31.2 C
Jakarta

Perpres Ekstremisme dalam Poros Pro-Kontra

Artikel Trending

EditorialPerpres Ekstremisme dalam Poros Pro-Kontra
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Setelah Front Pembela Islam (FPI) bubar secara de jure, dan Surat Keputusan Bersama (SKB) enam menteri mengumumkan mereka sebagai Ormas terlarang, beredar isu bahwa mereka akan berganti nama. Isu tersebut sebagai perlawanan terhadap pemerintah bahwa sampai kapan pun, substansi FPI akan selalu ada di Indonesia, dan pemerintah tidak bisa mencegah spirit keumatan tersebut. Tentu, pemerintah tidak akan diam. Perpres Ekstremisme adalah bukti aktual akan hal itu.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2O21 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah Pada Terorisme (RAN PE) ditandatangani Presiden Jokowi pada 6 Januari 2021 lalu. Sebagai dokumen dinamis (living document) yang dalam pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan fokus, potensi, dan permasalahan setiap kementerian/lembaga, RAN PE atau Perpres Ekstremisme menuai pro dan kontra.

Mengutip BBC Indonesia, sementara pengamat terorisme dan koalisi masyarakat sipil mengatakan bahwa Perpres Ekstremisme tersebut bertendensi disalahgunakan oleh kelompok tertentu, lantaran batasan ekstremisme di Indonesia juga belum jelas. Berdasarkan analisa pengamat, Perpres Ekstremisme bisa memicu konflik horizontal, karena masyarakat dipersilakan untuk melapor ke polisi jika mencurigai adanya individu atau kelompok yang dicurigai sebagai ekstremis.

BNPT pun menampik tudingan itu. Menurutnya, pelibatan masyarakat untuk melapor dilakukan sebagai bentuk deteksi dini agar kelompok-kelompok intoleran tidak membesar. Juru bicara BNPT, Edi Hartono, mencontohkan ciri ekstremisme dengan sikap yang tidak berbaur dalam kegiatan di masyarakat, tertutup, hingga tidak sepakat pada nilai-nilai Pancasila. Ekstremisme tidak dipacu oleh satu Ormas tertentu. Siapa pun yang masuk ke ciri tadi, masyarakat diharapkan partisipasinya untuk melaporkan.

Dalam Perpres itu sendiri, ekstremisme ialah “keyakinan dan atau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme.” Pengamat terorisme, Ridlwan Habib, mengatakan definisi itu multitafsir dan terlalu luas. Menurutnya, definisi yang prematur hanya akan menjadi pelik. Di lapangan nanti, Perpres Ekstremisme justru menjadi alat pengkriminal bagi siapa pun yang kritis terhadap pemerintah.

“Misalnya secara lebih detail, apakah misalnya ekstremis itu orang yang berjanggut panjang dan bercelana cingkrang? Itu kan bisa ditafsirkan macam-macam. Lalu apakah Pemuda Pancasila termasuk ekstremisme? Kalau misalnya ada sebuah pengajian dibubarkan oleh orang tertentu termasuk ekstremisme?” kata Ridlwan Habib seperti dilansir BBC News Indonesia.

Itu dalam kontek poros yang kontra. Pengamat lain yang berada di poros pro justru menganggap Perpres Ekstremisme sebagai manuver antisipasi pemerintah terhadap lahirnya benih-benih ekstremisme yang mengarah kepada terorisme. Editorial kali akan membahas itu. Sebab, jika pro-kontra berkelanjutan, efektivitas Perpres tersebut juga tidak maksimal—akan mengalami banyak hambatan penerapan.

Perpres Ekstremisme sebenarnya tidak seprematur dalam anggapan pihak kontra. Kalau kita amati, justru Perpres tersebut secara spesifik menyebut ekstremisme yang berbasis kekerasan. Itu artinya, pemerintah manyadari bahwa ekstremisme itu kompleks, dan yang ingin mereka konter pergerakannya adalah yang basisnya kekerasan. Salah satu rubrik Milenial Islam kemarin sudah membahas bagian ini. Sweeping, persekusi, itu yang hendak dilawan. Terorisme merupakan puncak ekstremisme.

BACA JUGA  Mencegah Perpecahan Pasca-Pemilu

Dalam pelaksanaan programnya nanti, RAN PE alias Perpres Ekstremisme akan diwujudkan melalui beberapa langkah, meliputi: koordinasi antarkementerian/lembaga, partisipasi dan sinergitas pelaksanaan program pencegahan dan penanggulangan ekstremisme, kapasitas SDA di bidang kontra-ekstremisme, pengawasan, deteksi dini, dan cegah dini terhadap tindakan dan pesan ekstremisme, serta perhatian terhadap para korban tindak pidana Terorisme dan pelindungan infrastruktur.

Jadi yang penting digarisbawahi adalah adanya kekerasan sebagai tolok ukur. Entah itu berasal dari laskar FPI atau lainnya, selama bernuansa kekerasan yang mengarah pada terorisme, itu akan ditindak, dan masyarakat akan dibina untuk memainkan peran mereka. Perpres tersebut tidak bernuansa represi rezim, melainkan edukasi kontra-ekstremisme. Salah satu alasan mengapa Perpres ini perlu adalah: kita akan merasa aman dari kekerasan yang bisa menimpa kita kapan saja dan motif apa saja.

Lalu apakah Perpres Ekstremisme akan rentang disalahgunakan sebagaimana dikhawatirkan pengamat? Penyalahgunaan sesuatu itu bersifat oknum dan tidak bisa dilimpahsalahkan kepada Perpres yang ada. Lahirnya Perpres ini bukan untuk mengekang gerak-gerik masyarakat apalagi membungkam suara mereka. Bersuara tidak diatur dalam Perpres Ekstremisme, karena yang ditekankan pembinaan kepada masyarakat sebagai manifestasi proteksi diri dan sekitar dari ideologi ekstrem.

Artinya, kita tidak perlu khawatir bahwa nanti kritik pada pemerintah itu ludes karena masyarakat jadi saling melaporkan. Tidak semacam itu. Polisi juga bukan langsung menahan terlapor, melainkan mengkajinya terlebih dahulu. Selama ini, Perpres semacam itu tidak ada. Sehingga kekerasan terjadi di berbagai daerah tanpa terdeteksi. Kabar baru terdengar ketika aksi kekerasan terjadi. Sekali lagi, ini sekadar antisipasi dini, agar kita tidak lagi kecolongan menghadapi para pengganggu negeri.

Kendati demikin, poros pro-kontra penting bila fungsinya sebagai kontrol idealisme kebijakan dalam Perpres tersebut. Yang jelas, Perpres Ekstremisme tidak memicu konflik horizontal. Masyarakat tidak akan bertengkar sesame lantaran saling memojokkan. Yang dilarang adalah kekerasan sebagai wujud ekstremisme yang tentu saja itu mengarah pada terorisme. Sementara bersuara untuk pemerintah, itu tidak dilarang. Kita harus membedakan kedua hal tersebut.

Baik yang poros pro maupun kontra, kita harus sepakat bahwa ekstremisme tidak boleh mendapat tempat di NKRI, juga optimis bahwa Perpres Ekstremisme akan benar-benar melenyapkan aksi-aksi kekerasan. Mau oleh Ormas manapun pemerintah berhak untuk mengadili mereka. Jadi, Sahabat Pembaca Harakatuna, kalian masuk yang pro atau kontra perihal Perpres tersebut?

 

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru