33.5 C
Jakarta

Membuka Narasi Damai di Tahun Politik

Artikel Trending

EditorialMembuka Narasi Damai di Tahun Politik
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Gerilya narasi manusia mutakhir ketika melihat kontestasi dinamika kehidupan mungkin tidak jauh-jauh banget dengan empat tipe yang pernah direnungkan Imam Ghazali. Pertama, orang yang tahu tapi ia tidak sadar kalau dirinya tahu. Orang model begini sedang lalai, harus disadarkan.

Kedua, orang yang tidak tahu tapi sadar kalau dirinya tidak tahu. Ini tipe orang bodoh (yang mau belajar), harus diajari. Ketiga, orang yang tahu dan tahu kalau dirinya tahu. Ini tipe orang berakal, harus diikuti.

Keempat, orang tidak tahu tapi tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. Ini tipe orang dungu yang enggan belajar. “Berhati-hatilah terhadapnya!” Demikialah Imam Ghazali menceritakan pola garis kehidupan yang dilakukan manusia dari masa ke masa.

Dari empat tipologi Al-Ghazali dan Imam Ali, kita berada di mana? Sebut saja diri kita masing-masing secara mandiri dan lirih dalam diri. Tapi yang penting bagi kita adalah mengakui: kita patut sadar diri, sadar posisi dan tidak bakhil pada kepemilikan harta/ilmu yang sedang dimiliki.

Sebagaimana Imam Ali, manusia harus mengamalkan segala/bagian-bagian yang dimiliki sejauh kemampuan dan jangkauan kepada orang lain. Dan apabila tidak memiliki (ilmu-harta), maka carilah kepada orang pintar yang punya kewaroan, keikhlasan, dedikasi. Jika tidak mau, berhentilah membuang narasi tidak sedap ke ruang publik. Di samping tidak membuat kotor, juga tidak berdampak miris.

Sebab, apabila narasi kotor terus menggelambung di langit-langit riuh manusia, ia bisa meluas dan menjadi kekisruhan sosial. Kekisruhan atau kerusuhan sosial menjadi salah satu penyebab runtuhnya kohesi sosial.

Penyebab utamanya adalah kebakhilan dan ketidakmauan orang-orang untuk mengerem hasrat dan egoisme otoritas keawamannya. Apalagi hal itu terjelmakan pada konsep dan narasi kepada kitab suci. Sungguh sangat bahaya.

Kodrati manusia sebagai kaum yang diagungkan secara akal, moral, intelektual, dan religiusitasnya dalam menghadapi problem kehidupan-keakhiratan membutuhkan keseimbangan berpikir. Sebab, sebagaimana ungkapan “manusia yang unggul adalah mereka yang mampu memposisikan antara kapan berpikir dengan intelektualnya dan kapan berpikir dengan spiritualnya.”

BACA JUGA  Mawas Diri dari Propaganda Khilafah di Bulan Ramadan

Mengacu pada narasi di atas, suatu kaum yang bodoh cenderung bertindak dengan kebodohannya dan itu berdampak pada kerusakan. Juga, kecerdasan intelektual-spiritual yang terbiarkan mengelana, ia bisa berubah jadi kekuatan yang merusak dan rakus.

Misalnya, limpahan-limpahan pengetahuan dan karunia-karunia yang diberikan semesta sebagai hasil olah pikiran termasuk hasil penelitian dan eksplorasi dan tentu saja meditasi-kontemplasi dapat membuat manusia lupa diri.

Di sinilah moderasi atau keseimbangan kecerdasan diperlukan. Keseimbangan kecerdasan spiritual dan intelektual akan mengawal jiwa, rohani, otak, dan raga manusia agar tidak berubah menjadi makhluk yang rakus, lalim, egois, hedonis, dan menjadi manusia langit.

Jika seseorang terlalu condong ke sisi spiritual, dikhawatirkan ia akan berubah jadi “rahib” menjauhi dunia dengan segala isinya yang Tuhan titipkan pada dunia untuk kebaikan manusia. Tapi jika seseorang terlalu mengagungkan aspek intelektual, ditakutkan ia akan berubah jadi “predator” atas apa saja dari dunia ini yang dinilainya menguntungkan kehidupan materielnya.

Lanjutnya, sekali lagi keseimbangan diperlukan. Jika kecerdasan intelektual mampu membuka tabir semesta sehingga terlihat aneka karunia (sumber daya) untuk kehidupan jasadiah manusia, maka kecerdasan spiritual membukakan mata hati manusia bahwa semua karunia itu milik Allah yang harus didayagunakan dalam rangka mengabdi kepadaNya dan ditasarufkan untuk kemaslahatan seluruh hambaNya, seraya memperhatikan kelestariannya.

Bila demikian terjadi dan menjadi lelaku manusia, sesungguhnya ia telah beragama dan berkehidupan secara dewasa. Dan apabila boleh dikatakan demikian, ia telah menjalankan itu dengan semesta hati yang bening.

Di lembar zaman yang mungkin cair, tapi kebudayaan manusia makin beku, kaku dan kelihatannya manusia tidak lagi memiliki kemampuan otentik untuk memamah fenomena, baik dari sisi intelektual dan spiritual, kita sepantasnya merenung dan menukangi diri.

Kehidupan tidak mengharuskan dikhususkan kepada akhirat, melainkan juga kepada dunia. Sebab, akhirat ditentukan oleh iman dan saleh kehidupan dunia. Kendati, kita (manusia) tidak boleh tenggelam pada materialisme, tidak harus juga membumbung tinggi dalam spiritualisme. Bisa-bisa saja dalam narasi opini dan kehidupan kita.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru