31.2 C
Jakarta

Jokowi Singgung Penceramah Radikal, BNPT: Harus Jadi Kewaspadaan Nasional

Artikel Trending

AkhbarNasionalJokowi Singgung Penceramah Radikal, BNPT: Harus Jadi Kewaspadaan Nasional
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Jakarta – Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Ahmad Nurwakhid menyebut pernyataan Presiden Joko Widodo atau Jokowi soal penceramah radikal kepada keluarga TNI Polri menjadi peringatan yang sangat kuat. Terlebih, kata dia, presiden juga menyampaikan isu tersebut secara detail.

“Artinya ini sudah harus jadi kewaspadaan nasional, ini virus (radikalisme) bisa memapar siapa saja,” kata dia saat dihubungi, Kamis, 3 Maret 2022.

Sebelumnya, masalah penceramah radikal ini disampaikan Jokowi dalam acara Rapat Pimpinan TNI – Polri di Mabes TNI, Jakarta, Selasa, 1 Maret. Di sana, Jokowi khawatir istri TNI – Polri sembarangan memanggil penceramah, bisa-bisa yang diundang adalah penceramah radikal.

“Ini mikronya harus kita urus juga. Tau-tau mengundang penceramah radikal. Nah, hati- hati. Hal-hal kecil ini harus diatur. Saya melihat di WA grup, karena di kalangan sendiri, oh boleh. Hati-hati, kalau seperti itu dibolehkan dan diterus-teruskan, hati-hati,” kata dia.

“Sumber informasi ke telinga Presiden banyak,” kata dia.

Saat dikonfirmasi apakah salah satu sumber informasi penceramah radikal yang disampaikan Jokowi datang dari BNPT, Ahmad menjawab diplomatis. “Sebagai badan non-kementerian, Kepala BNPT Harus melaporkan informasi ke pemerintah,” kata dia.

Ahmad bercerita bahwa semenjak pandemi Covid-19, BNPT memang gencar menggelorakan kewaspadaan masyarakat terhadap bahaya radikalisme dan terorisme. Ia menyebut di lapangan memang sudah nyata ada oknum-oknum penceramah yang intoleran dan radikal.

Ahmad pun menyebutkan kembali pernyataan mantan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu soal radikalisme di tubuh prajurit TNI. Tiga tahun lalu, Ryamizard pernah menyatakan keprihatinannya terhadap sekelompok orang yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi khilafah.

Bahkan, kata Ryamizard saat itu, ada 3 persen anggota TNI aktif yang terpengaruh radikalisme. Hal itu ia sampaikan dalam sambutannya saat acara halalbihalal Mabes TNI yang dilangsungkan di GOR Ahmad Yani Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Rabu, 19 Juni 2019.

Informasi soal penceramah radikal ini, kata Ahmad, tentu bisa sampai ke telinga presiden. Ia menilai memang masalah ini sudah sangat urgen, sehingga disampaikan langsung Jokowi. “Sampai kepala negara warning seperti itu,” kata dia.

BACA JUGA  Cegah Kekerasan dan Radikalisme, Moderasi Beragama Harus Masif di Dunia Maya

Setelah ada arahan dari Jokowi soal penceramah radikal ini, Ahmad menyebut BNPT akan ikut terlibat dalam evaluasi ke depan. Saat ini, kata dia, BNPT sudah punya MoU dengan 46 kementerian dan lembaga. “Untuk menggelorakan moderasi berbangsa dan beragama,” ujarnya.

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo menyebut arahan dari Jokowi ini jadi pedoman dalam mitigasi penyebaran paham radikalisme. “Karena ini untuk kebaikan bersama,” kata dia pada Rabu, dikutip dari Antara.

Dedi menyebut Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri akan ikut mendisiplinkan anggota kepolisian. “Apabila terbukti ada yang dilanggar, maka Propam akan menindak tegas,” kata dia.

Tempo menghubungi Kepala Pusat Penerangan TNI Mayor Jenderal Prantara Santosa. Tapi hingga berita ini diturunkan, belum ada tanggapan.

Sementara, Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan mempertanyakan penceramah radikal yang disinggung Joko Widodo. Ia berharap ada penjelasan lebih lengkap agar isu ini tidak simpang siur.

“Seperti apa radikal yang dimaksud presiden, sehingga jelas subjeknya pada penceramah yang radikal terhadap keluarga TNI – Polri,” kata dia saat dihubungi.

Menurut Amiryah, radikalisme adalah istilah yang digunakan pada akhir abad ke-18 untuk pendukung gerakan radikal. Dalam sejarah, kata dia, gerakan yang dimulai di Britania Raya ini meminta reformasi sistem pemilihan secara radikal.

Gerakan ini, kata dia, awalnya menyatakan dirinya sebagai partai kiri yang menentang partai kanan. “Dalam konteks Indonesia harus dijelaskan apakah radikal kanan atau kiri?” ujarnya.

Untuk itu, Amirsyah juga berharap ada klarifikasi dari pimpinan TNI – Polri yang lebih paham terkait masalah penceramah radikal yang dimaksud ini. “Sehingga tidak simpang siur, karena jangan sampai jadi beban presiden, karena tugas beliau sangat berat dalam pemulihan ekonomi nasional di masa pandemi,” kata dia.

Di sisi lain, Amirsyah tetap berharap pimpinan TNI Polri dapat melakukan pencegahan radikalisme yang mengarah pada tindakan ekstrem dan terorisme. Sebab kalau tidak dicegah sejak dini, kata dia, akan mengganggu stabilitas nasional menuju Pemilu 2024.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru