29.2 C
Jakarta

Menyelamatkan Demokrasi: Menentang Politik Dinasti dan Khilafahisasi NKRI

Artikel Trending

Milenial IslamMenyelamatkan Demokrasi: Menentang Politik Dinasti dan Khilafahisasi NKRI
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.comPresiden Jokowi tengah jadi sorotan. Di tengah kecamuk menuju Pemilu 2024 yang akan berlangsung tiga pekan lagi, ia mengeluarkan pernyataan bahwa Presiden dan para menteri memiliki hak politik untuk memihak salah satu paslon. Menurut Jokowi, keberpihakan adalah sah selama tidak menggunakan fasilitas negara. Sontak pernyataan tersebut menuai pro-kontra. Rakyat merasa bahwa demokrasi sedang dikorupsi.

Mengapa demikian? Karena saat Jokowi mengatakan keberpihakannya, di sampingnya ada Prabowo, paslon 02, yang bersanding dengan Gibran putra sulung Presiden. Langkah Jokowi untuk melangkah lebih jauh dari sekadar cawe-cawe disinyalir sebagai upaya perusakan demokrasi dan penguatan otoritarianisme. Jokowi dan keluarga dianggap tengah membangun politik dinasti, menjadikan NKRI seperti negara khilafah.

Seberapa identik negara khilafah—dalam arti monarki—dengan dinasti? Tidak ada bedanya. Keduanya sama persis. Itulah mengapa pemerintahan Umayyah dan Abbasiyah disebut sebagai dinasti karena sistem yang diterapkan adalah monarki. Suksesi dilakukan berdasarkan nepotisme, turun-temurun, dan mengabaikan aspek-aspek demokratis. Negara yang oleh HTI disebut negara khilafah itu sebenarnya dinasti.

Karena itu, khilafahisasi NKRI dan politik dinasti itu mesti ditentang bersama. Tujuannya adalah melestarikan kultur demokrasi. Demokrasi yang dikorupsi atau aspirasi demokratis yang dikangkangi penguasa merupakan sinyal kehancuran NKRI itu sendiri. Bagaimana bisa di negara tercinta ini khilafah ditentang sedemikan rupa namun dinasti justru dibentuk? Jika khilafah tak cocok diterapkan, mengapa dinasti justru tengah dipaksaterapkan?

Politik Dinasti NKRI

Para intelektual muda tanah air yang concern melakukan kontra-khilafah hari ini bingung, bagaimana mereka hendak membenarkan upaya perusakan demokrasi dan mendukung khilafahisasi? Jokowi adalah presiden yang paling masif memerangi kelompok ekstrem kanan, seperti JI, JAD, hingga HTI. Yang terahir ini yang sudah dihapus badan hukumnya melalui Perppu, pada 2017. Apa alasan membela khilafahisasi?

Tidak ada. Khilafahisasi NKRI harus ditentang. Pemilu 2024 harus diselamatkan dari kedinastian. Sebagaimana khilafah yang tidak relevan dan harus dilawan, politik dinasti tidak boleh mendapat tempat di negara ini. Sekalipun yang mempromosikan adalah pemimpin tertinggi negara, tetap tidak bisa dibenarkan. NKRI harus selalu menjadi negara demokrasi yang bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Islam memberikan panduan etis dalam menentukan pemimpin. Etika mencari kepemimpinan yang Islam ajarkan ialah tentang kredibilitas, integritas, dan kapasitas. Kredibilitas berkaitan dengan rekam jejak seseorang dan sepak terjangnya selama berkarir di politik, sementara kapasitas berkaitan dengan intelektualitasnya sejak sebelum ia mencalonkan diri. Lalu posisi dinasti? Ia menerobos semua kriteria tesebut.

BACA JUGA  Meluruskan Fitnah-fitnah HTI terhadap Khilafah Islam

Di NKRI, demokrasi adalah segalanya untuk dibela. Sementara dinasti dan khilafahisasi, ia adalah segalanya untuk dilawan. Dan ini tidak berkaitan dengan Jokowi semata atau kroni politik yang sedang berusaha ia bangun, tetapi berkaitan dengan masa depan NKRI itu sendiri. Untuk itu, sebagaimana konsistensi untuk melawan khilafahisasi NKRI ala HTI, rakyat harus melawan khilafahisasi ala Jokowi. Dinasti merupakan musuh demokrasi.

Selamatkan Demokrasi!

Sekarang seluruh rakyat memiliki tanggung jawab moral dan politis. Secara moral, menyelamatkan demokrasi itu adalah upaya menjaga Pancasila, yang menjamin etos ketuhanan, keadilan, dan nasionalisme. Sedangkan secara politis, taruhannya adalah masa depan negara dan kesejahteraan rakyat. Hanya dengan menentang politik dinasti dan menolak khilafahisasi, demokrasi akan kuat seperti semula.

Lantas, bagaimana langkah riil menyelamatkan demokrasi? Yang paling krusial untuk dilakukan hari ini adalah partisipasi aktif dalam politik. Rakyat tidak boleh golput dalam proses politik seperti Pemilu mendatang, bahkan wajib terlibat dalam kegiatan politik dan memajukan aspirasi mereka melalui jalur yang demokratis. Segala langkah untuk menentang dinasti dan khilafahisasi harus dilakukan bersama.

Selain itu, edukasi politik dan diseminasinya terutama melalui media sosial merupakan langkah selanjutnya. Pendidikan politik yang fokus pada nilai-nilai demokrasi dan keadilan harus diterapkan. Rakyat wajib memiliki pemahaman yang baik mengenai hak dan kewajiban dalam sistem demokrasi, agar tidak salah memilih atau antipati terhadap pemilihan itu sendiri. Edukasi politik tujuannya adalah “memberantas SDM rendah”.

Dari uraian-uraian tersebut, sudah tergambar jelas siapa yang mesti dipilih pada 14 Februari nanti? Siapa pun yang menjadi pilihan, tolok ukurnya adalah kedisiplinan terhadap konstitusi dan komitmen atas kesejahteraan rakyat. Bagaimana rakyat hendak mengharapkan keadilan dan kesejahteraan dari calon-calon pemimpin yang curang sejak awal? Tidak ada. Maka dengan melawan politik dinasti, seseorang telah menyelamatkan demokrasi demi NKRI.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru