29 C
Jakarta

Seberapa Powerful Sebuah Konten Terhadap Upaya Pencegahan Terorisme?

Artikel Trending

KhazanahTelaahSeberapa Powerful Sebuah Konten Terhadap Upaya Pencegahan Terorisme?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Pada sebuah pengalaman kecil berdasarkan pengalaman menulis konten, atau mendiseminasi konten dari website ke media sosial, baik Instagram, Tiktok, maupun Facebook, saya pernah mendapatkan direct massage dari salah satu followers tentang, ucapan terima kasih atas tulisan yang saya buat. Tulisan tersebut menjadi salah satu pondasi si fulan, sehingga memutuskan untuk tidak mengikuti sebuah organisasi yang ternyata berafiliasi kepada kelompok teroris. Alasannya sederhana. Berawal dari konten di Instagram, yang saya ambil dari tulisan di website, si fulan tertarik untuk membacanya. Mungkin terdengar klise, karena pada akhirnya membuat saya cukup tersenyum dan merasa seperti hero seperti tokoh Batman, atau Superman yang menyelamatkan banyak orang.

Namun, yang paling penting dan paling reflektif dari pengalaman sederhana itu bahwa, sebuah konten yang kita ciptakan, dengan kesadaran penuh dan sikap objektif yang sama sekali pada mulanya tidak berniat untuk membuat perubahan, atau tidak berlandasakan viralitas, nyatanya akan memberi dampak terhadap orang lain, sekecil apapun itu. Upaya kontra narasi yang dibuat oleh para konten kreator, memberikan pengaruh besar terhadap upaya pencegahan terorisme di Indonesia.

Media Sosial dan Ritme Pengguna

Berdasarkan Pramborsfm, disebutkan bahwa ada beberapa media sosial yang sering digunakan oleh masyarakat, di antaranya: WhatsApp (92,1%), Instagram (86,5%), Facebook (83,8%), TikTok (70,8%), Telegram (64,3%), Twitter (60,2%), Facebook Massenger (51,9%), SnackVideo (37,8%), Pinterest (36%), Line (31,9%). Berdasarkan laporan pengguna media sosial ini, kita bisa mengetahui bahwa, lebih dari 70% masyarakat Indonesia adalah pengguna media sosial.

Artinya, setiap orang setidaknya mengonsumsi informasi melalui media sosial. Segala jenis informasi, termasuk wacana keagamaan, dikonsumsi oleh masyarakat melalui media sosial. Dalam konteks terorisme, hal ini bisa dilihat dari fenomena lone wolf pada aksi terorisme yang terjadi beberapa waktu lalu. Kita bisa membayangkan bagaimana seseorang bisa melakukan serangan tanpa ada organisasi di belakangnya, yang mampu mendukung keputusan atas hidupnya.

Nyatanya, ideologi yang membuat keputusan itu ternyata berdasarkan konsumsi pengetahuan, informasi serta wacana melalui media sosial. Perspektif keagamaan yang tidak berimbang, serta fanatisme terhadap suatu ajaran yang membuat seseorang tertutup untuk menerima perbedaan. Media sosial memberikan pengaruh besar terhadap keputusan-keputusan besar dalam hidup seseorang. Kaderisasi untuk regenerasi yang dilakukan oleh para teroris, sudah beralih kepada media sosial. Selain karena media sosial adalah ruang yang bebas untuk menyebarkan narasi keagamaan, media sosial juga menjadi tempat yang sangat terbuka menerima semua wacana untuk menggiring suatu opini tertentu.

BACA JUGA  Refleksi Hardiknas: Melihat Potret Kelam Kasus Perundungan Anak di Indonesia

Berkaitan dengan ini, menurut Noor Huda Ismail, ada lima tahapan terorisme di media sosial, di antaranya: pertama, komunikasi intens di media sosial. Kedua, intensitas komunikasi ditingkatkan melalui pertemuan daring yang dilakukan melalui aplikasi untuk memberikan pemahaman radikal. Ketiga, pemimpin agama atau jaringan akan merencanakan pertemuan tatap muka kepada individu yang sudah dianggap terpapar radikalisme dalam grup aplikasi tersebut. Setelah bertemu, pada tahap keempat, kelompok teroris melakukan pelatiham paramiliter, termasuk pembekalangan peledak hingga aksi teroris. Terakhir, aksi bom bunuh diri sebagai puncak dari perekrutan.

Peran Masyarakat

Selain media sosial sebagai alat untuk melakukan pencegahan terorisme pada masyarakat, setidaknya ada tiga institusi yang berperan penting untuk memberikan edukasi kepada masyarakat, di antaranya: pertama, pendidikan. Lembaga pendidikan harus menjadi ruang kondusif bagi terciptanya lembaga pendidikan yang mampu mencetak bangsa yang memiliki kemampuan berpikir kritis, terbuka, serta memiliki nasionalisme yang tinggi.

Kedua, keluarga. Ia adalah lingkungan yang paling dekat seorang anak sehingga kemampuan orang tua dalam memahami keberagamaan, harus mampu mengarahkan anak agar tidak tergerus dalam ideologi terorisme. Ketiga, komunitas. Peran lembaga masyarakat sipil untuk memberikan edukasi tentang keberagamaan yang terbuka serta membangun kesadaran moderatisme yang kuat, perlu untuk terus diupayakan.

Fasilitas belajar agama menyuarakan keberagaman serta kedamaian bagi pemeluknya, adalah salah satu upaya yang terus dilakukan kepada masyarakat. Kita semua memiliki kewajiban untuk terus memiliki pikiran terbuka, agar memiliki pikiran kritis serta tidak gampang tergerus oleh provokasi, serta pemahaman agama yang menyimpang dari ajaran-ajaran kemanusiaan, utamanya yang mengarah pada kekerasan dan penindasan sehingga melukai kemanusiaan. Wallahu A’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru