31.9 C
Jakarta

Moderasi Beragama Itu Alternatif Deradikalisasi, Kok Bisa?

Artikel Trending

KhazanahPerspektifModerasi Beragama Itu Alternatif Deradikalisasi, Kok Bisa?
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Reformasi yang ditandai dengan terbukanya kran kebebasan di segala lini, sejak awal turut dianggap sebagai titik merebaknya praktik radikalisme umat beragama. Iklim demokratisasi yang menyertai Reformasi banyak dimanfaatkan umat beragama untuk berlomba-lomba mengekspresikan kecintaannya atas agama dalam ragam bentuk: terorisme, politik syariat, perlawanan terhadap liberalisme Islam, gerakan 212, hingga tumbuh suburnya hate speech atas nama agama.

Melihat serangkaian kasus tersebut, betapapun mengesankannya pencapaian elektoral Indonesia, transisi dari otoritarianisme rezim Orde Baru menuju demokrasi Reformasi telah dirusak oleh cara keberagamaan yang radikal, sehingga dapat mendiskreditkan klaim apa pun atas teladan demokrasi.

Sebagai bentuk ikhtiar, pemerintah Indonesia merumuskan program deradikalisasi baik dengan pendekatan hard maupun soft power. Pada hard power pemerintah membentuk Detasemen Khusus 88 serta mengeluarkan undang-undang pembubaran ormas radikal melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Adapun soft power ditandai dengan berdirinya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Densus 88 dan Pembubaran Ormas Radikal oleh Kemenkumham

Lewat program deradikalisasinya, Kepolisian Republik Indonesia melalui Densus 88 mendapat apresiasi dari banyak pihak. Terlepas dari segala pencapaiannya untuk mengeksekusi para teroris, ia juga dianggap berhasil membongkar jaringan teroris utama di Poso (2007).

Bahkan pencapaian yang baik ini masih berlanjut di tahun-tahun berikutnya. Pendekatan keras (hard power) di bawah bendera penegakan hukum Densus 88 memang menghasilkan kondisi yang relatif aman dari serangan teroris besar, dibanding pada awal 2000.

Adapun pembubaran ormas radikal, meski tidak melibatkan kekuatan fisik tetap ditempatkan sebagai hard power karena dalam proses pembubarannya melibatkan penggunaan kekuasaan negara, di mana Presiden menandatangani Perppu nomor 2 tahun 2017 sebagai peraturan pengganti Undang-Undang nomor 17 tahun 2013 tentang ‘Organisasi Kemasyarakatan’.

Pada poinnya Perppu tersebut memberi kewenangan terhadap Kemenkumham untuk melakukan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum kepada ormas yang terindikasi menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran (paham) yang bertentangan dengan Pancasila.

Perppu ini turut menghapuskan syarat putusan pengadilan untuk membubarkan ormas, sebagaimana yang tercantum dalam pasal 68 Undang-Undang Ormas tahun 2013. Artinya, dalam hal ini pemerintah tidak lagi memerlukan pengadilan untuk membubarkan ormas, melainkan cukup dilakukan oleh Kemenkumham.

Sasaran utama dari Undang-Undang ini jelas; HTI yang dibubarkan pada Oktober 2017. Sementara HTI ditargetkan melalui jalur hukum, kekuasaan FPI melemah secara signifikan ketika para pemimpinnya—terutama Rizieq Shihab—dijerat dengan tuntutan pidana.

BNPT

Pada prinsipnya, dalam upaya penanggulangan terorisme, BNPT berusaha menggabungkan antara hard dan soft power. Dapat dilihat dari tiga divisi yang dibawahi, yaitu operasi, bertugas melakukan pemantauan dan penangkapan; intelijen, melakukan pencegahan dan perlindungan (deradikalisasi); kerjasama internasional. Meski demikian, soft power tetap menjadi dimensi yang berusaha dieksplor lebih jauh oleh BNPT.

Bahkan divisi operasi yang merupakan pendekatan hard power, oleh BNPT tetap dibebankan kepada Densus 88. Pada 2012 BNPT memunculkan gagasan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) yang ditempatkan pada tingkat provinsi dengan keanggotaan: ulama, karang taruna, akademisi, dan tokoh masyarakat sipil.

Setiap FKPT didorong agar menyelenggarakan dialog pencegahan terorisme dengan peserta yang mewakili kelompok moderat dan radikal, serta lembaga keagamaan seperti MUI cabang setempat. Peserta dialog umumnya membahas konsep umum radikalisme dan terorisme, demikian juga kemungkinan solusinya.

BACA JUGA  Menjadikan Ruang Maya sebagai Ajang Politik Damai

Moderasi Beragama

Strategi pemerintah untuk melakukan counter atas radikalisme melalui Densus 88, BNPT, maupun Kemenkumham, dinilai masih belum cukup maksimal. Pasalnya, hard power oleh Densus 88 dan Kemenkumham dapat menimbulkan reaksi balik yang lebih keras dan kritik internasional terkait Hak Asasi Manusia.

Di samping itu, kampanye nasional deradikalisasi dan anti-terorisme yang berfokus pada langkah-langkah ad-hoc dan bersifat operasional dianggap tidak punya kerangka yang jelas akan keseluruhan strategi yang patut diterapkan. Jika-pun dinilai sukses, boleh jadi pencapaian yang ada bukan berarti terus melenyapkan kelompok-kelompok radikal-terorisme, melainkan karena mereka menyusup ke bawah tanah dan mulai mengalihkan target sembari mengonsolidasikan kembali kekuatannya.

Ken Ward mengatakan bahwa setelah pemerintah mempunyai prioritas tinggi untuk memerangi mereka, yang paling mungkin dilakukan para jihadis dalam waktu dekat adalah kembali pada dakwah untuk menyebarkan ideologi mereka secara damai.

Strategi soft power di bawah naungan BNPT juga dianggap belum mampu memenuhi ekspektasi. Diskusi FKPT memiliki beberapa kelemahan. Pertama, kemungkinan kecil bagi para ekstremis bersedia untuk berkomitmen ambil bagian. Kedua, diskusi elitis FKPT bukanlah format terbaik untuk melawan narasi ekstremis, karena sementara banyak orang bersedia mengambil sikap melawan terorisme secara abstrak, sama sekali tidak jelas apakah para pemimpin agama moderat bersedia menghadapi ulama ekstremis di komunitas mereka sendiri.

Apalagi FKPT belum memberikan panduan taktis dan strategi dalam menghadapi kelompok ekstremis. Tanpa strategi lokal yang ditargetkan untuk mengidentifikasi bidang, lembaga atau kelompok yang bermasalah; dan menentukan komunitas mana yang rentan terhadap perekrutan, serta mengidentifikasi siapa yang mungkin memiliki legitimasi dalam melawan pesan-pesan ekstremis, model FKPT tidak lebih dari sekadar pemandu sorak untuk persatuan Indonesia.

Hadirnya diskursus moderasi beragama (2019) oleh Kemenag dapat dilihat sebagai kelanjutan dari kerangka besar kebijakan soft power kampanye pencegahan radikal-ekstremisme, yang artinya, moderasi beragama memiliki irisan dengan program-program deradikalisasi yang telah dilakukan pemerintah, bahkan menjadi pelengkap atas pendekatan yang telah ada.

Kelahirannya berdasar pada argumentasi bahwa ragam konflik berlatar agama seringkali disulut sikap saling menyalahkan tafsir dan paham keagamaan orang lain. Konflik yang dilatari perbedaan penafsiran serta klaim kebenaran semacam ini memiliki daya rusak lebih kuat, karena watak agama yang mampu menyentuh emosi terdalam manusia.

Dengan strategi yang lebih lembut; mengajak agama-agama untuk melihat dan menyadari akan pentingnya keberagamaan yang moderat, moderasi beragama diyakini mampu menyentuh keseluruhan wacana, ideologi, dan aktivitas penyemaian jaringan radikal-ekstremisme.

Kerja moderasi beragama, sebagai sebuah soft approach yang secara prinsip berusaha menjadi penengah, perangkul, dan pengayom digadang-gadang menjadi satu upaya yang tepat.

Pemerintah menetapkan sebagai program nasional, melalui Peraturan Presiden (Perpres) nomor 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 yang dikeluarkan pada 17 Januari 2020, moderasi beragama ditempatkan sebagai salah satu arah kebijakan untuk mewujudkan prioritas keempat; Revolusi Mental dan pembangunan kebudayaan, dengan program prioritas ‘Memperkuat Moderasi Beragama untuk Mengukuhkan Toleransi, Kerukunan dan Harmoni Sosial’.

Nur Anis Rochmawati
Nur Anis Rochmawati
Mahasiswi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Minat kajian Islam Nusantara.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru