31 C
Jakarta

Sastra dan Silang Sengkarut Persoalan di Sekitarnya

Artikel Trending

KhazanahLiterasiSastra dan Silang Sengkarut Persoalan di Sekitarnya
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Apa sebetulnya tolok ukur peradaban? Terutama di bidang sastra yang penuh intrik, manipulasi, dan fakta yang seolah fiksi, atau fiksi dengan gugusan fakta yang terus memerangkap kita sebagai manusia.

Tentu pertanyaan retoris seperti itu tak memerlukan jawaban ajeg, justru pertanyaan ini telah mengandung jawaban sendiri. Tetapi alangkah naif jika pertanyaan ini tidak dijawab bagi orang-orang yang tidak dekat dengan sastra.

Pertanyaan ini saya terima dari orang-orang dekat ketika saya mengutarakan keputusan untuk melanjutkan studi di kota Yogyakarta dan mengambil studi Pend. Bahasa & Sastra Indonesia di salah satu kampus swasta kota itu.

Saya tertegun dan tak bisa menjawab. Saya hanya ingat dan akhirnya saya utarakan ungkapan melekat Seno, bahwa “Ketika jurnalisme dibungkam, maka sastra bicara.”

Tetapi jurnalisme sekarang tidak dibungkam. Sergah kakak sepupu saya sengit. Saya diam sebentar dan berupaya menyusun kalimat sebagus mungkin sebab kebetulan, waktu itu keluarga saya berkumpul sambil menonton sepak bola liga Indonesia antara Madura United VS Persija Jakarta. Semua pasang mata menatap saya. Saya jadi ingat Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengenai pencemaran nama baik dan penghinaan.

Dengan lugas saya katakan, ada beberapa persoalan prinsipil dan berkaitan dengan sebuah instansi atau pemilik instansi yang tidak menggunakan keadilan dengan semestinya. Saya comot beberapa persoalan, terutama ketika pemerintahan Orba berkuasa.

Ketika itu, hak pers dibungkam untuk kepentingan pihak tertentu, maka pengarang mengambil bagian sederhana untuk menyiasati sejarah. Pengarang menulis atau merekam ketidakadilan itu dengan bumbu-bumbu fiksi yang menyenangkan untuk dibaca di satu sisi dan mengingatkan di sisi lain. Di situlah posisi pengarang ada.

Saya lalu membahas kumpulan cerpen “Saksi Mata” yang merekam ketimpangan kemanusiaan di pulau Timor Timur (sekarang Timor Leste). Tepatnya insiden Dili, 12 November 1991, yang menurut pengakuan penulis, peristiwa itu sangat dekat dengan dirinya. Keluarga saya menyimak dengan dingin.

Saya kemudian comot penggalan cerpen berjudul, “Saksi Mata” untuk lebih menguatkan argument saya. “…Darah membasahi pipinya, membasahi bajunya, membasahi celananya, membasahi sepatunya, dan mengalir perlahan-lahan di lantai ruang pengadilan…

…syukurlah para hadirin bisa ditenangkan, mereka juga ingin segera tau, apa yang sebenarnya telah terjadi. “Saudara Saksi Mata.” “Saya, Pak” “Di mana mata Saudara?” “Diambil orang, Pak.” “Diambil?” “Saya, Pak” “Maksudnya  dioperasi?” “Bukan, Pak. Diambil pakai sendok.” Keluarga saya diam dan mengidik ketika saya menceritakan itu.

Lalu saya menjelaskan dengan sederhana bahwa, tulisan berupa cerpen itu membicarakan seorang saksi yang mengetahui mengenai pembantaian di Dili tersebut sebab dituduh beragam hal. Pembantaian yang anti-kemanusiaan. Yang menyedihkan.

Tetapi, dalam beberapa alasan, hal demikian tidak dapat diceritakan lewat tulisan jurnalistik seperti berita karena terlalu riskan dan bisa jadi akan ditahan karena menyangkut institusi tertentu.

Maka, dengan rendah hati saya katakan bahwa hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh jurnalis agar khalayak mengetahui, diambil alih oleh sastra. Tentu dengan pengandaian-pengandaian imajinatif. Meskipun, kebanyakan ide dasarnya pada kisah asli. Keluarga saya hanya terdiam sekali lagi, entah mengerti atau tidak.

BACA JUGA  Membangkitkan Api Kreativitas Literasi, Ini Tipsya

Peradaban Sastra

Setelah mengisahkan itu, saya jadi ingat ungkapan Faruk dalam beberapa kesempatan bahwa, perangkap ironi yang realis terus mengungkung pengarang-pengarang yang bermunculan.

Seolah-olah dunia fiktif yang mereka hadirkan adalah bentuk ekspresi simbolik terhadap realitas-realitas di sekitar, atau bahkan di tempat-tempat terjauh dunia. Maka saya berasumsi peradaban sastra kita lahir dari kegelisahan-kegelisahan yang berkembang tersebut.

Tetapi apa mungkin sastra akan nampak lebih menarik jika persoalan-persoalan yang ada di sekitar kita makin menarik pula? Pertanyaan itu timbul di pikiran saya. Lalu apakah ketika persoalan di sekitar kita cenderung datar maka peradaban sastra kita akan jatuh pada proses klise dan membosankan? Belum tentu. Karena di sana ada kreasi pengarang menempatkan diri.

Tetapi akhirnya kita sadari bahwa dunia akan makin rumit dengan segala macam hasrat yang berkembang, peristiwa-peristiwa tidak masuk akal dan sayangnya jurnalisme tidak mampu meringkus semua hal tersebut karena disiplin ini memiliki batas-batas tertentu di lain sisi maka sastra mengambil tempat semaksimal mungkin untuk menggenapi pos-pos persoalan yang tidak dijangkau jurnalisme.

Saya jadi ingat cerpen berjudul, “Karangan Bunga” karya Desi Puspitasari di Halaman Koran Kompas Minggu beberapa tahun silam. Saya akan kutip sedikit, “…namun, keanehan kali inibukanlah tentang hand bosquet untuk seseorang yang sudah mati. Tapi, lebih kepada jenis bunga  yang dipilih; tulip dan white acacia. Manta suami Helena yang telah bercerai dengannya belasan tahun yang lalu sangat menyukai jenis bunga tersebut…”

Satu paragraf dalam cerpen tersebut setidaknya memberikan gambaran penting mengenai bagaimana pengarang mengambil tema; yakni pergolakan rumah tangga dengan segala tetek-bengeknya.

Tentu, dalam proses jurnalistik berlangsung, bahasan-bahasan mengenai persoalan rumah tangga banyak di bahas terutama rumah publik figur yang menjadi konsumsi publik seperti ditampilkan beberapa stasiun TV nasional. Tetapi sangat jarang persoalan-persoalan menarik dari pergolakan rumah tangga masyarakat biasa diekspos atau dibahas dan inilah ranah pengarang bekerja, seperti yang digambarkan Desi Puspitasari di Koran Harian Kompas.

Kita tidak dapat menampik peran-peran jurnalistik dalam pengembangan peradaban sastra kita dalam beberapa hal. Terutama mengenai beberapa kejeliannya tentang peristiwa besar akhir-akhir ini misalnya, tragedi Kanjuruhan. Tetapi kadang-kadang, ini yang menjadi suatu kelemahan, jurnalistik tidak mampu membangkitkan empati. Ia hanya menyajikan fakta-fakta.

Meski itu penting juga, tapi nilai-nilai yang lahir cenderung kecil. Beda dengan sastra. Karena sastra mampu membangkitkan hal-hal esensial dalam perasaan dan terwujud pada emosi pembaca.

Maka kesimpulan sederhana saya, sastra berkembang atas dasar fakta-fakta yang kebanyakan diolah oleh jurnalistik serta sastra pula menyempurnakan persoalan pada fakta-fakta yang ada di tubuh jurnalistik.

Sehingga peradaban sastra menguat. Begitulah kira-kira silang sengkarut dua disiplin ilmu ini. Sebab hal demikian, tolak ukur peradaban yang sempat saya singgung di awal adalah bermula dan berakhir dari silang-sengkarut ini, maka semestinya dua disiplin ini tidak bertikai tetapi saling melengkapi. Semoga banyak membantu.

M. Rifdal Ais Annafis
M. Rifdal Ais Annafis
Pengarsip dan bakul buku di TBM Kutub Yogyakarta. Memenangi beberapa sayembara penulisan seperti Payakumbuh Poetry Festival 2021. Buku sajaknya yang telah terbit, Artefak Kota-kota di Kepala (2021).

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru