27.2 C
Jakarta

Teroris di Sigi dan Simpatisan Rizieq Shihab

Artikel Trending

Milenial IslamTeroris di Sigi dan Simpatisan Rizieq Shihab
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Saya masih tertarik untuk membahas teroris di Sigi, Sulawesi Tengah. Mengapa? Karena dengan personil, alat operasioal yang super sedikit mereka masih bertahan. Hutan yang dijadikan tempat persembunyian dengan letak geografis yang tidak lebar-lebar amat, operasi militer sampai saat ini belum bisa meringkus bahkan belum menemukan tanda-tanda teroris berada.

Jejak Penelusuran Teroris

Bau badan dan jejak kaki para teroris tak bisa tercium alat-alat cangkih militer. Apalagi, titik-titik tempat yang dijadikan gerilya Ali Kalora dan kawan-kawannya. Hutan dan pegunungan yang tidak terlalu besar bila dibandingkan gunung-gunung di luar negeri dan di Papua, perburuan militer macet di alasan, “medan terlalu curam”.

Di luar hutan dan pegunungan Sulawesi Tengah, simpatisan para teroris dan ISIS masih bergentayangan. Simpatisan ini mereka diam-diam melakukan pemantauan dan sebagai sumber corong pemberi informasi. Hidup secara pasif mereka lakukan. Secara pasif pula, mereka, juga memberi bantuan berupa makanan dan penggalanan dana.

Para simpatisan ini, sebenarnya hari ini mengalami ketakutan. Memilih diam apabila pembunuhan terjadi di antara teman-teman ideologisnya. Tetapi jangan lupa, mereka akan selalu setia pada para teroris yang dijadikan imam besarnya. Para simpatisan akan melakukan apa saja untuk mereka.

Bila ada salah satu mereka terbunuh, secara langsung, atau tidak langsung simpatisan ini, bahu membahu membantunya. Mereka hadir di pemakaman. Di pemakaman, para simpatisan mengibarkan bendera ISIS.

Anda akan bertanya, mengapa begitu solidnya mereka? Mempertahankan suatu neraca pemikiran yang ilusif. Bahkan mengerjakan hal-hal yang berbahaya dan mematikan. Atau, mengapa sebagian transmigrasi Laksar Jihad sangat bersimpati kepada para teroris yang bahkan sama sekali tidak menguntungkan kehidupan mereka.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita lihat dulu genealogis dan faktor konflik yang sering terjadi di Sulawesi Tengah.

Faktor Suburnya Terorisme

Ada jalan yang begitu curam dalam kehidupan masyarakat Sigi, termasuk masyarakat Sulawesi Tengah. Setidaknya, ada tiga fariabel untuk melihat faktor yang mempengaruhi terorisme subur di sana. Di ataranya, politik, ekonomi, dan agama.

Mengenai yang pertama, masyarakat Sigi, Poso, dan bagian Sulawesi Tengah, politik elektoral dan lokal pernah dijadikan ajang konflik untuk memperebutkan kekuasan. Kontestasi politik lokal mempermainkan isu agama dan politik identitas yang dijadikan ajang promosi politik mereka. Pengaruh publik diaduk dan membiarkan emosi rakyat berkabung di dalamnya. Sehingga, bukan hanya ajang ide dan politik yang terjadi, melainkan konflik horizontal yang saling menghantam kehidupan publik luas di sana.

Politik lokal berselingkuh di atas penderitaan rakyatnya, dan bermain mata dengan politik Jakarta. Di mana, permainan politik Jakarta tidak pernah melihat sisi kebudayaan dan etnis setempat. Sehingga, segala apa yang dijadikan strategi dan segala apa yang dipolitisasi, sudah pasti merobek dan mengiris hati orang-orang setempat karena telah jauh meyimpang dari etis kehidupan mereka.

Disamping pilihan-pilihan strategi pragmatis, peta dan jejak politiknya, tidak memberikan solusi dan sumbangsih apa-apa untuk kebaikan masyarakat setempat yang masih terbelah. Jalan pemulihan tidak pernah ditempuh yang mengakibatkan penyakit tidak pernah sembuh-sembuh. Bahkan tambah membara.

Kedua, ekonomi. Selain problem politik lokal yang begitu akut di Sulawesi Tengah (Poso dan Sigi), juga ada relasi ekonomi timpang di sana. Ketimpangan ekonomi adalah jalan subur yang sering dijadikan alasan untuk saling melakukan kekerasan.

Mata penduduk lokal sering melirik perhiasan, makanan, dan segala harta benda milik lainnya (khususnya umat Kristen dan keturunan China) yang lebih kaya daripadanya, membuat cemburu sosial. Menurut pantauan Amana Nurish (dosen Kajian Terorisme SKSG UI), ketimpangan ekonomi di Sulawesi Tengah (Poso dan Sigi), mengiris hati mereka untuk cemburu kepada yang lainnya. Mereka merasa, bahwa ada yang salah dalam pengelolahan sistem di negara ini.

Dari situ, kelompok mayoritas, selalu cemburu pada minoritas yang memiliki perkembangan secara ekonomi, sosial, budaya, politik, dan pendidikan.

BACA JUGA  Kapitalisme: Jurus Aktivis Khilafah untuk Mendegradasi NKRI

Ketiga, faktor agama. Di Sulawesi Tengah (Poso dan Sigi), pluralisme agama telah jauh terkikis. Sehingga, emosional dan ajaran agama, tidak bisa dijadikan dasar untuk menguatkan rasa kemanusiaan dan kebangsaan di sana.

Sejak Sulawesi Tengah di terjang gempa dan musibah lainnya, masyarakat di sana kehilangan relasi ekonomi. Ekonomi masyarakat anjlok total. Mereka membutuhkan ekonomi untuk dijadikan pelengkap kebutuhan keseharian. Apalagi selama hampir satu tahun ini, masyarakat dihantam krisis ekonomi akibat dampak pandemi.

Tetapi, ada sebagian masyarakat yang tidak ikut serta dalam ketimpagan ekonomi tersebut. Siapa? Yaitu mereka yang punya bisnis dan relasi kuat dengan orang-orang hebat di Jakarta, yang dalam hal ini umat penganut agama Kristiani.

Dari faktor agama yang berjumpalitan dengan ekonomi, membuat agama seolah-olah sah dijadikan alasan untuk mencari siapa yang lebih hebat di antara mereka. Akibat dari itu, ketegangan Islam dan Kristiani terus tumbuh seiring berjalannya dan dalamnya neraca ekonomi dan krisis agama yang makin mendalam.

Akhirnya, mereka semua bermufakat bahwa syariat Islam adalah jalan satu-satunya untuk mencari solusi dari problem kehidupan mereka. Dari situ, tidak jarang masyarakat bersimpati kepada ISIS, MIT, dan kelompok teroris lainnya, dengan alasan yang sama: menegakkan negara Islam atau seperti FPI, Negara Bersyariah.

Dari dogma itulah, mereka seperti sah melakukan kekerasan seperti teror, bom bunuh diri, pemenggalan, pemembakan dan lain sebagainya. Mereka seolah-seolah berjihad atas nama agama atau bahkan atas nama cucu Nabi. Bagi mereka, berjihad di jalan tersebut, mati menjadi syahid. Karena syahid, dia akan masuk syurga. Suatu jihad yang jauh dari ajaran Islam otentik yang diajarkan Rasul Saw.

Apa Solusinya?

Sri Yunanto (Staf Ahli Watimpres) mengatakan tidak ada cara lain kecuali melakukan empat poros untuk membendung—kalau tidak bisa menumpas teroris di Sulawesi Tengah. Pertama, mengomptimalisasi operasi intelejen dan mengoptimalkan operasi Gakkum dan operasi Tinombala.

Kedua, deradikalisasi yaitu melakukan program penanaman nilai wasathiyah Islam kepada masyarakat di sana. Nilai-nilai wasathiyah digencarkan lewat pelatihan-pelatihan dan ceramah-ceramah keagamaan. Para dai, kiai, mubaligh, dan para tokoh agama harus selalu mentransfer nilai-nilai agama yang santun, bukan provokatif di tiap-tiap mereka berceramah. Di samping itu juga, bantuan sosial patut diperhatikan dan diberikan kepada mereka yang membutuhkan.

Ketiga, perkuat perbatasan nasional dan monitoring dengan ketat kantong-kantong pengangguran, seperti FTF dan revidis. Mengingat, seperti kata Sri Yunanto (dalam acara wabinar, Bincang Daring: Terorisme di Sulawesi Tengah, 5/11), para teroris macam, neo JI, JAD, MIT, Lone Wolf dan para sempalannya, dan seterusnya, masih bergeliat di Sulawesi Tengah.

Keempat, para jihadis, di Sulawesi Tengah, yang mereka butuhkan adalah ekonomi. Dampak dari musibah gempa dan pandemi, sehingga menyebabkan hidup mereka susah, mereka cenderung melakukan kekerasan, perampasan kepada yang lainnya. Selain faktor ideologis yang dipraktikkan para jihadis, seperti simpatisan FPI, ada banyak faktor lain yang harus diperhatikan kita, salah satunya adalah ekonomi.

Mengapa? Anda pernah lihat gerombolan pendemo di Jakarta dari tahun ke tahun? Apa yang mereka minta, apa yang mereka mau, apa yang mereka butuhkan dan apa yang mereka dapat? Anda bisa membuat daftar panjang pertanyaan sendiri lalu menjawabnya sendiri pula. Pada akhirnya, kesimpulan tetap saja tertuju pada: ekonomi dan kekuasaan. Hanya pada keduanya orang berani membunuh dan hanya pada keduanya orang bisa saling menumbuhkan.

Anda tidak perlu sepakat. Tetapi, saya rasa, pemerintah selain memburu dan membuat strategi secanggih apapun kepada teroris dan sempalannya, ia juga harus memulihkan sistem layanan masyarakat dari sekat-sekat ekonomi. Maka itu, selain memburu teroris, mengobral nilai wasathiyah, pemerintah, mungkin juga kita, harus mengulurkan tangan hangat kita pada keluarga dan masyarakat yang dilanda kesusahan dan krisis. Baik pada simpatisan jihadis maupun bukan.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru