27.2 C
Jakarta

“Pembajak Otoritas Tuhan” yang Semakin Marak

Artikel Trending

KhazanahTelaah"Pembajak Otoritas Tuhan" yang Semakin Marak
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Sekelompok perempuan yang tidak berjilbab, memakai pakaian seksi, ketika melihat sekelompok perempuan lain yang berangkat ke masjid untuk mengikuti masjid ta’lim, terdengar suara celetukan “subhanallah, semoga Allah memuliakan perjalanannya dengan amat sempurna”, dan berdoa untuk dirinya yang masih berpakaian seperti pada saat itu agar segera mendapat hidayah. Sedang ketika kelompok perempuan majelis ta’lim ketika melihat kelompok perempuan yang memakai baju seksi, dengan sebuah rokok ditangannya, justru dicaci maki, dituduh perempuan tidak baik dan segala macam.

Berdasarkan contoh diatas? Bagaimana sejatinya kita melihat hati seseorang? Bagaimana sejatinya kita harus memandang sesuatu? Contoh sederhana ini penulis kutip dari potongan ceramah Gus Miftah yang sempat viral dan dijadikan rujukan anak muda untuk tidak terlalu gegabah dalam menilai sesuatu, tidak memandang sesuatu hanya dari visul semata, bahkan perbuatan mencaci maki, menuduh, itu jauh dari anjuran agama Islam.

Namun, yang terjadi adalah fenomena belakangan ini, masyarakat kita sangat keras dalam menyikapi ekspresi keberagamaan seseorang, kemudian dikaitkan dengan tingkat kesalehan yang ada pada dirinya. Persoalan perbedaan pendapat, misalnya. Pendapat dirinya adalah benar, dan Kebenaran yang ada pada dirinya itulah haruslah diterima oleh semua orang. Padahal setiap orang memiliki sudut pandangan berbeda dalam menyikapi sesuatu.

Tak jarang persoalan ini memunculkan masalah baru di tengah-tengah masyarakat, terjadi perpecahan, tak jarang juga konflik keretakan sosial dikarenakan persoalan yang kecil dari perbedaan yang timbul tersebut. Padahal perbedaan ini adalah bentuk keniscayaan dari Allah. Hal ini sudah tercantum jelas dalam Al-Quran surah Al-Maidah ayat 48

Artinya:

…Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat, tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (QS. al-Mā`idah: 48).

Tuduhan kafir, Musyrik kerap muncul ditelinga kita

Baru-baru ini terlihat sebuah ormas Laskar Khusus Umat Islam membubarkan sebuah acara seni dan membubarkan kerumunan warga. Aksi pembubaran tersebut dilakukan lantaran warga menggelar tarian-tarian yang diiringi dengan musik dan biasa menjadi hiburan bagi warga dan masyarakat sekitar. Seorang perempuan yang menjelaskan hal tersebut justru diludahi oleh salah satu bagian dari ormas  itu.

BACA JUGA  Melihat Gerakan Perempuan Akar Rumput dalam Upaya Pencegahan Radikalisme

Ormas tersebut justru menuduh apa yang dilakukan oleh warga adalah bentuk kesyirikan, menyekutan Allah bahlan tuduhan musyrik dll disematkan oleh mereka. Apakah aksi ini dibenarkan secara sosial dan agama?

Barangkali kelompok ini sedang meniru Nabi Ibrahim AS dimasa silam yang menghancurkan seluruh patung-patung berhala, yang biasa disembah oleh kaumnya. Tapi, kita saat ini sedang tidak hidup di zaman Nabi Ibrahim, dan sudah jelas alasan acara tersebut digelar hanya untuk hiburan masyarakat saja. Sah-sah saja dilakukan.

Jika yang dilakukan oleh warga tersebut dituduh kafir dan syirik, justru sebaiknya mereka membubarkan ritual keagamaan agama lain yang jelas sangat berbeda dengan agama Islam. Belum lagi alasan warga sudah jelas, hanya untuk hiburan semata. Bahkan, jikapun mereka melakukan untuk penyembahan kepada Tuhan, tidak sepantasnya ormas tersebut melakukan aksi memalukan itu.

Ukuran musyrik dan kafir kita gampang sekali mengemukakannya pada orang yang tidak sama dengan kita. Padahal, kita sendiri tidak tahu, apakah keberagamaan yang kita tampilkan adalah bentuk sebanar-benarnya beragama? Jika ia demikian, siapa yang bisa menjamin? Tidak ada, hanya Allah yang Maha Tahu.

Sejalan dengan itu, klaim kebenaran tersebut disebut tidak hanya membajak otoritas Tuhan, akan tetapi bisa kembali pada dirinya sendiri:”Barang siapa mengafirkan orang lain, ia sendiri menjadi kafir.” Tuhan Maha Luas ilmu-Nya. Jika ada orang yang mengklain kebenaran sembari menuduh salah dan sesat pihak lain, bukankah itu berarti sama dengan mengklaim dirinya mengalami apa yang dialami oleh Tuhan dan menempati posisi Tuhan? (Aksin Wijaya: 2020)

Lagipula, negara ini menjamin kebebasan memeluk agama bagi warga negaranya, jadi bukanlah mustahil ketika setiap orang berbeda dalam menunjukkan ekspresi keberagamaannya. Tugas kita adalah memberi ruang aman bagi orang lain untuk menjalankan ritual sesuai dengan agama yang dianut dan wajib menghormati. Wallahu a’lam

Muallifah
Muallifah
Aktivis perempuan. Bisa disapa melalui Instagram @muallifah_ifa

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru