Harakatuna.com. Radikalisme bukanlah sesuatu yang disepelekan. Paham ini sangat membahayakan masa depan warganegara, terlebih di Indonesia yang terkenal dengan kemajemukannya.
Satu-satunya kerugian yang diterima oleh pelaku dan korban radikalisme berwajah terorisme adalah pecahnya persatuan. Disadari atau tidak, radikalisme, terlebih terorisme menjadi musuh masyarakat. Sehingga, tidak ada kata “maaf” untuk terorisme.
Seorang warga Indonesia yang pernah terpapar radikalisme adalah Ali Fauzi Manzi. Dia pernah bergabung dengan organisasi terorisme Jamaah Islamiyah Jawa Timur. Dan, aksi-aksi terorisme yang telah dilakukannya adalah pengeboman di Bali 2002.
Manzi mengambil sebuah keputusan bertaubat dari radikalisme setelah dia mengunjungi tujuh anak-anak pelaku bom, yang juga jadi korban paham radikalisme orangtua mereka di Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya.
Dalam ceritanya Manzi mengungkapkan tak bisa membendung air matanya, ketika melihat Ais salah satu anak yang paling kecil korban teror bom Polrestabes Surabaya. Orang tuanya tidak bertanggungjawab pada anak sekecil itu.
Manzi menggagas Yayasan Lingkar Perdamaian, sebuah yayasan yang konsentrasi mendampingi para mantan narapidana teroris lainnya, untuk misi perdamaian. Yayasan ini semacam media yang mengajar kontra-terorisme, sehingga merek selamat dari bujuk rayunya.
Manzi mendukung acara Aliansi Damai Indonesia (AIDA). AIDA mengajak para korban bom, mengungkapkan kesedihan dan kondisi orang yang tidak sembuh begitu saja pasca tragedi bom.
Sebagai penutup, hidayah yang peroleh Manzi tidak segampang membalikkan telapak tangan. Di situ ada proses yang ditempuh berdarah-darah oleh Manzi. Sekarang Manzi kembali ke NKRI dengan hati bersih.[] Shallallah ala Muhammad.
*Tulisan ini disadur dari cerita Ali Fauzi Manzi yang dimuat di media online Surya.co.id