca buku ini pun dapat meningkat jika dalam buku tersebut terdapat beberapa gambar nyata terorisme yang telah terjadi pada dunia belakangan ini. Buku ini sangat bagus untuk dibaca oleh para pemerhati terorisme, akademis, dosen, peneliti keamanan, penstudi pertahanan, kalangan TNI, Polri, dan mahasiswa yang berminat terhadap kajian terorisme.

Kelemahan Buku

Kelemahan dalam buku ini terdapat di dalam cover, mungkin covernya terlihat bad quality karena bahan kertas tersebut masih tergolong jelek, warna gambar menjadi tidak jelas. Ini dapat membuat minat para pembaca menjadi lemah dalam kasus ini.

Selain itu, pada bagian bab kedua tidak terdapat footnote, pembaca harus dapat memahami betul sumber informasi tersebut dengan jelas karena ini sangat penting dan harus ada. Pada bab-bab selanjutnya tidak terdapat gambar atau foto yang dimuat, ini salah satu terjadinya kebosanan pembaca terhadap buku tersebut.

Kendati demikian, buku ini sangat bagus untuk dibaca oleh para pemerhati terorisme, akademisi, dosen, peneliti keamanan, pegiat studi pertahanan, TNI, Polri, dan mahasiswa yang berminat terhadap kasus permasalahan-permasalahan terorisme.

Fardhal Virgiawan Ramadhan
Fardhal Virgiawan Ramadhan
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Jenderal Achmad Yani

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru