29.2 C
Jakarta

Menuju Idulfitri: Momentum Tingkatkan Rasa Cinta NKRI

Artikel Trending

KhazanahTelaahMenuju Idulfitri: Momentum Tingkatkan Rasa Cinta NKRI
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com- Setelah beberapa hari sudah melaksanakan ibadah puasa, dengan serangkaian keistimewaan yang dimiliki oleh umat Islam, sebentar lagi kita akan akan menuju hari yang fitri. Salah satu tradisi yang turut menyertai Idulfitri dengan berbagai keunikan dan kekhasan adalah mudik. Masyarakat yang sedang di tanah rantau, berbondong-bondong untuk pulang ke rumah, berkumpul dengan keluarga besar, dan menikmati kebersamaan bersama keluarga besar. Berdasarkan data yang dilansir melalui Kementerian Perhubungan Republik Indonesia melalui Badan Kebijakan Transportasi (BKT), diprediksi pergerakan masyarakat mencapai 123,8 juta orang. Jumlah ini meningkat 14,2% jika dibandingkan dengan prediksi pergerakan masyarakat di masa Lebaran tahun lalu, di mana mencapai 85,5 juta orang.

Momentum Idulfitri, istilah yang paling familiar di telinga kita, yakni momen seperti kertas putih. Ibarat bayi, pada momen ini kita saling meminta maaf satu sama lain kepada keluarga, sanak saudara ataupun kepada teman dan sahabat. Sebenarnya, momentum ini tidak hanya sekedar ada untuk menggugurkan tradisi semata. Akan tetapi seharusnya dijadikan sebuah momen refleksi bagi kita untuk melihat kembali perilaku di masa silam, sehingga dijadikan pegangan agar tidak melakukannya di masa yang akan datang.

Bukankah dalam ajaran Islam sudah jelas-jelas bahwa kehidupan kita harus lebih baik daripada hari kemarin? Istilah ini bukan digunakan untuk membandingkan kebaikan yang kita lakukan dengan orang lain. Akan tetapi, membandingkan diri sendiri di masa silam dengan hari ini, untuk menjalani kehidupan pada esoknya.

Bagaimana Pelaksanaan Idulfitri dan Nilai Pancasila?

Tradisi Idulfitri dalam lingkungan kita, tidak hanya sebagai sebuah momentum saling memaafkan satu sama lain. Akan tetapi juga menjadi sebuah momentum untuk meningkatkan persaudaraan sesama Muslim. Hal ini diwujudkan dengan saling mengunjungi rumah sanak saudara, saling memberi makan dan memberikan sajian istimewa kepada tamu yang datang ke rumah. Tradisi silaturrahim ini adalah momen mengejewantahkan Islam dan Pancasila yang selama ini masih diperdebatkan oleh beberapa kelompok masyarakat.

Nilai Islam adalah nilai universal yang memiliki penafsiran sangat beragam dalam setiap kelompok masyarakat. Nilai universal menjadi pijakan untuk melakukan kehidupan yang sangat kompleks. Sedangkan Pancasila berasal dari kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia. Dua pijakan ini merupakan keistimewaan yang dimiliki oleh umat Muslim Indonesia, di mana memahami Islam dalam konteks Indonesia, penuh kekhasan yang diimbangi dengan nilai-nilai kearifan lokal.

BACA JUGA  Perubahan Tanpa Khilafah, Kenapa Tidak?

Dalam momentum ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan direfleksikan, di antaranya:

Pertama, memperkuat nilai-nilai Pancasila dalam diri sebagai dasar negara yang merupakan sumber dari segala sumber. Nilai ini tidak hanya tercermin pada silaturrahim yang sudah dilaksanakan dalam perayaan Idulfitri. Nilai ini perlu ditanamkan kepada diri sendiri, anak dan keluarga, lingkungan serta generasi muda supaya mampu memahami bahwa agama Islam dan Pancasila sama sekali tidak bertentangan dengan nilai apapun. Keduanya mampu berjalan bersama-sama, dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kedua, ada nilai toleransi dalam setiap makanan yang disajikan oleh tuan rumah, atau bahkan orang tua ketika kita pulang. Ada opor, sate, dan segala jenis makanan, bergabung dalam satu penyajian untuk dimakan. Hal ini menunjukkan adanya nilai toleransi dalam makanan yang tersaji. Nilai toleransi ini dalam konteks yang lebih luas, terdapat dalam nilai Pancasila. Bhineka Tunggal Ika, sebagai semboyan bangsa Indonesia bukan hanya sebagai simbol semata. Akan tetapi tercermin dalam setiap perilaku bangsa Indonesia, termasuk kita yang sedang merayakan Idulfitri.

Menjadi Muslim yang sedang merayakan Idulfitri, tidak hanya berbahagia karena sudah melewati waktu yang amat istimewa sehingga dapat merayakan kemenangan. Akan tetapi, perlu senantiasa merefleksikan diri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menjadi Muslim Indonesia harus sadar bahwa posisinya tidak hanya sebagai seorang yang menganut agama Islam, akan tetapi juga sedang berdiri dan berpijak di bumi Indonesia.

Marilah menjadi Muslim yang merangkul bukan memukul, mengajak bukan mengejek, mendidik bukan menghardik serta menjadi contoh sebagai seorang Muslim, sekaligus menjadi bangsa Indonesia. Kesadaran ini akan menjadi sebuah jembatan kepada kita untuk terus merawat bangsa Indonesia dari segala ideologi yang dapat merongrong persatuan dan kesatuan. Wallahu a’lam.

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru