26.6 C
Jakarta

Urgensi Toleransi Politik Demi Menyelamatkan Pancasila

Artikel Trending

KhazanahOpiniUrgensi Toleransi Politik Demi Menyelamatkan Pancasila
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Menjelang perhelatan Pemilu 2024 mendatang, sederet tokoh hingga partai politik turut menghiasi ruang publik. Mereka memperkenalkan dirinya serta menawarkan gagasan politiknya—untuk memikat hati rakyat. Benarkah toleransi politik itu urgen untuk menyelamatkan Pancasila?

Seiring dengan perkembangan teknologi dan sosial media, dengan penyebaran informasi yang masif, tentu masyarakat memiliki pengetahuan tentang perkembangan politik. Terutama dalam hal mengetahui siapa saja tokoh maupun partai politik sebagai peserta pemilu 2024.

Pasalnya, peserta Pemilu yang akan berkontestasi pada 2024 dapat memanfaatkan teknologi digital yang dinilai efektif dan berbiaya murah, daripada memasang baliho di jalanan dengan cost politics yang sangat mahal. Sederet partai politik mendaftarkan diri ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai peserta pemilu 2024. Karena, sebelumnya KPU telah menetapkan 17 partai politik nasional dan 6 partai politik lokal, Aceh yang lolos verifikasi administrasi dan faktual.

Partai politik yang terdaftar, mempunyai ideologi masing-masing. Hal tersebut menjadi tantangan bagi masyarakat Indonesia dalam menyukseskan perhelatan demokrasi yang dilaksanakan secara serentak. Di situlah, baik masyarakat sebagai tokoh politik sebagai peserta, anggota maupun kader hingga simpatisan partai politik, penting untuk mempunyai pengetahuan serta kesadaran tentang pentingnya bertoleransi.

Litbang Kompas merilis hasil survei dengan tajuk ‘toleransi’ dengan jumlah 512 responden yang mencakup 34 provinsi di Indonesia. Dengan tingkat kepercayaan 95%, pandangan responden terhadap kekhawatiran pemilu 2024 menunjukan sangat khawatir 24,3%, khawatir 53,5%, tidak khawatir 16,4%, sangat tidak khawatir 3,2% dan tidak tahu 2,6%. Jadi, data yang mengarah keatas tingkat kekhawatiran mencapai lebih dari setengahnya, yakni 77,8%.

Toleransi Berpolitik

Falsafah dalam berpolitik, merujuk pada konsesus kebangsaan yang diwariskan oleh The Founding Father bangsa Indonesia, sejatinya adalah jalan untuk membangun peradaban dan keadaban. Bukan saling menjatuhkan, menghujat hingga memproduksi hoaks yang kemudian disebarluaskan kepada masyarakat luas. Hingga terkesan pembodohan publik dengan mempersuasif masyarakat.

Lanjutan di atas, sudah menjadi tanggung jawab bagi masyarakat yang cerdas dan sadar kemanusiaan, turut serta mengantisipasi adanya fenomena tersebut. Jangan sampai masif ke grassroot yang dapat memecah belah keutuhan NKRI. Karena, masyarakat internasional mengenal Indonesia sebagai bangsa yang mengedepankan pluralisme, toleransi, perdamaian dan keadilan sosial.

Setara Institute merilis Indeks Kota Toleransi (IKT) dengan sampel sembilan puluh empat kota/kabupaten. Tiga kota/kabupaten dengan menempati peringkat teratas dengan indikator total skor toleransi tertinggi. Pertama, Singkawang (6.583), Kedua, Salatiga (6.417), Ketiga, Bekasi (6.080).

Sedangkan tiga kota/kabupaten dengan menempati pemeringkatan tiga peringkat terbawah. Pertama, Cilegon yang menempati posisi ke-94 (3.227). Kedua, Depok yang menempati posisi ke- 93 (3.610). Ketiga, Padang, menempati posisi ke-92 (4.060).

BACA JUGA  Idulfitri dan Iptek

Penelitian tersebut, didasarkan pada empat variabel. Pertama, regulasi pemerintah mencakup indikator RPJMD dan produk hukum pendukung lainnya dan ada tidaknya kebijakan diskriminatif. Kedua, regulasi sosial mencakup peristiwa intoleransi dan inamika masyarakat sipil terkait isu toleransi.

Ketiga, tindakan pemerintah, mencakup indikator pernyataan pejabat kunci tentang isu toleransi dan tindakan nyata terkait isu toleransi. Keempat, demografi sosial keagamaan, mencakup indikator heterogenitas keagamaan penduduk dan inklusi sosial keagamaan kota.

Berdasarkan penelitian tersebut menjadi sebuah refleksi dini untuk melakukan praktik bertoleransi, terutama yakni toleransi berpolitik yang dilandaskan pada prinsip Pancasila sebagai Philosophische Groundslag maupun Staat Fundamental Norm.

Interpretasi makna Pancasila serta dalam tindakannya adalah sebagai wujud pengupayaan, agar dalam kompetisi berpolitik adalah menawarkan gagasan pembangunan, baik jangka pendek maupun panjang, bukan saling menjatuhkan antaridentitas.

Pancasila dalam Tindakan

Menarik dicatat bahwa Joko Widodo mengusulkan pendirian lembaga BPIP tak lain adalah sebagai laboratorium ideologi, yang dikaji secara teoritis maupun dalam tindakan praksis. Akan tetapi, perayaan Hari Lahir Pancasila 1 Juni kemarin harusnya tidak hanya sekadar seremonial belaka, melainkan juga dapat dijiwai oleh segenap elemen bangsa Indonesia.

Masih maraknya problematika kebangsaan yang seharusnya tak terjadi. Misalnya, money politics hingga tindakan korup. Bahkan isu-isu politik identitas fanatisme yang fundamental, semuanya merupakan tantangan dalam proses kebangsaan.

Hingga saat ini, masih menjadi perdebatan idealitas dalam sebuah mekanisme pelaksanaan pemilu, baik sistem proporsional tertutup maupun sistem proporsional terbuka. Sejauh pelaksaan proses demokratisasi di Indonesia sejak tahun 2004 hingga 2019.

Pelaksanaan sistem proporsional terbuka memberikan kontribusi besar dalam tindakan koruptif dan manipulatif, menjalankan tugasnya dalam instrumentasi sebuah lembaga pemerintahan. Integritas dalam politik telah luntur. Tantangan bagi partai politik saat ini. Para politikus harus buka kuping mereka lebar-lebar.

Negara sudah mengatur tentang pendanaan partai politik melalui hibah, yang harusnya untuk mengorbitkan tokoh politik yang cerdas integritas, serta menterjemahkan identitas ideologi dalam bentuk gagasan yang konstruktif, bukan destruktif.

Saat ini, pentingnya melaksanakan proses kaderisasi politik, bukan transaksional money politics, mamupun mengandalkan popularitas. Apalagi Pilkada 2017 dan Pemilu 2019 adalah kecelakaan politik, informasi dan framing adu domba antaridentias yang mencolok. Sehingga bagi penulis, fenomena tersebut adalah polusi informasi, jauh dari makna edukatif.

Pancasila benar benar di terjemahkan sesuai dengan konteks dan kompleksitas keadaan saat ini. Pancasila jangan sampai disalahtafsirkan dengan motif kepentingan kekuasaan kelompok kecil, melainkan kepentingan rakyat Indonesia berasaskan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Aji Cahyono
Aji Cahyono
Saat ini mengenyam pendidikan di Magister Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Sebelumnya mengenyam Sarjana di Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Kesehariannya saat ini menulis kolom atau opini seputar atau isu aktual, serta mengkaji dalam perspektif akademik secara konstruktif.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru