31.9 C
Jakarta

Perempuan Kembali Ke Fitrah: Alibi Khilafahisme Mengeksploitasi Perempuan?

Artikel Trending

Milenial IslamPerempuan Kembali Ke Fitrah: Alibi Khilafahisme Mengeksploitasi Perempuan?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Merumuskan nilai kesetaraan manusia, bukan pada kelas sosialnya, melainkan kepada ketakwaan, iman, dan perilaku baiknya. Sebagaimana bunyi ayat Al-Qur’an, “Sesungguhnya yang paling mulia di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa”. Pun Rasulullah mengingatkan, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”.

Maka itu, standar nilai manusia itu mulia atau tidak hanyalah ketakwaan. Salah satu indikator kuat dari takwa adalah wujud sikap baik kepada sesama: istri ke suami atau suami ke istri, termasuk dalam dunia publiknya.

Menurut Nur Rofiah (2020), kesetaraan dan jati diri (nafs) manusia ditentukan oleh ketakwaannya. Dan takwa itu hubungan baik dengan Allah yang melahirkan hubungan baik dengan manusia baik laki-laki perempuan.

Jati diri perempuan sebagai makhluk tidak berbeda dengan jati diri laki-laki sebagai manusia. Keduanya hanya ditentukan sejauh mana kebermanfaatannya atau sejauh mana iman dan tauhid melahirkan perilaku maslahat kepada sesamanya, kelompok, negara, tak terkecuali kepada diri sendiri.

Menistakan Kemanusiaan?

Jika penilain, pengkajian, pemahaman dan pengalaman ajaran agama tetapi menistakan sebuah kemanusiaan itu adalah pelecehan terberat atas nama agama. Tuntunan dan mandat agama Islam selalu berporos pada kemanusiaan yang adil dan beradap. Maka, penting juga menggunakan nalar kritis supaya pendasaran tata nilai berdasarkan hakikat kemanusiaan. Hakikat kemanusiaan menyasar pada akar makna keadilan. Termasuk bagaimana memberi pandangan (nilai) kepada sesama manusia: laki-laki, lebih-lebih perempuan. Termasuk juga kepada orang yang dibenci.

Narasi penilain keadilan hingga kemuliaan yang hierarkis berdasarkan pemahaman manusia, bahkan telah disosialisasikan melalui proses ejawantah nilai-nilai agama dan sosial, dan dengan itu menjadi pembentuk kebenaran publik terhadap tata nilai perempuan dan laki-laki, adalah merupakan kecatatan besar yang harus ditukangi. Sikap manusia yang sering komplisit dalam menilai keperempuanan atau menilai cara perempuan memaknai kepuasan hidupnya harus segera dilawan: dikritisi.

Nah, di sini penting saya kira untuk melihat dan mendiskusikan dunia atau masalah dari kaca mata gander. Agar, dapat memberi oase dalam gelombang pengkajian tentang kegenderan, kesantrian, keulamaan dan keperempuanan di tubuh NU, Fatayat, dan Indonesia sendiri.

Sebab, setiap pengkajian tentang (keulamaan dan kepesantrenan di tubuh NU), gender, perempuan atau nyai terlewatkan bahkan mungkin tidak dianggap penting. Padahal, secara nyata, gender, perempuan atau nyai berada di posisi penting karena gerak dan perannya sungguh signifikan dalam segala lini kehidupan orang-orang NU utamanya pada perempuan Indonesia. Sinta Nuriah dan Alisa Wahid contohnya.

Otoritas Perempuan 

Kepiawaian dalam membangun hubungan harmoni dengan lapisan struktur kehidupan masyarakat, keluarga, juga santri, nyai-nyai ini dapat mensejajarkan atau memantaskan diri untuk mengambil bagian dalam mengangkat derajat kaum perempuan di Indonesia. Berbekal ilmu keagamaan yang mumpuni dan relasi sosial, perempuan menjadi agensi merepresentasikan ulama atau pemimpin kultural di masyarakat Tanah Air.

Maka, bila ada asumsi bahwa jati diri dan kehidupan perempuan Indonesia dianggap sebagai subjek yang terpecah (fragmented), yaitu berjalan di antara nilai-nilai maskulin dan feminim, berada di antara jalur kesadaran dan ketidaksadaran, di antara batas normatif dan konstruktif, secara langsung atau tidak langsung tertolak dengan sendirinya. Sebab, kepemilikan tubuh, kehidupan, tingkahlaku hanyalah milik-kehendak diri perempuan (nyai). Dan, itu bisa dibuktikan dari segala aktivitas sosial keagamaan Sinta Nuriah dan Alisa Wahid (termasuk nyai-nyai lain) dengan komponen masyarakat luas dari hari ke hari.

BACA JUGA  Idul Fitri, Memperkuat Kohesi Sosial dan Penyucian Diri

Relasi Gender

Tak seperti Nur Rofiah, yang menghadirkan perdebatan gender yang selalu dihadapkan-hadapkan antara laki-laki dan perempuan. Subjektivitas kita tak bisa memandang kemanusiaan perempuan dan laki-laki berada di atas sekat-sekat hierarki tidak sejajar dalam legitimasi agama. Tetapi kita bisa melihat dan mengkritisi itu dengan bangunan argumen agama untuk memperkuat asumsi ketidaksejajaran mereka atau sebaliknya.

Menyimak kompleksitas pembahasan gender, masalahnya bukan hanya problem gender, tetapi cara berpikir tentang gender itu sendiri. Interpretasi atas kontruksi kesejajaran laki-laki dan perempuan baik dalam tradisi Barat dan Timur atau masyarakat Muslim adalah tanggung jawab moral kita semua. Tetapi, usaha desiminasi itu perlu diarahkan pada tinjauan bangunan pikiran moderat. Agar, serapan nilai-nilai yang telah “diendapkan” bertranformasi jadi nalar/kritik/reflektif yang dinamik-bijak.

Sebagai usaha mewacanakan relasi kesetaraan laki-laki dan perempuan dan kemanusiaan berkeimanan, tulisan ini paling tidak memiliki satu kepentingan, yaitu komitmen menyuarakan atau mempertanyakan realitas keadilan dalam pandangan Islam. Keinginan memberdayakan perempuan memang harus bisa mengurai benang kusut praktik sosial-budaya-keagamaan yang melemahkan perempuan sebagai fondasi untuk melihat agensi masalahnya. Di sini prosesnya, juga perlu mengubah pandangan mayoritas-otoritas lewat jalan pembacaan teks suci atau logika keagamaan secara maksimal. Karena, hanya itulah jalan tempuh atau paling tidak, itulah teks utama yang dijadikan rujukan praksisnya.

Saya rasa, relasi eksistensial perempuan dan laki-laki sejak awal sudah diperdebatkan. Perdebatan itu biasanya mengacu pada teks-teks ayat penciptaan manusia (Hawa) yang menurut sebagian mufassir hanya sebagai pelengkap daripada laki-laki. Padahal, kalau dilihat dari muaranya, mereka sama-sama dari unsur yang sama: daging, atau nafs wahidah, jiwa yang sejenis. Bahkan tubuh perempuan dan laki-laki adalah sama, sama-sama menjadi tubuh manusia dan oleh karena itu kepemilikannya mutlak hanya milik sendiri atau penciptanya.

Kesalingan: Kembali Ke Fitrah?

Maka, ketika ada penafsiran ayat, “perempuan bisa dipaksa menikah lalu diceraikan sebelum menstruasi pertama (QS. ath-Thalaq [64]:4), dipoligami dengan jumlah istri maksimal empat istri dengan syarat adil dan mendorong monogami (QS. an-Nisa [4]:3), dan perempuan boleh dicerai lalu dirujuk berkali-kali tanpa batas (QS. al-Baqarah [2]:229 membatasi maksimal dua kali yang boleh dirujuk), disinilah kita seperti Rofiah bisa bertanya keras, “siapakah pemilik mutlak tubuh perempuan?’

Mengutip Nur Rofiah, secara tegas di sini kita bisa mengatakan mengatakan, bahwa “laki-laki dilarang menuntut perempuan tunduk mutlak, sebab sebagai sesama hamba Allah, keduanya hanya boleh tunduk kepada Allah. Laki-laki dan perempuan hanya boleh menggunakan tubuhnya dan tubuh orang lain secara bermartabat, yakni diperbolehkan agama (halal), baik (thayyib), dan pantas/layak (ma’ruf). Dengan cara ini, manusia bisa membuat tubuhnya baik dan maslahat pada diri sendiri dan pihak-pihak lain. Tubuh laki-laki dan perempuan, lanjutnya, adalah miliki Allah”.

Sesungguhnya, Islam dan Al-Qur’an telah memberikan contoh konkrit bagaimana mendudukkan relasi perempuan dan laki-laki tanpa mengabaikan pentingnya kebebasan  hak perempuan. Atau, kondisi-kondisi khusus yang dialami perempuan, seperti menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, menyusui dan sebagainya. Cuma, artikulasi Al-Qur’an atau pandangan agama pada kesetaraan itu terabaikan selama berabad-abad, bahkan sampai sekarang.

Maka itu, perumusan kebijakan baik dalam perspektif dan kebijakan otoritas negara harus bersumber pada pengalaman kondisi biologisnya manusia. Ia harus adil, bukan berdasarkan kekuatan, kejantanan, atau jumlah, tetapi pada keadilan yang beradab, setara dan bermaslahat.

Agus Wedi
Agus Wedi
Peminat Kajian Sosial dan Keislaman

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru