Harakatuna.com – Adalah sesuatu yang pasti, bahwa hari ini, para petinggi PA 212 lagi pusing tujuh keliling. Mereka banyak pikiran. Ibarat seseorang yang sudah tak lagi punya kekuatan, mereka masih memaksakan diri bergurau dengan Islam. Sekarang sudah tidak ada Habib Rizieq, pucuk paling berpengaruh dalam hierarki imamah FPI. Bahkan para pecinta Habib Rizieq pun mungkin akan berpikir dua kali: kalau sudah tak ada Imam Besar, untuk apa ikut Reuni 212 yang tak berguna?
Baik. Kita harus perjelas di awal. Mereka bukan representasi umat Islam. Meminjam pendekatan ideologis yang dijelaskan oleh Markham dan Abu-Rabi’, mereka adalah oposisi. Ada dua kategori dalam pendekatan ideologis: Islam mainstream di satu sisi, dan Islam opposition—atau juga disebut Islamisme—di sisi lainnya. Islam oposisi ialah bagaimana non-elit memahami agama, termasuk apresiasi populer terhadap keyakinan. PA 212 masuk di sini.
Namun demikian, PA 212 bukan struktur mobilisasi yang monolitis. Di belakangnya, ada FPI yang menjadi komoditas kekuatan mereka. Maka ketika perizinan aksi dari Polda Metro Jaya tidak juga turun, dan Wagub DKI Ahmad Riza Patria juga tidak bisa berbuat banyak, termasuk Gubernur Anies Baswedan yang dekat dengan mereka bersikap yang sama, pengurus PA 212 memutuskan reuni dipindah ke Pesantren Azzikra, Gunung Sindur, Bogor.
Bogor memang jadi basis teritori FPI, dulunya. Tidak heran lokasi tersebut mereka pilih: tanpa FPI, PA 212 tak ada. Tetapi masalahnya, tanpa Habib Rizieq, imamah FPI melemah. Jadi sebenarnya siasat PA 212 untuk menggaet massa juga tidak berpengaruh banyak. Para petingginya tidak punya kekuatan. Sandaran mereka juga sedang melemah. Izin pada mereka tidak kunjung turun. Waktu aksi sudah dekat. Bagaimana mungkin mereka bisa tidur nyenyak?
Sementara, politisasi Islam tetap akan mereka mainkan. Maka ada satu cara, dan ini satu-satunya cara, yang bisa kita terka, dan pasti mereka lakukan: nanti di dalam acara reuni, Habib Rizieq akan diseret-seret sebagai simbol teraniaya oleh rezim. Nanti di acara, para orator akan menjejali massa tentang heroisme Habib Rizieq yang dianggapnya kini tengah mendekam di penjara atas nama perjuangan Islam. FPI dan Habib Rizieq akan mereka jadikan stimulus politisasi Islam.
Apa Manfaat Reuni 212?
Di sini kemudian lahir pertanyaan dari pikiran-pikiran yang masih waras: apa gunanya reuni 212? Apa yang mereka inginkan dari acara-acaranya yang memaksa di tengah banyak kendala? Dilakukan setiap tahun tanpa tujuan politis adalah ketidakmungkinan. Label “Aksi Super Damai” sendiri berkonotasi pada anggapan bahwa aksi mereka cenderung tidak damai, sehingga membutuhkan penegasan. Tetapi damai atau tidak, memang apa manfaatnya?
Mungkin, tujuan mereka adalah mobilisasi massa, untuk menunjukkan pada pemerintah bahwa umat Islam sangat solid yang jika pemerintah macam-macam, mereka akan kena getahnya. Tetapi politik semacam ini terlalu kuno. Pemerintah hari ini bukan pemerintahan SBY yang tidak berani menghadapi politik populisme. People power, istilah yang sama usangnya, tidak lagi efektif untuk menghadirkan simpat Muslim dengan dalih ketertindasan.
Lebih-lebih jika Reuni 212 diproyeksikan sebagai ajang solidaritas umat Islam, maka solidaritas tersebut menguat hanya apabila ada musuh bersama, atau kasus yang menyakiti sementara umat seperti kasus Al-Maidah [5]: 51. Waktu itu mobilisasi ratusan ribu orang ke Monas sangatlah tidak sulit. Selain birokrasi perizinan yang memungkinkan, peluang politik mobilisasi itu sendiri masih sangat kuat. Habib Rizieq juga ahli menggalang solidaritas umat.
Namun manfaat Reuni 212 semakin kabur setelah imamah FPI kehilangan taringnya. Imamah itu sendiri melemah setelah dinamika politik internal FPI. Misalnya, dugaan kasus pornografi yang menjerat Habib Rizieq. Lemahnya imamah tersebut mengejawantah pada dua hal: tercerabutnya militansi struktural FPI dan turunnya integritas Habib Rizieq. Bahkan sekarang, penentangan atas Reuni 212 bisa berasal dari orang yang dulunya pernah ikut aksi.
Jadi setelah kasus-kasus penistaan sudah selesai, ormas sudah bubar, polarisasi politik sudah reda, dan sang imam sudah tidak ikut aksi, apa gunanya reuni? Mau mengelabui umat Islam dengan politik identitas atau mau sebar fitnah tentang pemimpin yang sah? Atas semua lagu lama itu, masyarakat sudah muak.
Masyarakat Sudah Muak
Besok lusa, sudah dipastikan yang hadir ke Reuni 212 tidak seberapa. Para aktornya tidak lagi punya kesempatan untuk membingkai, sebagaimana dilakukan sata aksi di Monas tahun-tahun yang lalu, bahwa ada jutaan umat Islam dan malaikat yang hadir ke lokasi. Paling-paling menjadi acara tahlil biasa, karena Pesantren Azzikra tengah berkabung atas wafatnya putra alm KH. Arifin Ilham, Ameer Azzikra, dini hari kemarin.
Masyarakat sudah lelah dengan politisasi Islam semacam itu. Sudah tidak laku. Masyarakat tidak segelap 2016 lalu ketika mereka naik daun. Singkatnya, pengurus PA 212 hari ini hanya mengais sisa-sisa kekuatan politisasi Islam tahun-tahun sebelumnya. Mereka menggunakan Pesantren Azzikra karena punya daya tawar yang dapat memancing orang hadir ke sana, karena menyadari bahwa kekuatan imamah Habib Rizieq sudah layu.
Atas semua hal itu, sebenarnya jika bersedia jujur, PA 212 pasti merasa rugi dengan reuni ini, kecuali karena ingin mempertahankan formalitas. Para donatur mereka tidak seroyal dulu, para aktivis mereka sudah tidak siap batu.
Sementara, masyarakat sendiri sudah bisa memilah yang murni untuk kemaslahatan Islam atau yang sekadar pinjam nama. Satu yang pasti menjadi uneg-uneg para petinggi PA 212, setelah melihat ketidakberdayaan siasatnya, “Masih perlukan PA 212 digelar tahun depan?”
Bersamaan dengan pikiran gundah yang menyelimuti mereka, mereka tetap berharap Habib Rizieq bebas dan mereka bisa kembali seberjaya dulu. Sungguh mimpi di siang bolong.
Wallahu A’lam bi ash-Shawab…