27.2 C
Jakarta

Tiga Residu Politisasi Agama yang Harus Dicegah; Polarisasi, Intoleransi, Disintegrasi

Artikel Trending

KhazanahOpiniTiga Residu Politisasi Agama yang Harus Dicegah; Polarisasi, Intoleransi, Disintegrasi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Selama satu dekade belakangan, lanskap politik nasional kita diwarnai oleh fenomena politisasi agama. Yaitu praktik manipulasi dan eksploitasi ajaran serta simbol agama sebagai alat politik untuk meraih kekuasaan. Fenomena politisasi agama ini dimotori oleh setidaknya dua kelompok.

Pertama, para politisi berhaluan konservatif yang gemar mengeksploitasi sentimen keagamaan untuk merawat basis massa pendukungnya serta mencari simpati publik. Kedua, kaum oposisi anti-pemerintah yang memanipulasi agama untuk mendelegitimasi pemerintahan dengan tujuan merebut kekuasaan.

Keberadaan para politisi berhaluan konservatif-kanan dan kelompok oposisi radikal yang menjadi penyokong utama gerakan politisasi agama telah menjadi semacam benalu bagi demokrasi dan kehidupan kebangsaan kita.

Di satu sisi, mereka bisa eksis karena iklim demokrasi dan ruang publik yang bebas. Di sisi lain, keberadaan mereka justru kerap menimbulkan ancaman bagi demokrasi dan kehidupan kebangsaan dalam konteks lebih luas.

Seperti kita lihat dalam satu dekade belakangan ini, fenomena politisasi agama telah menyisakan beragam persoalan. Setidaknya ada tiga residu persoalan yang ditinggalkan oleh fenomena politisasi agama.

Tiga Residu Persoalan

Pertama, munculnya polarisasi di masyarakat sebagai konsekuensi logis dari keruhnya dunia politik oleh eksploitasi isu identitas, termasuk agama. Polarisasi secara sederhana dapat dipahami sebagai sebuah kondisi ketika masyarakat mengalami keterbelahan sosial akibat perbedaan pandangan. Polarisasi sebenarnya tidak selalu berkonotasi buruk asal tidak menjurus pada perpecahan atau konflik.

Namun, yang terjadi di Indonesia belakangan ini menunjukkan bahwa polarisasi sosial akibat perbedaan pandangan politik kian menjurus pada perpecahan bahkan konflik. Politisasi agama berperan melatari terjadinya polarisasi sosial tersebut. Sentimen isu keagamaan yang dikomodifikasi dan dipolitisasi sedemikian rupa tidak pelak telah melahirkan garis batas pemisah antar-kelompok masyarakat.

Kedua, maraknya intoleransi agama. Hasil survei LSI (Lembaga Survei Indonesia) pada tahun 2018 lalu menunjukkan bahwa maraknya politik identitas dan politisasi agama berbanding lurus dengan kian naiknya angka intoleransi agama. LSI menyimpulkan, pasca mencuatnya politisasi agama di momen Pilkada DKI Jakarta 2017, angka intoleransi agama di Indonesia cenderung meningkat signifikan.

Temuan ini kian menunjukkan bahwa politisasi agama berdampak buruk pada relasi antar-agama di masyarakat. Dipakainya ajaran dan simbol agama dalam politik praktis cenderung membuat umat beragama bersikap eksklusif, irasional, bahkan agresif ketika berhadapan dengan kelompok lain yang berbeda pilihan politik.

BACA JUGA  Menjaga Toleransi: Refleksi Keberagaman di Bulan Ramadan

Ketiga, dan ini yang paling berbahaya ialah munculnya disintegrasi bangsa, yakni retakan-retakan sosial yang mengancam kemajemukan Indonesia sebagai sebuah komunitas sosial besar. Seperti kita tahu, Indonesia merupakan negara multikultur dan multireliji yang rawan akan perpecahan dan konflik. Oleh karenanya, kemajembukan agama, budaya, suku, ras, etnis dan identitas lainnya perlu dikelola dengan paradigma konstruktif.

Sedangkan politisasi agama yang marak belakangan ini seperti kita tahu cenderung berwatak destruktif. Politisasi agama cenderung memecah belah lantaran umat hanya dijadikan sebagai obyek politik. Konsekuensinya, tenun kebinekaan dan jejaring kebangsaan pun terkoyak-koyak oleh narasi politik yang bernuansa fitnah, provokasi, dan adu-domba mengatasnamakan agama.

Bagaimana Menangkal Politisasi Agama?

Tiga residu politisasi agama, yaitu polarisasi, intoleransi, dan disintegrasi inilah yang harus kita waspadai bersama. Sudah sepatutnya kita meninggalkan corak politik yang mengeksploitasi sentimen keagamaan.

Politisasi agama ini dapat dicegah jika umat beragama memiliki kemampuan untuk membedakan mana politisasi umat dan mana politik keumatan. Politisasi umat ialah corak politik yang menjadikan umat sebagai obyek dan komoditas untuk meraih kekuasaan.

Sedangkan politik keumatan ialah gerakan politik yang bertujuan mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan kemaslahatan bagi umat beragama. Politik keumatan tidak semata berorientasi pada kekuasaan, namun lebih pada bagaimana kekuasaan bisa menjadi sarana untuk menjaga kemajemukan dan keutuhan bangsa.

Sejarah mencatat bahwa politisasi agama lebih banyak membawa mudarat ketimbang maslahat. Fenomena politisasi agama tidak diragukan telah menyokong gerakan radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Kita tentu tidak ingin negeri kita hancur-lebur oleh konflik sektarian yang berawal dari kontestasi politik praktis.

Oleh karena itu, penting kiranya bagi seluruh elemen bangsa untuk mencegah politisasi agama. Para elite politik idealnya menjunjung tinggi supremasi demokrasi dengan tidak membawa-bawa sentimen keagamaan dalam kontestasi politik praktis. Demikian pula, para tokoh agama idealnya tidak tergoda untuk menjadikan status dan posisinya sebagai makelar-politik dengan memanipulasi ayat demi kepentingan kekuasaan.

Tidak kalah pentingnya membangun kesadaran umat agar tidak mudah tertipu oleh propaganda politisi konservatif dan kaum radikal yang memanipulasi agama demi tujuan politik. Membangun umat beragama yang moderat, rasional, dan kritis ialah prasyarat utama untuk membendung arus politisasi agama yang kian akut belakangan ini.

Siti Nurul Hidayah
Siti Nurul Hidayah
Peneliti pada “Center for the Study of Society and Transformation”, alumnus Departemen Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru