Judul Buku: Panduan Wisata Religi Ziarah Wali Sanga, Penulis: I. Rofi’ie Ariniro, Penerbit: Saufa, Cetakan: 2016, Tebal: 186 halaman, ISBN: 978-602-0806-78-5, Peresensi: Sam Edy Yuswanto.
Harakatuna.com – Sangat menarik menyimak kisah perjalanan para wali atau ulama zaman dulu yang begitu bersemangat memperdalam ilmu pengetahuan dari satu guru ke guru lainnya di berbagai daerah bahkan hingga luar negeri.
Setelah beragam ilmu pengetahuan didapatkan, mereka lantas begitu gigih menyebarkan ajaran Islam dengan penuh kelemahlembutan, pendekatan yang sangat memanusiakan manusia, tanpa kekerasan, dan tidak gemar menghakimi apalagi sampai mengkafir-kafirkan orang lain yang seagama dengannya.
Perihal berdakwah tanpa kekerasan, kita bisa membaca kisah para wali yang selama ini dikenal dengan sebutan “Wali Sanga”. Dalam buku ini diuraikan, Wali Sanga adalah kumpulan ulama yang sangat berjasa menyebarkan Islam di tanah Jawa.
Mengenai kata “sanga”, di antara para sejarawan banyak yang berbeda pendapat dalam penyebutan atau penamaan. Ada yang mengatakan kata “sanga” merupakan hasil adopsi dari bahasa Arab, yaitu tsana’ yang memiliki arti terpuji. Dari kata tersebut, kemudian berubah menjadi sana.
Karena orang Jawa kesulitan atau rancu dalam penyebutan kata Arab, maka dari kata sana berubah menjadi sanga. Tetapi, ada pula yang mengatakan bahwa kata tersebut berasal dari bahasa Jawa kuno, yang lafalnya sama-sama sana, yang mengandung arti tempat, daerah, atau wilayah.
Berdasarkan penasfiran tersebut, kata “sanga” dalam Wali Sanga mengandung arti wali untuk suatu tempat, penguasa daerah, atau penguasa wilayah. Namun, ada juga yang mengatakan bahwa “sanga” berasal dari bahasa Jawa yang mengandung arti “sembilan”. Menurut mereka, angka sembilan bagi orang Jawa merupakan angka magis atau keramat (Dr. Ridin Sofwan, dkk., Islamisasi di Jawa).
Terlepas dari arti atau makna kata “sanga”, ternyata Wali Sanga tidaklah hanya wali-wali yang dikenal oleh masyarakat, terutama orang Jawa sekarang ini. Mereka menganggap bahwa Wali Sanga merupakan kumpulan para wali yang terdiri atas Syekh Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Drajat, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Padahal, menurut beberapa catatan disebutkan bahwa Wali Sanga tidak hanya sebatas wali tersebut (hlm. 13).
Salah satu wali yang bisa kita simak kisahnya dalam buku ini yakni Syekh Maulana Malik Ibrahim. Banyak ahli sejarah yang sepakat bahwa ia adalah pencetus (nenek moyang) dari Wali Sanga.
Beberapa tahun sebelum kedatangannya di tanah Jawa, Islam sudah masuk ke tengah-tengah masyarakat Jawa, terutama di daerah pantai utara. Ini dapat dibuktikan dengan ditemukannya makam dari seorang wanita bernama Fatimah binti Maimun yang meninggal pada tahun 475 H atau 1082 M.
Berdakwah dengan penuh kehati-hatian dan tanpa kekerasan, terlebih di tengah masyarakat yang memiliki keyakinan beragam, adalah hal yang niscaya. Tujuannya tentu agar dakwah tersebut dapat diterima dengan baik. Minimal tidak mendapat pertentangan dari masyarakat sekitar yang telah lama menganut keyakinan yang berbeda.
Menghadapi umat yang berbeda keyakinannya sudah pernah dialami oleh Maulana Malik Ibrahim, sebab ia pernah mengembara di Gujarat, India, yang kebanyakan penduduknya beragama Hindu. Sehingga, di Jawa, ia tidak merasa kerepotan menghadapi penduduk yang beragama lain.
Namun, yang dihadapinya bukan hanya masyarakat yang beragama Hindu, melainkan masyarakat yang tidak beragama atau yang terlanjur mengikuti aliran sesat. Ia pun harus berupaya meluruskan iman orang-orang Islam yang sudah menyimpang jauh dari ajaran Islam.
Dalam memperbaiki atau meluruskan mereka, ia tak langsung menentang atau menyalahkan. Ia mendekati mereka dengan penuh hikmah sekaligus menunjukkan keindahan dan kemuliaan akhlak Islam yang telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw. (hlm 27-28).
Dalam buku ini diungkap, Maulana Malik Ibrahim berjuang menyebarkan nilai-nilai Islam dimulai dari bawah sampai kalangan atas. Di kalangan bawah, ia menolong orang-orang yang tidak mampu dan fakir miskin. Sedangkan, di kalangan atas, ia menggunakan keahliannya dalam bidang tata negara. Tidak mengherankan jika ia sangat dihormati dan disegani oleh kalangan bawah dan atas.
Kepribadian Maulana Malik Ibrahim yang baik nan mulia itulah yang membuatnya dikenal, dihormati, dan disegani. Ia tidak membeda-bedakan perilakunya terhadap orang lain, baik beragama Islam maupun tidak, kaya atau miskin; baginya semuanya sama.
Dalam bermasyarakat, ia tidak mengenal yang namanya kasta-kasta, sebagaimana yang dianut oleh agama Hindu. Begitu pula dalam mengajarkan nilai-nilai Islam, ia begitu telaten dan luwes, yang disesuaikan dengan kemampuan pengikutnya (hlm. 29).
Kisah lain tentang sosok Wali Sanga yang patut diteladani dalam buku ini adalah Sunan Ampel. Ia dikenal dengan metode dakwahnya yang unik. Semua kalangan berhasil dimasukinya, termasuk penduduk yang masih memegang teguh adat kepercayaan lama.
Ia menggunakan metode pendekatan, bukan pencegahan secara langsung kepada mereka, melainkan menjelaskan dengan penuh kesabaran dan ketelatenan dalam menyampaikan ajaran Islam yang disesuaikan dengan kemampuan mereka masing-masing. Sehingga, mereka menerima semua yang disampaikan tanpa ada paksaan dan keterpaksaan.
Selain mengungkap sejarah Wali Sanga, dalam buku ini juga dibeberkan tentang tata cara ziarah kubur yang benar, tidak melenceng dari ajaran dan syariat Islam, sebagaimana telah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Terbitnya buku ini dapat membantu masyarakat untuk lebih mengenali para wali terdahulu yang begitu gigih menyebarkan ajaran Islam dengan penuh kasih sayang dan tanpa kekerasan.