33.5 C
Jakarta

Strategi Media Islam Tangani Intoleransi; Sebuah Tawaran Taktis

Artikel Trending

Milenial IslamStrategi Media Islam Tangani Intoleransi; Sebuah Tawaran Taktis
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Dalam Editorial kemarin, Harakatuna mengulas bagaimana media keislaman sedang mengemban tugas penting, yakni menangani maraknya buku-buku bermuatan radikalisme di sekitar. Demikian karena penyebaran buku-buku semacam itu masif dan memengaruhi kondisi sosial-masyarakat. Yang paling utama ialah maraknya intoleransi antarumat. Lantas, bagaimana media Islam meresponsnya dan bagaimana tawaran taktis untuk itu?

Tentu ini adalah masalah serius. Dan dalam pendekatan Dewey, sebagaimana dikutip dari Morissan (2018), proses pemecahan suatu masalah dapat dilakukan dengan empat taktis penting. Pertama, identifikasi kesulitan. Ini dimulai dengan melihat masalah intoleransi dari berbagai sudut pandang, baik sosial, budaya, agama, bahkan politik. Setelah itu mengumpulkan data terkait insiden intoleransi dan mengidentifikasi trennya.

Kedua, menentukan masalah intoleransi yang akan dipecahkan, misalnya intoleransi antaragama dan etnis seperti yang terjadi di Bitung kemarin. Selanjutnya menjelaskan dampaknya terhadap masyarakat dan negara. Ketiga, menganalisis masalah. Ini dapat melibatkan ahli sosiologi, antropologi, psikologi, dan pakar lainnya untuk menganalisis faktor-faktor yang memicu intoleransi.

Keempat, eksekusi, yakni implementasi program atau kebijakan yang efektif. Pada taktis inilah media Islam menemukan perannya, yakni dengan cara memasifkan konten kontra-intoleransi, dengan memaparkan tiga poin sebelumnya tadi dan memberi tawaran pada masyarakat tentang masalah ini. Setelah itu, sebagai upaya mengukur benchmark keberhasilan, evaluasi berkelanjutan mesti dilakukan.

Tawaran taktis bagi media keislaman untuk terlibat dalam menangani toleransi jelas merupakan sesuatu yang kompleks. Ada hal penting yang perlu diidentifikasi dahulu, namun efektivitasnya tidak dapat diragukan. Selama ini, kontra-narasi intoleransi berjalan secara sporadis, dan tidak jarang melibatkan ego masing-masing media. Itulah tantangan besarnya. Simpang-siur tersebut mesti diselesaikan dulu. Wajib.

Simpang-Siur Media Keislaman

Media Islam sebenarnya memiliki posisi krusial dalam menangani toleransi di negara ini. Tesis ini berdasarkan fakta bahwa media juga memiliki peran sentral dalam maraknya intoleransi. Jadi media ibarat memegang dua sisi iklim masyarakat: positif dan negatif, tinggal ke mana hal tersebut hendak dibawa. Namun demikian, secara umum, setiap media memiliki perbedaan yang kerap kali tidak searah.

Media itu tidak monolitik; ada perbedaan signifikan dalam visi-misi, ideologi, dan kepentingan pragmatis di antara mereka. Pertama, perbedaan visi-misi. Ini menciptakan divergensi dalam pendekatan terhadap isu toleransi. Beberapa media boleh jadi punya visi inklusif: mendukung dialog antaragama, sementara media yang lain lebih fokus pada narasi eksklusivisme—yang dapat memicu intoleransi.

Situasi semacam itu menciptakan dualitas pesan yang diterima masyarakat masyarakat. Dan dari situlah kaveling media-media keislaman terjadi. Hari ini ada media yang abai dengan intoleransi karena menganggap itu tak sesuai misi mereka. Perbedaan visi-misi inilah yang perlu diatasi terlebih dahulu. Harus ada pengarusutamaan, bahwa seluruh media keislaman harus berada dalam satu visi-misi, yakni bersama melawan intoleransi.

BACA JUGA  Menyelamatkan Demokrasi: Menentang Politik Dinasti dan Khilafahisasi NKRI

Kedua, perbedaan ideologi. Ini juga jadi sumber konflik dalam upaya menangani intoleransi. Media Islam dengan ideologi konservatif tidak akan pernah sehaluan dengan media progresif. Akibatnya, masyarakat terpolarisasi. Sebagai contoh, ada kasus intoleransi seperti di Bitung kemarin. Media keislaman A menyoroti pihak Muslim, media B menyoroti pihak Kristiani, dengan nada saling tuduh. Ini bahaya.

Mengapa? Karena intoleransi akan selalu eksis—bahkan mengalami eskalasi. Perbedaan ideologi adalah biang perpecahan, sementara menangani intoleransi akan berhasil hanya jika persatuan lintas ideologi telah menjadi kesadaran bersama sebagai bangsa Indonesia. Ketiga, perbedaan kepentingan pragmatis. Ini terkait dengan uang dan tulisan pesanan. Jelas, intoleransi tidak akan selesai jika masalah ini menjadi kultur media-media Islam.

Pakai Jurus TikTok

Setelah visi-misi, ideologi, dan pragmatisme tidak lagi menjadi kendala kesimpangsiuran media keislaman, maka penanganan intoleransi selanjutnya—secara taktis—adalah pelibatan media sosial populer, yakni TikTok. Algoritma TikTok lebih mudah untuk menjangkau masyarakat daripada medsos lainnya. Diseminasi konten toleran dan anti-intoleransi akan menuai keberhasilan besar di situ.

Apa saja yang dapat disebarkan dengan jurus TikTok tersebut? Dalam konteks penanganan intoleransi secara taktis, beberapa hal dapat diagendakan. Kampanye edukasi toleransi, misalnya, melalui konten-konten pendek yang edukatif tentang toleransi, keberagaman, dan resepsi pluralitas. Ini bisa juga dengan mengajak kreator TikTok ternama dengan pengikut besar untuk berpartisipasi dalam kampanye edukasi ini.

Agenda lainnya ialah tantangan (challenge) toleransi. Media keislaman mesti merancang tantangan di TikTok yang mendorong partisipasi masyarakat dalam menunjukkan sikap toleransi mereka. Bersamaan, buatlah tagar khusus untuk kampanye tersebut, agar kontennya masuk fyp alias viral. Berlomba-lomba dalam toleransi, jika dinarasikan secara konsisten, akan menghapus intoleransi itu sendiri.

Selain itu, talk show virtual juga penting dilakukan. Media Harakatuna tengah menggarap ini sebagai program bulanan, yang isinya ialah diskusi melalui siaran langsung; membahas isu-isu aktual, termasuk tentang intoleransi, dengan mengundang akademisi, praktisi, dan tokoh agama untuk berpartisipasi sebagai pembicara. Jika gelarannya berkelanjutan, media keislaman secara taktis telah ikut menangangi intoleransi.

Tentu saja masih banyak agenda-agenda lain yang bisa disebar pakai jurus TikTok oleh media-media keislaman dalam upaya menangani intoleransi. Misalnya, cerita inspiratif tentang keindahan toleransi, konten hiburan positif dengan peran toleransi, kampanye anti-intoleransi konten negatif, filtrasi hoaks dan simulakra, kolaborasi dengan pemerintah dan NGO, dan penggunaan fitur interaktif TikTok adalah langkah-langkah strategis yang wajib.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru