31.2 C
Jakarta
Array

5700 KM Menuju Surga (Bagian XXXVIII)

Artikel Trending

5700 KM Menuju Surga (Bagian XXXVIII)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

YA ALLAH TENANGKAN ANGIN DAN HUJAN !

Hari itu, Senin 26 Maret 2012 Senad memasuki sebuah pegunungan yang cukup landai di Turki. Cuaca waktu itu begitu gelap. Kabut tebal di mana-mana dan sesekali kilat disertai petir menyambar. Cahayanya menerangi bumi bak lidah api menjulur panjang sampai kaki langit. Suasana begitu sepi. Tak ada seorang pun yang ada di sana karena cuaca memang sedang tidak menentu.

Sekitar siang hari pukul 1.00 hujan deras mulai turun, petir dan guntur bekilatan, langit mendung membuat hari menjadi hitam seperti malam, sementara salju setinggi 1.5 meter belum meleleh menyusahkan siapa pun yang berusaha melintasi gunung itu karena jalan licin dan tertutupi salju. Dalam kondisi seperti itu, Senad terus melanjutkan perjalanan terlepas dari kondisi dan cuaca yang buruk sekali pun.

Sesekali dia berpapasan dengan orang-orang yang menuruni gunung karena kondisi cuaca yang tidak memungkinkan mereka untuk melanjutkan perjalanan. Mereka merasa heran melihat Senad di tengah kondisi begitu berjalan kaki sendirian dengan kondisi gelap dan ekstrim seperti ini. Senad sesekali tersenyum kepada orang-orang yang menatapnya sambil mengucapkan salam. Dalam rumus perjalanan Senad, tidak ada kata kembali, ia harus terus senantiasa melanjutkan perjalanan bagaimana pun kondisinya. Bahkan, ketika berada di dalam hutan sendirian dalam kegelapan malam sekali pun seperti hari itu ia tetap melanjutkan perjalanannya.

Karena hujan makin deras dan halilintar senantiasa bergemuruh di atas langit, Senad begitu kesulitan karena jalanan penuh salju dan gelap. Ia kuatir terpeleset untuk kemudian terjatuh dan terguling-guling ke bawah gunung. Dia melangkah begitu hati-hati dengan tongkat kayu yang dipegangnya. Bingung dengan kondisi gunung yang begitu gelap dan hujan yang deras yang tiada henti, Senad  mengangkat tangannya ke langit dan berdoa meminta kepada Allah agar angin dan hujan menjadi tenang.

Senad terus melanjutkan perjalanan sesudah dia menyelesaikan doanya, kemudian persis 30 menit sesudah ia selesai berdoa hujan pun berhenti, guntur dan petir menghilang untuk kemudian matahari menyemburkan cahayanya di langit, dan Senad pun bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikanNya. “Aku sungguh mencintai-Mu ya Allah,” gumannya pelan sesudah bangun dari sujud syukur sambil tersenyum menghadap ke langit. ***

DARI ANATOLIA AKU MEMBAWA CINTA

Rabu, 28 maret 2012 Senad berjalan ke kota Kizilcahamam, kota yang merupakan salah satu distrik dari Ankara yang berada sebuah wilayah yang berada di Anatolia. Panjangnya perjalanan yang harus dilewati di wilayah ini menurut perkiraan Senad sepanjang 64 KM.

Saat itu suhu udara mencapai -10 derajat celcius dan tinggi salju di pegunungan mencapai 2 meter. Tidak banyak yang diketahui oleh Senad mengenai Anatolia, selain di sana terdapat puasara seorang pujangga agung, Maulana Jalaludin Arrumi yang karya-karyanya memengaruhi kesusasteraan Barat baik di masa Goethe atau pun Dante. Di samping tenunan karpet sutera yang begitu cantik dan dikenal di mana-mana. Wajarlah apabila Anatolia disimbolkan sebagai kota yang dipenuhi dengan cinta dan keindahan.

Sebagian besar wilayah Kizilcahaman merupakan hutan dan pegunungan yang menjadi pembatas antara kota mistis ini dengan laut hitam (black sea). Kota yang menurut sensus penduduk tahun 2010 mempunyai penghuni sebanyak 52.253 jiwa dan 40 persen penduduknya memadati Kizilchamam. Selebihya tersebar di berbawagai wilayah di daerah tersebut.

Dalam perjalanan melewati salah satu pegunungan di daerah Kizilchamam Senad bertemu dengan sekumpulan militer yang sedang melakukan patroli di pegunungan Turki. Mereka heran melihat orang Bosnia berjalan sendirian dalam cuaca esktrim seperti ini. Mereka berpikir bahwa apa yang dilakukan Senad melewati pegunungan bukanlah sebuah keputusan yang bijak untuk diri sendiri dan keselamatannya. Mereka tidak mengetahui bahwa laki-laki Bosnia yang sedang menembus gunung dengan melewati es yang membeku di sepanjang jalan adalah Senad Hadzic, sang pejalan kaki menuju NUR ILAHI. ***

LIHATLAH NENA SUDAH BANGUN DARI RANJANG

Senja sudah mulai memeluk Turki, dan lampu-lampu penerangan di jalan-jalan kota sudah mulai menyala satu persatu. Di sebuah kota, Senad bertemu dengan seorang kakek-kakek yang menunggunya di pinggiran jalan yang akan ia lalui, kakek itu adalah orang Sandzak, Serbia, yang sudah pernah menunaikan ibadah haji. Ia ingin sekali menghormati dan memuliakan Senad dengan memberikannya tempat istirahat dan makan.

Kakek yang belakangan diketahui bernama Makrim Abdullah itu seakan begitu merindukan kehadiran Senad, ketika Senad melewati jalan yang tidak begitu jauh dari rumahnya, ia berjalan menghampiri Senad. Usai memeluk dan menyalami Senad, ia membawa Senad menuju rumahnya untuk beristirahat. Di ruangan tamu Makrim, Senad dan kakek itu berangkulan seumpama anak dan bapaknya yang sudah lama tak bersua. Begitu perhatian dan sayang kakek tersebut kepada Senad sehingga segala keperluan Senad sekecil apa pun berusaha ia layani di tengah kondisi isterinya yang sedang terbaring lemah karena sakit.

Di tengah-tengah pembicaraan mereka, kakek itu bercerita kepada Senad bahwa isterinya, Nena yang berusia 80 tahun sedang sakit dan hanya bisa berbaring di ranjang. Berbagai upaya medis sudah dilakukan untuk menyembuhkan Nena, namun sampai saat ini Nena masih juga belum diberikan kesembuhan. Ucap kakek itu sambil menahan kesedihan. Matanya mulai berkaca-kaca menceritakan kondisi isterinya.

Senad tidak kuasa mendengar cerita Makrim Abdullah, kakek nan tulus dan lembut itu, sesudah kakek itu selesai bercerita kepada dirinya mengenai kondisi Nena, Senad bergegas mendatangi kamar Nena. Ia ingin sekali bertemu dan melihat kondisi Nena.

“Engkaukah Senad pejalan kaki menuju Allah itu,” ujar Nena berusaha menyambut kedatangan Senad di tengah kelemahan kondisi fisiknya. Nena tersenyum sambil menatap Senad, Senad membalas dengan salam sambil tersenyum. Dia begitu sedih melihat kondisi Nena, mukanya begitu pucat dan badanya kurus kering. Terlihat bahwa Nena sudah lama berbaring di ranjang karena sakitnya.

Tidak banyak pembicaraan antara dirinya dan Nena, selain Senad banyak bertanya mengenai sakitnya. Senad duduk di samping Nena kemudian berdoa di hadapannya, memohon kepada Allah agar memberikan kesembuhan kepada keluarga yang mulia ini. Mata Senad ikut berkaca-kaca. Ia begitu tersentuh dengan kondisi Nena yang begitu lemah seakan tiada bertenaga. Usai menemui Nena, malam itu, Senad tidak begitu bisa mengistirahatkan badannya, pikirannya selalu dipenuhi dengan bayangan Nena yang menyedihkan. Malam harinya ia melaksanakan shalat hajat dan tahajud, memohon kepada Allah agar memberikan kesembuhan kepada Nena.

Setelah dua hari para tetangga terlihat bahagia dan tersenyum. Senad pun bertanya, “Apa yang membuat kalian begitu bahagia?” Mereka balik bertanya kepada Senad,”Apakah engkau berdoa kepada Allah untuk kesehatan Nena?” Dan Senad menjawab,”iya, iya.” Lalu mereka mengatakan,”Lihatlah Nena bangun dari ranjang dan sekarang sedang menyiapkan kopi.” Senad terdiam. Dia begitu bahagia dan sejurus kemudian memasuki rumah kakek itu. Kakek itu memeluk Senad dan mengucapkan terimakasih. ***

Ikuti penulis di:

Wattpad:birulaut_78

Instagram: mujahidin_nur

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru