34 C
Jakarta

Perempuan dalam Iklan: Emansipasi atau Komodifikasi?

Artikel Trending

KhazanahPerempuanPerempuan dalam Iklan: Emansipasi atau Komodifikasi?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Media massa tidak terlepas dari penayangan iklan, baik dalam surat kabar, tabloid,  Televisi, Radio ataupun media internet. Iklan akan mudah dijumpai di mana-mana, di jalan raya atau saat scroll internet. Ini menunjukkan betapa iklan telah mewarnai kehidupan manusia abad 21.

Ini selaras dengan pola kehidupan konsumtif yang terjadi di masyarakat, sehingga produsen iklan berlomba-lomba mengambil peluang dalam menawarkan produk mereka. Cara dalam pemasaran barang serta subjek pembawa pesan iklan pun dibuat semenarik mungkin sehingga menggugah konsumen.

Perempuan menjadi subjek penting yang menjadi model dalam iklan. Dalam hal ini kerap terjadi bias gender sekaligus memperkuat sterotipe khas patriarki. Seksualitas perempuan pun dijadikan komoditas. Banyak produk yang sebenarnya tidak berkaitan dengan perempuan namun menampilkan sensualitas perempuan dalam iklannya.

Sebut saja iklan mobil keluaran terbaru, atau barang otomotif lainnya. Jika ditilik, tentu yang lebih banyak membuat barang otomotif ini adalah laki-laki dan hal tersebut menggambarkan bahwa merekalah yang lebih mengetahui tentang  mobil atau sejenis barang otomotif yang diiklankan. Namun, perempuan malah menjadi modelnya, dengan pakaian terbuka lengkap dengan pose sedemikian rupa yang menampilkan sisi daya tariknya.

Pesan simbolik dalam iklan pun beraneka ragam dengan tujuan pemasarannnya. Namun, mengarah pada pembenaran organisasi masyarakat kapitalis-konsumen.  Iklan diproduksi dan direpresentasikan melalui adegan-adegan yang tak lepas dari memanfaatkan perempuan sebagai model pun menjadi sasaran konsumen.

Hal ini dapat dilihat dari produk-produk yang banyak ditawarkan seperti perlengkapan rumah tangga dan alat-alat kecantikan dan pemoles keindahan perempuan. Perempuan digambarkan harus selalu tampil terawat dan cantik dengan standar tinggi, putih, mulus dan seksi. Bermunculanlah iklan handbody, sabun, perawatan wajah, dan produk pemutih lainnya.

Di lain sisi, perempuan yang direpresentasikan dalam iklan menguatkan sterotipe ia yang hanya berada dalam ranah domestik. Ini tergambar dalam adegan-adegan semisal iklan mengepel rumah dalam iklan produk pembersih lantai. Perempuan yang memasak, mencuci pakaian dan perempuan yang melayani segala kebutuhan keluarga dalam rumah.

Adegan-adegan ini diambil dari konstruksi yang sudah diterima umum dalam masyarakat namun tidak terlepas dari bias gender. Karena tugas dalam mengurusi keluarga, rumah tidak hanya perempuan, dan iklan memperkuat sterotipe yang mendudukan laki-laki di wilayah publik dan perempuan pada ranah domestik.

Padahal bisa saja laki-laki ikut membersihkan rumah, mencuci pakaian ataupun memasak. Namun, jarang produsen iklan menjadikan laki-laki model dalam melakukan adegan-adegan tersebut.

Nah, dari sini patut untuk disoroti terkait peran gender yang terbangun di masyarakat maupun yang terepresentasi dalam  iklan. Di dalam Women’s Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat perbedaan (distincion) dalam hal peran, perilaku mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.

BACA JUGA  Membantah Stereotipe: Perempuan, Gender, dan Terorisme di Indonesia dan Pakistan

Perempuan menjadi agen yang termaginalkan, keberadaannya seakan hanya untuk diagendakan dalam ranah-ranah terbatas dan muncul malah sebagai ‘nilai jual’ dari bentuk keindahan tubuhnya, terlebih malah diperkuat dan digembar-gemborkan dalam media massa.

Penulis mencoba menyoroti hal ini dalam kacamata ekonomi kapitalis Marxisme dan Marxisme fundametalis. Dalam ekonomisme (Marxisme klasik), basis ekonomi masyarakat dianggap menentukan apapun dalam superstuktur yang meliputi kesadaran politik, sosial, dan intelaktual. Ekonomi merupakan dasar dari fenomena sosial (disebut juga sebagai teori materialisme atau dalam versi Marxis dikenal sebagai materialisme sejarah).

Media massa menginterpretasikan industri budaya dalam istilah determinasi ekonomi. Sesuai dengan pandangan ini, isi media massa dan makna yang terkandung dalam pesan ditentukan oleh organisasi dimana isi media tersebut dihasilkan. Konsekuensinya, organisasi medis sosial harus memenuhi kebutuhan iklan dan menghasilkan produk yang memaksimalkan  khalayak.

Sedangkan dalam Marxisme fundametalis, ideologi dipandang sebagai kesadaran semu yang merupakan hasil dari emulasi ideologi dominan. Media massa berfungsi menyebarkan ideologi dominan, yaitu nilai-nilai kelas yang memiliki dan mengendalikan media.

Menurut Altusser, ideologi memiliki dua fungsi. Pertama, ideologi merepresentasikan hubungan imajiner antara individu dengan realitas. Kedua, ideologi memiliki eksitensi material. Dalam hal ini, teoritisi Marxis setuju bahwa media memiliki kekuatan ideologi.

Maka, media massa menjadi faktor penting yang mempengaruhi terbentuknya ideologi yang kemudian dipahami dan diterima oleh masyarakat sebagai suatu hal yang lumrah. Memang media massa bukan satu-satunya faktor yang berpengaruh, tetapi media massa telah menjadi agen  sosialisasi yang semakin menentukan karena intensitas masyarakat yang menggunakannya.

Hal ini dapat dilihat dari orientasi produksi media dan kepemilikian modal yang membidik pasar. Bukan hanya berorientasi pada faktor ekonomi saja tapi menyentuh ranah ideologi juga.  Maka, sterotipe perempuan yang bekerja dalam ranah domestik saja semakin diaminkan secara lumrah. Bukan hanya itu, perempuan ikut dilibatkan sebagai sasaran terlebih sebagai objek komodifikasi, seakan nilai perempuan hanya sebatas “daya tarik fisik” sebagai bahan sensualitas belaka.

Dari hal ini, patut untuk disadari bersama khususnya kaum perempuan untuk memahami entitas dirinya dan memahami nilai dirinya sendiri. Terlebih pada kaum laki-laki, bagaimana cara pandang pada perempuan sewajarnya bisa direfleksikan kembali jika sebelumnya lebih dominan menganggapnya sebagai objek sensualitas apalagi dimarginalkan sebagai kaum nomor “dua”.

Dari framing-framing yang beredar di berbagai platform media, tidak lantas langsung mengamini tanpa minat untuk mengkritisi, sebab ada sisipan ideologi tertentu juga disana. Nilai perempuan yang seharusnya lebih dilihat pada wawasan, kedalaman pemahaman, keilmuan pun religiusitas agama layaknya disadari dan di up kembali.

Sebab jika hanya pada fisik belaka, apa bedanya dia dengan barang yang sekedar ada sebagai penghibur dan pemanis, setelahnya tiada guna. Jadikan ia partner yang tak ternilai harganya bukan malah dijadikan objek komoditas semata.

Nur Aisyah
Nur Aisyah
Mahasiswi Program Pascasarjana Konsentrasi Psikologi Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru