34.3 C
Jakarta

Serial Pengakuan Mantan Napiter (LI-II): Khairul Ghazali, Mantan Teroris yang Mendirikan Pesantren Deradikalisasi

Artikel Trending

KhazanahInspiratifSerial Pengakuan Mantan Napiter (LI-II): Khairul Ghazali, Mantan Teroris yang Mendirikan Pesantren...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Paham Radikal berwajah terorisme bukanlah baru-baru ini menyerang Indonesia. Paham ini dinilai lebih berbahaya dari Pandemi yang sedang melanda negeri. Bahaya terorisme bukan menyerang fisik, tetapi ideologi.

Salah seorang warga Negara Indonesia yang pernah terpapar paham radikal adalah Khairul Ghazali. Ia pernah terlibat dalam perampokan Bank CIMB Niaga di Kota Medan yang menewaskan salah seorang anggota Brimob.

Selain itu, Ghazali pernah terlibat kasus penyerangan terhadap Polsek Hamparan Perak. Tentunya, penyerangan ini bermodus jihad yang disalahpahami. Istilahnya ia berlindung di balik istrumen agama.

Tindakan Ghazali berakhir di tangan Densus 88 sehingga ia mendekam di dalam penjara selama empat bulan. Di dalam jeruji besi inilah ia mengalami titik balik untuk menyadari kesalahannya menjadi seorang teroris.

Ghazali memutuskan keluar dari jaringan kelompok radikal karena ia sadar tindakannya itu menyebabkan sesama umat Islam menderita. Tidak ada kemaslahatan sedikitpun dalam aksi-aksi radikal berwajah terorisme. Jelas, baginya, terorisme adalah sesuatu yang keliru.

Ghazali sempat diancam akan dibunuh oleh teman sesama teroris karena menulis buku selama di dalam penjara. Mungkin, buku yang ditulisnya menelanjangi kepicikan pelaku terorisme.

Ghazali tetap teguh pendirian dan tidak pernah mundur hanya karena ancaman. Karena, ia yakin hijrah adalah sebuah kebenaran yang tetap dilindungi boleh Tuhan. Dan, benar bahwa ancaman itu hanyalah isapan jempol belaka.

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXXVIII): Eks Napiter Poso Mie Kembali ke Pangkuan NKRI

Ghazali tetap berada dalam keselamatan. Sampai ia ditakdirkan mendirikan Pesantren Al-Hidayah. Ada beberapa alasan pendirian pesantren tersebut. Pertama, karena anaknya yang ditolak oleh beberapa sekolah karena alasan bapaknya terkasus terorisme.

Ghazali berharap anaknya akan tetap terdidik meski ia tidak diterima boleh beberapa sekolah. Lewat pesantren itulah anaknya dapat menjadi orang yang baik dan bermanfaat kepada umat.

Kedua, pesantren itu didirikan untuk memediasi anak narapidana teroris yang lain yang terkucilkan. Tanpa pendidikan yang baik akan sangat mungkin anak-anak tersebut ke dalam paham radikal yang kejam.

Pesantren yang didirikan Ghazali tidak jauh berbeda dengan pesantren pada umumnya. Tetapi, di pesantren itu ditambah dengan kajian deradikalisasi yang bertujuan untuk menyelamatkan santri (orang yang tinggal di pesantren) dari paham radikal yang pernah menyerang Ghazali sendiri.

Pentingnya deradikalisasi adalah untuk membumikan Islam yang rahmatan lil alamin yang bersikap toleran terhadap semua pemeluk agama tanpa terkecuali. Ghazali berkeyakinan itulah ajaran Islam yang benar, bukan paham terorisme.[] Shallallah ala Muhammad.

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru