31.2 C
Jakarta

Saat Hati Bergetar (Bagian VI)

Artikel Trending

KhazanahOpiniSaat Hati Bergetar (Bagian VI)
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Mengintip Senja Berdua – “Fairuz Zakyal Ibad di Blok E No. 2 diharap segera ke kantor pesantren.” Panggilan di corong pesantren melengking amat keras.

Fairuz dag-dig-dug. Detak jantung begitu kecang. Biasanya ada dua kemungkinan santri dipanggil ke kantor pesantren. Kalau tidak ada kiriman surat atau snack, panggilan itu pemberian sanksi bagi santri yang melanggar peraturan pesantren.

Sejenak Fairuz membatin. Pernah nggak aku melanggar peraturan pesantren? Seingatku belum pernah.

Teman-temannya mengakui Fairuz bukan santri yang nakal. Bahkan, guru-guru Fairuz di Madrasah Aliyah Tahfidz sering memuji nama Fairuz di depan para siswa karena prestasinya yang membanggakan. Fairuz memang terlahir dari keluarga biasa. Bukan keturunan darah biru. Tapi, semangat meraih masa depan amat tinggi. Tak ayal, jika beragam prestasi diraihnya, mulai karya tulisnya yang dimuat di koran nasional seperti Jawa Pos, Kompas hingga prestasi tahfidz tingkat nasional.

Fairuz terbiasa menghafal Al-Qur’an semenjak di kampungnya. Sebelum mondok hafalan itu sudah Fairuz selesaikan sampai tiga puluh juz. Bahkan, mendapat ijazah langsung dari Syekh Mahmud Mesir. Masyarakat pedesaan melihat Fairuz sebelah mata, karena faktor genetik. Hal ini tidak menjadi aral yang merintangi Fairuz untuk berkarya, melainkan menjadi semangat untuk terus maju.

Biarlah prestasi yang menjawab semua ini. Fairuz memendam prinsip itu dalam-dalam. Prestasi adalah bukti yang dapat mengekalkan pribadi seseorang. Ilmuwan muda Abd. A’la menyebutkan, “Jangan mengejar jabatan karena ia sementara, tapi kejarlah prestasi karena ia abadi.”

“Fairuz Zakyal Ibad di Blok E No. 2 diharap kedatangannya ke kantor pesantren.” Panggilan serupa terdengar kembali. Karena, Fairuz belum beranjak dari biliknya.

“Kang Fairuz ada panggilan,” Kang Bashar berucap dari pojok kamar. Kang Bashar dari tadi fokus membaca novel Dunia Sophie yang ditulis Jostein Gaarder. Buku itu adalah novel filsafat yang banyak diminati para santri, karena bahasanya yang lugas dan renyah. Membacanya tidak kesulitan memahaminya. Selain itu, bisa belajar filsafat secara gamblang.

Tak sempat berucap sepatah kata pun, Fairuz langsung bergegas menuju kantor pesantren. Di kantor pesantren seorang pengurus keamanan menyodorkan sepucuk surat yang terlipat rapi. Tangan Fairuz gemetar dan pikirannya penuh tanda tanya.

Baru kali ini Fairuz menerima surat dari santri putri. Kendati nama Fairuz familiar di Pesantren Annuqayah, tak seorang pun yang berani berkenalan dengan Fairuz. Boleh jadi para wanita keder duluan melihat prestasi Fairuz. Boleh jadi karena peraturan pesantren yang begitu ketat.

Sepucuk surat digenggam kemudian kembali ke biliknya. Pikiran ini diliputi berjuta-juta tanya. Pasti ini bukan surat cinta. Benak ini meyakinkan. Karena, tidak mungkin lolos dari tangan pengurus keamanan surat yang berisikan percintaan.

Benar. Isi surat itu hanya sebatas ta’aruf. Fairuz membaca dalam hati.

Assalamu’alaikum, Akhi Fairuz.
Pekernalkan saya Diva, santri putri di pesantren ini. Kehadiran surat ini ingin menyampaikan selamat atas tulisan Akhi Fairuz yang dimuat di koran kemarin. Kata-katanya sederhana dan sungguh berkesan. Membaca tulisan Akhir Fairuz membangkitkan semangat saya untuk menulis. Thanks for all.
Salam Hormat,
Diva Rizka Maulia

Membaca surat itu membuat Fairuz tertegun. Kata-katanya santun, sekalipun singkat, sehingga menggugah hati dan berkesan di jiwa. Padahal, Fairuz dan Diva belum pernah bertemu.

BACA JUGA  Mengaktualisasi Idulfitri dalam Konteks Persatuan dan Kesatuan

“Mana kiriman snacknya? Bagi-bagi dong!” Kang Bashar tiba-tiba bersuara setelah berjam-jam tenggelam dalam buku.

“Halahhh! Bukan snack, tapi surat, Kang!” Fairuz membantah.

“Surat cinta ya?” Kang Bashar bercanda.

“Cinta dari kayangan. Surat ta’aruf, Kang.”

“Kang Fairuz tunangan?”

“Bukan, Kang. Kang Bashar sepertinya nggak fokus. Kalo baca buku, jangan bercanda. Jadinya, nggak nyambung.”

Secarik kertas itu dilipat kembali dan disimpan di lembaran buku. Belum sempat Fairuz membalas surat itu. Mungkin di lain waktu balasannya akan segera dikirimkan.

* * *

Diva mulai gemar menulis. Menulis tulisan-tulisan ringan semacam esai atau kolom. Diva masih ingat pesan Nadia, bahwa untuk jadi penulis, kuncinya membaca dan menulis. Pesan ini begitu kuat memotivasi Diva untuk terus menulis. Setiap tulisan yang baru saja diselesaikan langsung disetor ke Nadia agar dikasih komentar.

“Diva menulis lagi ya.” Nadia tidak banyak komentar soal tulisan Diva. Hanya komentar sesingkat itu.

Pada hari-hari berikutnya komentar Nadia tiada yang berbeda: Diva menulis lagi ya. Mendengar dan membaca komentar itu terkadang membuat Diva kesel, karena menulis memeras otak dan menghabiskan waktu untuk membaca dan menulis. Masa hanya komentar segini doang?! Hati Diva berkeluh.

Sekitar sebulan berlajar menulis dan bercampur perasaan mulai putus asa, tulisan berjudul Memikatkmu dengan Tiga Mahar dimuat di koran Radar Madura.

“Selamat, Div! Tulisanmu bagus,” kata Adel seketika kembali ke bilik.

Diva tidak mengerti. Maksudnya apa ya?!

“Diva sudah baca koran hari ini?” tanya Adel.

Diva geleng kepala.

“Tulisanmu dimuat di kolom opini koran lokal.”

“Tulisan yang mana?!” tanya Diva terkejut. Mata Diva terbelalak. Antara percaya dan tidak.

“Ayo ke papan koran sana!”

Mereka beranjak serentak. Kertas yang baru saja Diva tulis dibiarkan tergeletak di lantai.

“Div, Div, tulisanmu.” Hanum memanggil Diva yang baru saja beranjak. Diva tidak mengubris.

Hanum terpaksa mengambil coretan kertas itu dan buku bacaan yang tergeletak di atas lantai. Kemudian buku-buku Diva diletakkan di atas rak buku.

“Ini tulisanmu, kan?” Adel menunjuk tulisan dengan nama pena Diva Rizka Maulia.

Diva tidak menjawab pertanyaan Adel. Diva mengeja tulisan itu penuh tanya: Siapa yang ngirim tulisan ini di media?

“Bener. Ini tulisanku. Tapi, aku belum tahu, siapa yang ngirim tulisanku di media ini.” Diva menjelaskan terharu.

“Pasti ada orang baik yang bekerja di balik layar.”

“Aku penasaran.”

“Mungkin Kak Nadia.”

“Masa iya? Tulisanku setiap hari hanya dapat komentar begitu-begitu aja.”

“Sudahlah. Diva sekarang banyak bersyukur. Tulisanku aja butuh waktu dua bulan untuk dimuat di Radar Madura.”

Thank you, Ukhti!

“Hey, jangan lupa tasyakuran.”

“Nanti kalo honor tulisanku udah aku terima, tak ajak ke warung makan pesantren.”

“Kak Nadia diajak. Hanum juga.”

“Okey, Ukhti.”

Diva, Nadia, Adel, dan Hanum adalah sepertemanan. Mereka sering duduk bareng, diskusi, dan belajar menulis. Hanya saja bilik tempat belajar dan beristirahat yang terpisah. Makan pun sering mereka bersama. Mereka sering disebut empat bersaudara, padahal sedikit pun mereka tidak ada ikatan genetik.[]

* Tulisan ini diambil dari buku novel “Mengintip Senja Berdua” yang ditulis oleh Khalilullah

Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Dr. (c) Khalilullah, S.Ag., M.Ag.
Penulis kadang menjadi pengarang buku-buku keislaman, kadang menjadi pembicara di beberapa seminar nasional

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru