33.5 C
Jakarta

Pondasi dari Perbedaan Ketetapan Idulfitri Adalah Toleransi

Artikel Trending

KhazanahTelaahPondasi dari Perbedaan Ketetapan Idulfitri Adalah Toleransi
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com-Tahun ini, perayaan Idulfitri bisa dipastikan memiliki beberapa perbedaaan pada beberapa kelompok masyarakat, terutama Muhammadiyah dengan NU. Muhammadiyah menetapkan 1 Syawwal pada Jumat, 21 April 2023. Sedangkan pemerintah, yang menjadi tolok ukur masyarakat NU, diperkirakan merayakan Idulfitri pada Sabtu, 22 April 2023. Tapi ini hanyalah perkiraan saja. Keputusan pemerintah belum ditetapkan. Bisa saja, pemerintah juga menetapkan 1 Syawwal pada Jumat, 21 April 2023 besok sesuai dengan hasil sidang isbat berdasarkan pengamatan hilal. Insyaallah.

Perbedaan ketetapan ini memang bukan yang pertama. Akan tetapi, yang menjadi masalah justru sikap pemerintah daerah setempat yang menolak izin penggunaan lapangan untuk pelaksanaan salat Idulfitri menuai berbagai pertentangan di kalangan kelompok masyarakat Muslim. Adalah Sukabumi (Jawa Barat) dan Pekalongan (Jawa Tengah) merupakan daerah yang tidak memberikan izin untuk warga Muhammadiyah melaksanakan salat Idulfitri di lapangan. Kebijakan tersebut mendapatkan respon dari berbagai pihak, khususnya sekretaris PP Muhammadiyah, Abdul Mu’ti.

Menurutnya, penolakan izin untuk melaksanakan salat Idulfitri, Iduladha tidak dibenarkan di Indonesia yang berideologi Pancasila. Menurut hemat penulis, penolakan itu direspon cepat oleh Kemenag, sehingga bentuk penolakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah, sudah teratasi dengan baik.

Penolakan inilah yang menjadi akar masalah dan perdebatan di tengah masyarakat. Ramadan yang seharusnya menjadi ruang silaturrahim, meneguhkan persatuan dan kesatuan dalam bingkai perbedaan, berubah menjadi ruang penciptaan permusuhan karena debat kusir yang terjadi. Sementara itu, saya yang sedari awal mengikuti berbagai cuitan tentang perbedaan ketetapan Idulfitri di twitter, merasa terganggu dengan komentar-komentar netizen yang beradu argumen, dan banyak para provokator yang masuk dalam perdebatan tersebut. Tidak hanya itu, debat kusir di media sosial, terus terjadi. Netizen terus menggoreng informasi dan berbagai wacana untuk diperdebatkan. Padahal, ihwal menyudahi berbagai perdebatan itu seharusnya secara sadar tidak perlu dilanjutkan, agar tidak menjadi faktor pemicu perpecahan dan keretakan dalam tubuh bangsa Indonesia.

Pancasila Landasan Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Mengapa perbedaan semacam ini jika perdebatan diteruskan, akan mengakibatkan perpecahan? Saya yang sedari awal mengikuti perdebatan perbedaan ketetapan Syawwal, dengan penolakan perizinan lapangan untuk melaksanakan salat Idulfitri memiliki berbagai spekulasi macam-macam dan ikut geram dengan komentar netizen di twitter. Barangkali perdebatan yang saya ikuti salah satunya untuk menambah insight baru atas pengetahuan dari berbagi ragam keilmuan yang ditulis oleh para tokoh agama. Namun, semakin saya mengikuti perdebatan itu, justru merasa tersesat karena komentar negatif, umpatan dan segala jenis makian yang dilontarkan oleh netizen.

BACA JUGA  Melihat Potensi Perpecahan Pasca Pemilu

Tidak berhenti disitu, saling menyalahkan, merasa paling benar, dan merasa paling Islam, turut menyertai komentar tersebut hingga membuat saya merasa tidak nyaman. Padahal, perbedaan pandangan tersebut bisa kita ikuti sebagai tambahan khazanah keilmuan yang akan memperkaya perspektif kita sebagai anak muda, bangsa Indonesia dalam memahami perbedaan yang terjadi di Indonesia.

Namun, keberadaan media sosial sebagai ruang yang bebas untuk mengutarakan sesuatu, memiliki dampak negatif yang sangat terlihat. Setiap orang bebas untuk komentar, mengumpat, berkomentar negatif bahkan melakukan black campaign tanpa diketahui sosok aslinya. Dengan demikian, media sosial bisa menjadi ruang tumbuh suburnya intoleransi, perpecahan bangsa Indonesia.

Bagaimana Seharusnya Sikap Kita?

Tentu, kita sangat menyayangkan sikap beberapa pemerintah daerah yang menolak perizinan penggunaan lapangan untuk melaksanakan salat Idulfitri. Bagaimanapun, menurut hemat penulis adalah bentuk sikap yang tidak bisa dibenarkan dari sudut pandang apapun. Keberadaan ormas, perbedaan cara pandang bahkan penentuan hari Idulfitri sekalipun, adalah bentuk Bhineka Tunggal Ika, sebagaimana semboyan Pancasila yang kita pahami bersama.

Sikap tenggang rasa yang berasal dari kita, bangsa Indonesia harus perlu kita tanamkan. Penghormatan kita kepada kelompok yang berbeda, perlu didahulukan. Sikap menghargai, toleransi atas keputusan kelompok masyarakat tentang penetapan Idulfitri perlu kita terima dengan lapang dada. Sikap ini sangat penting untuk dimiliki dalam hidup berkelompok dan bermasyarakat. Apalagi, sejak awal kita sudah memahami tentang perbedaan yang menjadi penyatu bangsa Indonesia. Mari kita hentikan perdebatan yang memicu permusuhan dan sikap merasa paling di antara yang lain. Indonesia tidak dilahirkan dari satu golongan saja, akan tetapi dari berbagai golongan yang berbeda, yang perlu kita terus junjung bersama. Wallahu a’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru