29.5 C
Jakarta

Puasa: Momentum Menahan Diri dari Nafsu Ekstremisme-Terorisme

Artikel Trending

KhazanahPerspektifPuasa: Momentum Menahan Diri dari Nafsu Ekstremisme-Terorisme
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Sudah mafhum bahwa puasa Ramadan adalah salah satu dari rukun Islam yang wajib dijalankan seluruh umat Islam. Rasulullah Saw. bersabda:

بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ، وَ إِقَامِ الصَّلَاةِ، وَ إِيْتَاءِ الزَّكَاةِ، وَحَجِّ الْبَيْتِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ. رواه البخاري ومسلم.

Artinya: “Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan salat, menunaikan zakat, pergi haji, dan puasa di bulan Ramadan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Tidak hanya itu. Bukankah di dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 183 dengan tegasnya Allah Swt. menyerukan (mewajibkan) kepada orang-orang yang beriman untuk berpuasa. Allah Swt. berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْکُمُ الصِّيَامُ کَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِکُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ 

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183).

Dalam Al-Qur’an, ada sebagian ayat-ayat yang diawali dengan “ya ayyuhannas” (wahai manusia), dan ada pula ayat yang diawali dengan “ya ayyuhalladzina amanu” (wahai orang-orang yang beriman). Ayat yang diawali dengan “ya ayyuhannas” pada umumnya turun di Makkah sebelum Nabi hijrah.

Sedangkan ayat yang diawali dengan “ya ayyuhalladzina amanu” turun di Madinah. Jika dilihat ayat di atas, ayat tersebut diawali dengan “ya ayyuhalladzina amanu”. Ayat ini mewajibkan puasa kepada orang-orang yang beriman dengan memakai kata “kutiba”. Secara harfiah kata “kutiba” berarti dituliskan. Akan tetapi dalam hal ini berarti diwajibkan.

Umumnya, ulama tafsir mengatakan bahwa, kewajiban puasa telah ada sejak sejarah manusia. Itu sebabnya, Allah Swt. tidak menggunakan kata “furida” (diwajibkan/difardukan) melainkan kata “kutiba”. Pertama, kata “kutiba” mempunyai arti seolah-olah dia sudah tertulis begitu lama sehingga tetap menjadi kewajiban. Masalahnya ada hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Karena itu, hukum yang sudah berlangsung lama disebut hukum tertulis. Lebih dari itu, kata “kutiba” juga menunjukkan bahwa kewajiban puasa sudah ada sejak Nabi Adam.

Kedua, “kutiba” dipakai karena pentingnya kewajiban. Puasa adalah suatu kewajiban yang sangat penting yang bukan sekadar perintah biasa. Dikatakan penting karena Allah Swt. sendiri yang akan memberikan imbalan pahala kepada orang yang berpuasa. Ini sebagaimana terekam dalam hadis qudsi, Rasulullah Saw. bersabda:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى بِهِ

Artinya: “Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Swt. berfirman: “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya.” (HR. Muslim).

Ketiga, kewajiban puasa ini tertulis di semua kitab suci yang azali. Seperti terdapat dalam kitab Injil, Zabur, dan Suhuf Ibrahim. Hanya saja, perbedaannya pada tata caranya, sedangkan kewajiban puasanya itu sendiri sudah tertulis.

Konsep Menahan Diri (al-Imsak)

Puasa dalam bahasa Arab disebut “shiyam” atau “shaum” yang artinya “menahan dari segala sesuatu, baik perbuatan maupun perkataan, seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang tidak bermanfaat, dan sebagainya”. Termasuk ke dalam pengertian ini menahan berbicara dengan orang lain seperti disebut dalam Al-Qur’an surah Maryam ayat 26 Allah Swt. berfirman:

فَكُلِيْ وَاشْرَبِيْ وَقَرِّيْ عَيْنًا ۚ فَاِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ اَحَدًا ۙ فَقُوْلِيْۤ اِنِّيْ نَذَرْتُ لِلرَّحْمٰنِ صَوْمًا فَلَنْ اُكَلِّمَ الْيَوْمَ اِنْسِيًّا 

Artinya: “Maka makan, minum, dan bersenang hatilah engkau. Jika engkau melihat seseorang, maka katakanlah: Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pengasih, maka aku tidak akan berbicara dengan siapa pun pada hari ini.” (QS. Maryam [19]: 26).

Al-Raghib al-Isfahani salah seorang ulama dari Baghdad mengatakan, bahwa kata “al-shaum” pada dasarnya berarti “menahan diri dari perbuatan, baik makan, berkata, maupun apa saja”. Oleh karena itu, kuda yang tidak mau berjalan atau makan disebut “sha’im”.

Demikian juga angin yang tidak berhembus disebut “shaum”, dan tengah hari pun dikatakan shaum sebagai gambaran tentang terhentinya matahari di puncak langit. Pendek kata, puasa adalah dimensi meninggalkan sesuatu yang sebenarnya halal, tetapi ditinggalkan semata-mata karena mengikuti perintah Allah Swt.

BACA JUGA  Menghindari Tafsir Tekstual, Menyelamatkan Diri dari Radikalisme

Syahdan. Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin Imam al-Ghazali menyebutkan enam cara menahan diri pada waktu puasa. Pertama, menahan pandangan dan tidak mengumbarnya pada hal-hal yang menyibukkan hati, sehingga lupa kepada Allah Swt. Kedua, menjaga lidah dari ucapan yang sia-sia, berbohong, mengumpat, memfitnah, bertengkar, dan membiasakan diam, serta menyibukkan lidah dengan zikir kepada Allah Swt. Ketiga, menahan pendengaran dari hal-hal yang dibenci agama.

Keempat, menahan seluruh anggota tubuh yang lain dari dosa perut dari makanan haram, tangan dari menganiaya orang lain atau mengambil yang bukan haknya, kaki dari menginjak-injak hak orang lain. Kelima, menahan diri untuk tidak makan berlebih-lebihan, termasuk dalam beragama hingga mengarah pada ekstremisme. Keenam, menahan diri dari ideologi-ideologi perusak tanah air, seperti terorisme dan sejenisnya. Artinya, dengan puasa, kita hendaknya menahan diri dari terjerumus ke dalam ideologi perongrong NKRI.

Puasanya Orang-orang Dulu

Jika ditelisik lebih jauh, sejak permulaan sejarah, manusia tidak menemukan cara apa pun yang lebih baik dibandingkan dengan puasa untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan keji yang sulit terobati yang pada akhirnya menuntunnya menuju kelalaian. Para penganut syahadat ilahiah (monoteisme/tauhid), masyarakat non-Muslim, dan bangsa-bangsa kuno sudah terbiasa dengan puasa.

Bangsa-bangsa Mesir Kuno, Yunani, Romawi, dan Cina Kuno, serta bangsa-bangsa lainnya telah mempraktikkan puasa untuk beberapa alasan. Sebagian bahkan masih melakukan puasa sampai sekarang. Bangsa Yunani telah mengenal puasa dan manfaatnya dari bangsa Mesir Kuno.

Mereka biasanya melakukan puasa ketika menjelang keterlibatan mereka dalam suatu peperangan. Bangsa Romawi berusaha mengungguli bangsa Yunani tidak hanya dalam mitologi, namun juga dalam melaksanakan puasa, terutama ketika mereka diserang agar dapat meraih kemenangan.

Tak berhenti di situ, mereka percaya bahwa puasa memperkuat fisik mereka dan mengajari mereka kesabaran dan ketabahan, dua prasyarat yang dibutuhkan untuk memenangkan peperangan melawan godaan internal dan juga bahaya eksternal. Bangsa Cina Kuno juga memasukkan puasa ke dalam doktrin-doktrin mereka. Selama berabad-abad, orang Hindu dan Buddha telah melaksanakan bentuk puasa yang lebih hebat.

Demikian juga orang-orang Yahudi dan Kristen melaksanakan jenis-jenis puasa tertentu. Nabi Musa melaksanakan puasa empat puluh hari di Bukit Sinai. Selama periode itu, Nabi Musa diberikan tanggung jawab berat berupa “Sepuluh Perintah Tuhan” (The Ten Commandments). Nabi Musa diperintahkan dalam kitab Taurat untuk melaksanakan puasa pada hari kesepuluh bulan ketujuh dan hari kesembilan bulan kedelapan.

Orang-orang Yahudi zaman dahulu melaksanakan puasa selama masa kesedihan dan ratapan serta ketika menghadapi bahaya. Mereka juga terbiasa untuk melaksanakan puasa satu hari sebagai pertobatan, dan kapan pun mereka percaya bahwa Tuhan murka kepada mereka. Pada masa ini, mereka melaksanakan puasa selama satu minggu untuk memperingati kehancuran Yerusalem di tangan Nebukadnezar II (605-562 SM), putra dari Nabopolassar, pendiri kerajaan Babilonia Baru pada 16 Maret 597 SM.

Mereka juga melaksanakan puasa pada hari-hari lain. Nabi Isa dan ibundanya, Maryam binti Imran, diberitakan melaksanakan puasa pada hari pertobatan. Nabi Isa dan para muridnya melaksanakan puasa selama empat puluh hari sebagaimana yang dilaksanakan oleh Nabi Musa sebelumnya.

Ini membuktikan bahwa puasa bukan ibadah yang baru, melainkan ibadah yang sudah ratusan bahkan ribuan tahun lalu sudah dilakukan oleh kakek dan nenek moyang kita.

Karena itu, jika belakangan ada orang yang melarang atau mencegah kita untuk berpuasa, maka bisa dipastikan dia tidak tahu asal dan usulnya—tidak paham sejarah. Ia tak tahu bahwa puasa selain mendapatkan pahala, juga dapat menyelamatkan diri kita dari nafsu-nafsu jahat ekstremisme-terorisme. Wallahu a’lam bi as-shawab.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf
Kader aktif PMII UNUJA sekaligus mahasiswa dan santri aktif Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo. Minat kajian keislaman dan filsafat.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru