29.3 C
Jakarta

Serial Pengakuan Eks ISIS (C-XLIII): Astari dan Irhasy Dua WNI yang Terpapar Ideologi ISIS

Artikel Trending

KhazanahInspiratifSerial Pengakuan Eks ISIS (C-XLIII): Astari dan Irhasy Dua WNI yang Terpapar...
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com. Radikalisme bukanlah isu yang baru-baru ini terdengar. Sejak Nabi Muhammad Saw. benih-benih mulia terlihat pada diri Dzul Khuwaisirah yang sempat menyalahkan Nabi karena berpikir negatif bahwa Nabi tidak adil dalam membagi rampasan perang. Memang pada waktu Nabi, radikalisme masih berbentuk pribadi.

Radikalisme mulai membentuk kelompok pada masa sahabat, selepas wafat Nabi. Tepat pada kepemimpinan Sayyidina Ali, muncul kelompok Khawarij yang kalap dalam menyikapi keputusan Ali dan Muawiyah. Mereka tidak segan-segan mengkafirkan dan yang paling tragis menghalalkan darah orang yang dikafirkan itu. Ngeri!

Pada era mutakhir mungkin pikiran banyak orang radikalisme akan punah beriring waktu. Tapi, ternyata dugaan itu meleset. Radikalisme malah semakin menjadi-jadi. Buktinya, muncul kelompok radikal yang gemar melakukan aksi-aksi terorisme. Kelompok ini biasanya disupport oleh beberapa kelompok teroris, salah satunya, Islamic State of Iraq and Syria (ISIS).

Pengaruh ISIS telah melampaui Suriah, negara yang dikuasai. Pasalnya, ideologi ISIS telah mempengaruhi masyarakat Indonesia, sehingga mereka rela meninggalkan negaranya untuk pergi (bukan hijrah, karena hijrah itu berpotensi positif) ke Suriah. Beberapa masyarakat yang terpengaruh memilih berjuang bersama ISIS.

Salah seorang yang terpapar ideologi ISIS adalah Astari dan dua anaknya Yulfa, dan Zaid. Astri adalah perempuan asal Bangka yang dekat dengan keluarga mendiang suaminya Irhasy Marco Adam yang telah meninggal pada 2015 di Suriah. Irhasy diketahui pernah meminjamkan kartu tanda penduduk (KTP)nya kepada Dulmatin, agar pengebom Bom Bali I itu bisa bersembunyi di Kota Tangerang Selatan.

BACA JUGA  Serial Pengakuan Eks Napiter (C-LI-XXIX): Eks Napiter Hendro Berhasil Hijah dari Terorisme

Irhasy pernah mondok di Pondok pesantren Assalam yang merupakan pecahan Ponpes Ngruki pimpinan Abubakar Ba’asyir. Bahkan saat SMP cita-cita Irhasy adalah ingin mati syahid. Ia juga Pernah mendaftar untuk menjadi tentara ke Palestina waktu SMP tapi ditolak karena masih kecil.

Selepas mondok, Irhasy masuk SMA di Tangerang dan tiga tahun kemudian lolos ke perguruan tinggi jalur PMDK di UIN Syarif Hidayatullah di Ciputat. Ia ambil jurusan IT dan saat pergi ke Suriah pada tahun 2014 ia tinggal menyelesaikan skripsi saja. Namun, selama kurun 2014-2015 Irhasy tak pernah menelpon dan mengabarkan keberadaannya di Suriah. Setelah ditelusuri, ternyata Irhasy telah meninggal 2015 sebab ditembak.

Penyesalan tak dapat dipungkiri pada diri Astari. Ia pengen pulang, tapi bingung dengan cara apa bisa meninggalkan Suriah dan kembali menginjakkan kaki di Indonesia. Kebingungan ini mendorong Astari hanya bersikap pasrah. Berharap ada uluran Tangan Tuhan yang membantunya. Astari menyadari ini adalah kesalahannya sendiri. Berharap hijrah ke Suriah, ternyata terjebak dalam penjajahan ideologi.[] Shallallah ala Muhammad.

*Tulisan ini disadur dari cerita Astari yang dimuat di media online Borneonews.co.id

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru