31.2 C
Jakarta

Ulama Perempuan: Penggerak Peradaban atau Pejuang Kesetaraan?

Artikel Trending

KhazanahPerempuanUlama Perempuan: Penggerak Peradaban atau Pejuang Kesetaraan?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) yang beberapa waktu lalu digelar begitu ramai diperbincangkan. Melalui kongres KUPI II, seluruh ulama perempuan diimbau untuk ambil bagian dalam peradaban melalui jihad digital, baik dalam dakwah untuk menangkal konten-konten yang kontra-produktif bagi kemajuan umat, maupun dalam program pemberdayaan masyarakat.

Wapres Ma’ruf Amin dalam pembukaan KUPI II mengatakan, “Dalam konteks kebangsaan, peran ulama perempuan sangat strategis dalam menjaga dan memelihara paham ahlusunnah wal jamaah dengan prinsip tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), dan tawazun (seimbang). Inilah saatnya ulama perempuan memantapkan kontribusinya dalam mewujudkan peradaban umat manusia yang damai, serta maju secara berkeadilan dan berkelanjutan.”

Pada waktu yang berbeda, Ketua Panitia KUPI II Ruby Kholipah mengatakan, “Kita akan merumuskan masa depan kita dengan mulai mengapresiasi setiap perkembangan positif dalam kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dalam komunitas muslim.”

Jika kita mencermati, tampak sangat jelas adanya aroma moderasi beragama dan kesetaraan gender dalam pernyataan Wapres dan Ketua Panitia KUPI II. Benar bahwa ulama perempuan bertanggung jawab besar dalam mewujudkan peradaban mulia umat sebagaimana ulama terdahulu.

Hanya saja, tidak lantas semaunya mencapainya tanpa memperhatikan tuntunan Islam. Dengan demkian, benarkah moderasi dan kesetaraan gender akan mengantarkan umat kepada peradaban mulia?

Moderasi dan Kesetaraan Gender Bukan Jalan

Telah kita pahami bahwa moderasi beragama dan kesetaraan gender bukanlah ide yang berasal dari Islam. Moderasi Islam—sebagian menyebutnya ‘moderasi beragama’—saat ini masif digaungkan oleh para pengusungnya dengan kedok Islam damai dan toleransi atau lebih tepatnya toleransi kebablasan yang bertentangan dengan Islam.

Mereka juga gencar mempropagandakan Islam inklusif, yaitu bahwa Islam terbuka terhadap pemikiran apa pun, termasuk pemikiran Barat yang sekuler dan liberal. Pemikiran ini lambat laun mengajarkan agar umat Islam ramah terhadap pemikiran Barat dan sebaliknya malah kian menjauh dari ajaran Islam yang lurus.

Ini karena sesungguhnya, propaganda ini lahir dari pemahaman dasar bahwa semua agama benar dan sama. Tentu ini sangat berbahaya karena menjadikan kaum muslim tidak merasa berbeda dengan penganut agama lain. Dengan kata lain, kaum muslim akan mengadopsi pemikiran sekuler, melibatkan agama untuk urusan privat dan peribadatan, tetapi tidak untuk sistem ekonomi, sosial, atau sistem sanksinya berdasarkan ketentuan Allah Taala.

Yang menyedihkan, ulama, mubaligh, dan mubaligah hanya diposisikan sebagai penasihat moral yang dibutuhkan saat jiwa gundah gulana. Padahal, seharusnya ulama menjadi waratsatul anbiya yang meneruskan ajaran Nabi-Rasul dan melanjutkan kehidupan khekhalifahan Islam alaa minhajin nubuwwah.

Lebih dari itu, Allah Taala telah mengingatkan kita bahwa agama yang benar di sisi Allah hanyalah Islam, “Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam.” (QS Ali Imran: 19).

Demikian halnya dengan kesetaraan gender, sesungguhnya ide ini pun bukan dari Islam dan sangat bertentangan dengan Islam. Ide ini sengaja digaungkan Barat yang mengarahkan pada tuntutan persamaan peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam seluruh aspek kehidupan. Agar perempuan berdaya dan mampu bersaing dengan laki-laki, maka perempuan harus berdaya secara ekonomi dan politik. Wajar jika akhirnya pemberdayaan ekonomi dan politik perempuan yang digaungkan.

Barat pun amat berambisi merusak potensi keibuan dan pengabdiannya dalam rumah tangga dan umat, serta menggantinya dengan peran ekonomi saja. Lihatlah perempuan muslimah hari ini yang justru bangga dan percaya diri jika mampu mandiri secara materi dan menempati posisi sebagai pejabat teras atau pimpinan perusahaan.

Kondisi inilah yang dimanfaatkan musuh Islam, memakmurkan perempuan secara materi, tetapi menjauhkan mereka dari tuntunan syariat. Realitas di lapangan membuktikan tidak hanya perempuan jebolan sekolah sekuler yang disasar program pemberdayaan, tetapi juga muslimah lulusan perguruan tinggi Islam, madrasah, pesantren, termasuk kalangan mubaligah.

Lebih menyakitkan lagi, umat justru menyambut program pemberdayaan ekonomi sebagai jawaban atas kesulitan ekonomi yang mereka derita akibat krisis yang berlanjut. Padahal, program-program pemberdayaan ekonomi itu tidak pernah akan mampu menyelesaikan problem kebodohan dan kemiskinan bangsa. Kalaupun kemandirian ekonomi itu terwujud, umat hanya akan dimanfaatkan korporasi besar sebagai bagian dari rangkaian kegiatan ekonomi dan pasar raksasa.

Selain itu, dengan lancangnya, program-program pemberdayaan ekonomi juga menyasar generasi muda dan kalangan perempuan. Mereka mengubah orientasi hidup generasi muda Islam, para santri sang calon ulama masa depan. Mereka yang menempati posisi sebagai pewaris peradaban Islam jadi menggadaikan tujuan mulia hidupnya demi kepentingan materi saja. Padahal, masa depan umat dan Islam terletak pada kesungguhan mereka untuk menerapkan Islam secara kafah.

Jika demikian, pantaskah kita berharap akan lahir peradaban Islam yang mulia jika jalan yang ditempuhnya justru tidak sesuai Islam? Sungguh jauh panggang dari api! Mengapa? Ini karena Allah Taala telah memberitahu kita bahwa hanya dengan Islam, kita—umat Islam—akan meraih peradaban mulia sebagai umat terbaik.

Allah Taala berfirman, “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (QS Ali Imran: 110).

Telah jelas sesungguhnya, hanya Islam yang akan membawa umat, bahkan manusia seluruhnya, pada peradaban mulia, peradaban yang menjadikan Islam (sistem kehidupan yang datang dari Allah Taala) sebagai standar kehidupan.

Di sinilah peran penting para ulama, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjalankan peran dan fungsinya dengan benar sebagaimana para ulama terdahulu, yakni mereka menjadikan sistem Islam sebagai tuntunan, bukan ide moderasi atau kesetaraan gender. Merupakan hal niscaya bagi umat Islam untuk mengembalikan ulama pada peran dan fungsinya sesuai tuntunan Islam sehingga memberi kebaikan bagi seluruh umat.

BACA JUGA  Perempuan dan Keadilan Gender: Sebuah Telaah Ulang

Peran Sentral para Ulama dan Mubalighah

Jika kita mencermati kehidupan para ulama dan mubaligah pada masa dahulu, terlebih masa keemasan Islam dan umat Islam, baik masa sahabat, tabiin maupun tabiut tabiin, tidak terlalu sulit menemukan sosok ulama dan penyampai risalah Islam sejati.

Di antara masa itu, ada empat imam yang pendapatnya menjadi rujukan bagi para ulama selanjutnya, yakni Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Pendapat dan pemikiran empat ulama ini paling banyak memberikan pengaruh kepada kaum muslim. Tidak hanya itu, mereka juga meletakkan dasar-dasar istinbat dan memformulasikan berbagai disiplin ilmu yang sangat besar manfaatnya bagi generasi Islam berikutnya.

Tidak hanya di bidang keilmuan belaka, para ulama terdahulu juga menjadi garda terdepan dalam melakukan aktivitas dakwah dan mengoreksi para penguasa. Mereka pantang menyerah menyampaikan keluhuran Islam dan menjaga kemurnian Islam di tengah umat, sekalipun nyawa taruhannya.

Mereka paham bahwa peradaban Islam yang mulia dan sebaik-baik umat akan tetap terjaga jika kemurnian Islam tetap terjaga. Mereka menjaga kemurnian Islam di tengah umat. Imam Ahmad bin Hanbal, misalnya, pernah disiksa dan diasingkan pada masa Khalifah Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan al-Watsiq karena penentangan beliau terhadap gagasan kemakhlukan Al-Qur’an. Imam Ibnu Taimiyah turut berjuang bersama kaum muslim melawan Tentara Mongol. Beliau juga terkenal sebagai ulama yang berani mengoreksi penguasa.

Lalu, seperti apakah sesungguhnya peran dan fungsi sentral ulama di tengah umat Setidaknya ada empat hal.

Pertama, ulama adalah pewaris para nabi. Para ulama dan penyampai Islam, baik laki-laki maupun perempuan, adalah pemelihara dan penjaga warisan para nabi, yakni wahyu atau risalah, Al-Qur’an dan Sunah. Dengan kata lain, peran utama ulama sebagai pewaris para nabi adalah menjaga agama Allah Swt. dari kebengkokan dan penyimpangan.

Peran ulama bukan sekadar menguasai khazanah pemikiran Islam, baik masalah akidah maupun syariat, tetapi juga bersama umat berupaya menerapkan, memperjuangkan, serta menyebarkan risalah Allah. Mereka juga terlibat aktif dalam perjuangan untuk mengubah realitas masyarakat yang rusak yang bertentangan dengan warisan Nabi saw..

“Sesungguhnya, ulama adalah pewaris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka hanya mewariskan ilmu. Barang siapa mengambil warisan tersebut, ia telah mengambil bagian yang banyak.” (HR Imam At-Tirmidzi).

Kedua, para ulama, mubalig dan mubaligah adalah pembimbing, pembina, dan penjaga umat, serta memberi petunjuk dan menerangi umat sehingga umat tertunjuki pada jalan yang benar. Nabi saw. bersabda, “Sesungguhnya kedudukan seorang alim sama seperti kedudukan bulan di antara bintang-bintang. Sesungguhnya ulama itu adalah pewaris para nabi.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Dalam hadis lain, “Ulama adalah pelita dunia. Ulama adalah pelita alam.” (HR Abu Daud, Nasa’i, dan Baihaqi).

Pada dasarnya, para ulama bertugas membimbing umat agar selalu berjalan di atas jalan lurus. Ia pun bertugas menjaga umat dari segala tindak kejahatan, pembodohan, dan penyesatan yang dilakukan oleh kaum kafir dan antek-anteknya; melalui gagasan, keyakinan, dan sistem hukum yang bertentangan dengan Islam.

Semua tugas ini mengharuskan ulama untuk selalu menjaga kesucian agamanya dari semua kotoran. Ulama juga harus mampu menjelaskan kerusakan dan kebatilan semua pemikiran dan sistem kufur kepada umat Islam.

Ketiga, sumber ilmu. Ulama adalah fakih dalam masalah halal haram. Ia adalah rujukan dan tempat menimba ilmu, sekaligus guru yang bertugas membina umat agar selalu berjalan di atas tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks ini, peran sentralnya adalah mendidik umat dengan akidah dan syariat Islam. Dengan begitu, umat memiliki kepribadian Islam yang kuat; mereka juga berani mengoreksi penyimpangan masyarakat dan penguasa.

Keempat, pengontrol penguasa. Peran dan fungsi ini hanya bisa berjalan jika para ulama mampu memahami konstelasi politik global dan regional. Ia juga mampu menyingkap makar dan permusuhan kaum kafir dalam memerangi Islam dan kaum muslim.

Dengan ungkapan lain, seorang ulama harus memiliki visi politis ideologis yang kuat hingga yang disampaikannya ke tengah umat tidak hanya beranjak dari tinjauan normatif, melainkan juga bertumpu pada konteks politis ideologis. Dengan demikian, risalah Islam yang disampaikannya akan mampu menjaga umat Islam dari kebinasaan dan kehancuran, bukan malah menjadi sebab malapetaka bagi kaum Muslim.

Imam Al-Ghazali menyatakan, “Dahulu, tradisi para ulama mengoreksi dan menjaga penguasa untuk menerapkan hukum Allah Taala. Mereka mengikhlaskan niat. Pernyataannya pun membekas dihati. Namun, sekarang terdapat penguasa zalim, tetapi para ulama hanya diam. Andaikan mereka bicara, pernyataannya berbeda dengan perbuatannya sehingga tidak mencapai keberhasilan. Kerusakan masyarakat itu akibat kerusakan penguasa, dan kerusakan penguasa akibat kerusakan ulama. Adapun kerusakan ulama akibat digenggam cinta harta dan jabatan. Siapa pun yang digenggam cinta dunia, niscaya tidak akan mampu menguasai kerikilnya, apalagi untuk mengingatkan para penguasa dan para pembesar.” (Ihya ‘Ulumuddin, juz 7, hlm. 92).

Penutup

Ulama perempuan sebagaimana laki-laki adalah penggerak peradaban, terlebih di tengah peradaban rusak saat ini, yakni peradaban yang tidak sesuai Islam. Ini karena memang muslimah memiliki peran dan tanggung jawab untuk membangun peradaban Islam karena ia pun berkewajiban untuk menentukan corak kehidupan masyarakat.

Hanya saja, dalam proses perjuangan membangun peradaban mulia, tentu saja harus bersandar kepada Islam—sistem aturan yang datang dari Allah Al-Khalik Al-Mudabbir—dan mengikuti gerak langkah yang Rasulullah saw. contohkan, bukan pada moderasi dan kesetaraan gender. Bagaimana mungkin bisa terwujud peradaban Islam yang mulia jika jalan yang ditempuhnya bertentangan dengan Islam?

Fadhel Fikri
Fadhel Fikri
Co-Founder Sophia Institute Palu. Mahasiswa Filsafat di UIN Datokarama Palu.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru