35.1 C
Jakarta

Yerusalem: Intoleransi, Okupasi, dan Zionisme

Artikel Trending

Milenial IslamYerusalem: Intoleransi, Okupasi, dan Zionisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sebuah podcast santai Mongol dan Husein Ja’far membicarakan tentang Yerusalem. Mongol bertanya, dalam konteks perebutan tanah Al-Aqsha, siapa yang salah? Husein tidak menjawab, lalu Mongol menimpali, bahwa dalam Satanisme diajarkan, bahwa yang bersalah adalah Ibrahim. Sebab, ia punya dua anak: Ismail dan Ishak, namun tidak membagi tanah. Akhirnya hari ini pertikaian tidak terhindarkan.

Apa yang menarik ditelaah dari uraian Mongol tersebut adalah tentang eksistensi agama-agama Semitik, yakni Yahudi, Kristen, dan Islam dari akar yang sama yaitu Ibrahim. Ketika toleransi antaragama menjadi keniscayaan hari ini, termasuk dengan Hindu, Buddha, dan lainnya, pertikaian tiga agama samawi menjadi sesuatu yang ironis. Apakah Yerusalem tidak dapat didamaikan, atau ada faktor lain yang menghambatnya?

Melihat fakta sejarah ketika Yerusalem menjadi kota suci tiga agama, intoleransi menjadi faktor parsial saja dari konflik tak berkesudahan itu. Masalah utamanya terletak pada okupasi Israel dan agenda zionisme. Para zionis menginginkan negara eksklusif rasial dan tidak menoleransi perbedaan. Tidak hanya Islam, Kristen juga mejadi sasaran genosida. Yerusalem tengah distabilkan dari non-Yahudi.

Tantangan Toleransi

Islam tidak pernah mengajari pemeluknya untuk bersikap intoleran. Baik dalam Al-Qur’an maupun hadis, nasnya sudah jelas, bahwa perbedaan adalah sunatullah. Tidak ada hak untuk setiap Muslim berseteru lantaran berbeda. Apalagi perbedaan dengan outsider, bahkan perbedaan sesama umat Islam pun, atau dikenal perbedaan insider, tak patut untuk dipolemikkan. Ini kontras dengan doktrin zionisme dalam okupasi mereka.

Yahudi pun, seperti juga agama-agama yang lain, tidak pernah mendoktrinkan intoleransi. Kitab suci mereka mengajarkan belas kasih antarumat manusia. Sehingga bila ada peristiwa seperti di Gaza, yang bermasalah bukan agama Yahudi, melainkan pemeluknya: zionis. Lalu umat beragama dibuat heran, apa sebenarnya yang membuat mereka bersikap intoleran?

Untuk menjawabnya, kita perlu menyelisik beberapa hal penting. Pertama, fanatisme umat antaragama. Kedua, kecemburuan sosial. Ketiga, kesenjangan ekonomi. Kecemburuan sosial dan kesenjangan ekonomi barangkali tidak signifikan. Sebab, intoleransi tersebut tidak terjadi dalam solidaritas mekanik, juga dalam ekonomi setara: sama-sama menengah ke bawah, misalnya. Keempat, okupasi. Inilah biang keroknya.

Mengapa okupasi zionisme jadi pemicu utama? Karena mereka fanatis. Dalam contoh intoleransi yang terjadi, ketika merasa terganggu dengan peribadatan orang lain, maka ada yang absen dalam diri kita: kemanusiaan. Kemanusiaan itu tak akan hadir, kecuali fanatisme keberagamaan sudah hilang dari dalam diri kita. Sayangnya, kemanusiaan itu sendiri sering kali dianggap sesuatu yang tabu.

BACA JUGA  Menakar Jebakan Isu Pemilu Curang dari Kelompok Ekstrem-Radikal

Memberangus fanatisme, itu artinya kita mengharapkan kemanusiaan. Sedang mengharapkan kemanusiaan, itu artinya kita mengedepankan toleransi. Musuh terbesar toleransi adalah fanatisme. Fanatisme sendiri tidak inheren dalam agama, melainkan murni penyakit para pemeluk agama. Karenanya, ketika intoleransi terjadi, merekalah yang mesti ditegur, bukan agamanya.

Lalu bagaimana cara memberantas fanatisme keberagamaan, sementara ia sendiri tak diajarkan oleh setiap agama?

Yang dapat kita lakukan adalah pelurusan doktrin, juga peneguhan kembali moderasi beragama. Kasus-kasus seperti di atas tidak akan terjadi, jika pandangan moderat tertanam dalam diri setiap umat. Fanatisme sendiri bukan organ tunggal. Di dalamnya ada eksklusivisme, absolutisme, di samping absennya humanisme. Itulah musuh terbesar toleransi kita.

Intoleransi di Masyarakat Kita

Telah banyak contoh intoleransi. Artinya, masyarakat kita banyak yang tidak siap menghadapi perbedaan. Nuansa keberagamaan kita cenderung masih hitam putih. Yang berbeda maka salah, yang seragam dipaksategakkan. Umumnya, rumah ibadah menjadi pelampiasan. Rumah Tuhan menjadi sasaran dari egoisme keberagamaan pelaku intoleransi. Dalam konteks ini, Yerusalem adalah sasarannya.

Melihat kasus yang terjadi, tampaknya masyarakat kita melakukan aksi intoleran juga dipengaruhi motif balas dendam. Setiap ada kasus intoleransi umat Islam, umat Kristen juga mengalami, meski di lain tempat dan di waktu yang terpaut jauh beda. Yang terakhir ini cukup rumit. Sebab, terjadinya bergantung pada seberapa kecil perilaku intoleran terjadi. Jika faktanya besar, ia pun juga demikian.

Sebagai musuh besar bersama, langkah-langkah strategis pemerintah menjadi sesuatu yang urgen. Ternyata tak hanya radikalisme-ekstremisme yang mengusik keberagamaan kita, melainkan juga intoleransi. Jika ekstremisme menuntut perombakan sistem pemerintahan atau delegitimasi, intoleransi justru menuntut keseragaman—tuntutan yang sejujurnya mustahil terpenuhi.

Intoleransi dalam masyarakat tak bisa kita katakan berada di ambang batas. Setiap perilaku intoleran mesti dilawan, karena selain kontradiktif dengan agama, ia berpotensi memporak-porandakan kerukunan sosial. Tentu perlawanan di sini bisa ditempuh melalui penguatan moderasi tadi. Tidak melalui dengan mempidanakan. Karena ketika bebas, mereka akan mengulanginya lagi.

Apa yang menimpa saudara Palestina, Muslim maupun Kristiani, sejujurnya adalah masalah kita juga. Oleh karena itu, lepas tangan adalah keputusan terburuk. Intoleransi adalah PR kita. Ia adalah cobaan semua umat beragama. Terserah kita, cobaan tersebut akan kita biarkan, atau justru kita akan saling berpangku tangan, dan tidak pernah memberikan ruang intoleran mencatut agama kita. Okupasi zionisme haru ditentang sekuat mungkin.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru