32.3 C
Jakarta

Memasifkan Batik sebagai Simbol Cinta Negara

Artikel Trending

Milenial IslamMemasifkan Batik sebagai Simbol Cinta Negara
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Para mahasiswa lalu-lalang menggunakan batik jadi pemandangan menakjubkan di sekitar UIN Jakarta, Senin (2/10) kemarin. Saya baru ingat bahwa mereka tengah memperingati hari batik nasional. Bagi sementara kalangan yang enggan berbatik, boleh jadi itu dianggap pakaian aneh—karena motifnya. Namun bagi orang dengan semangat nasionalisme, batik justru merupakan identitas kebangsaan dan simbol cinta negara.

Batik, seni tradisional Indonesia yang terkenal, tidak sekadar kain warna-warni. Ia adalah warisan budaya yang memperkaya identitas Indonesia. Batik juga tidak hanya pakaian tradisional belaka, melainkan juga simbol kebanggaan, cinta negara, dan penguatan identitas keindonesiaan. Apakah dengan batik seseorang akan terjamin cinta Indonesia dan bangga dengan identitas kebangsaannya? Tidak juga.

Boleh jadi seseorang yang punya suatu kepentingan akan menggunakan batik. Misalnya, sebagai jurus mengelabui, seperti yang kerap dilakukan oknum tertentu. Namun demikian, idealnya, mereka yang menggunakan batik pasti bangga dengan batik itu sendiri; bangga dengan identitasnya sebagai masyarakat Indonesia, dan cinta tanah air yang diekspresikan dengan cinta lokalitas. Sebab, batik adalah pakaian genuine Nusantara.

Kilas Sejarah

Batik memiliki sejarah panjang di Indonesia. Pakaian ini bahkan telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno. Batik dipandang sebagai seni rupa untuk mencerminkan keahlian dan keindahan yang telah dilestarikan nenek moyang. Artinya, batik di Indonesia merupakan sebuah karya seni yang ditenun oleh sejarah dan budaya. Sama halnya dengan jubah atau gamis di Arab, yang punya sejarah sosialnya sendiri.

Di balik setiap pola yang indah dan warna yang memikat, batik Indonesia menyimpan kisah mendalam tentang keberagaman, keindahan, dan kekayaan budaya negara ini. Sebagai salah satu seni tekstil tertua di dunia, seperti disarikan dari sebuah literatur, batik telah melibatkan para perajin dengan ketelatenan dan dedikasi luar biasa, menciptakan warisan budaya yang tak ternilai harganya. Ia menjadi pakaian khas Indonesia.

Sejarah batik di Indonesia dapat ditelusuri hingga lebih dari seribu tahun lalu. Di masa lalu, batik digunakan keluarga kerajaan dan bangsawan sebagai simbol status sosial dan kekayaan. Setiap motif dan warna memiliki makna mendalam, mencerminkan budaya, kepercayaan, dan nilai-nilai masyarakat di zamannya. Tidak seperti sekarang, dulu batik adalah apakai eksklusif pemilik strata sosial tinggi.

Menariknya, pada masa penjajahan, batik mengalami perkembangan pesat. Permintaan dari pasar Eropa mendorong para perajin untuk berinovasi. Motif bunga yang cerah dan corak yang rumit muncul, menciptakan apa yang sekarang dikenal sebagai batik pesisiran. Dan kendati memenuhi selera Eropa, batik tetap mempertahankan keasliannya, menciptakan harmoni antara tradisi dan adaptasi.

BACA JUGA  Maraknya Konten Ekstrem-Radikal di Media Digital yang Wajib Dimatikan

Di era kemerdekaan, batik terus berkembang sebagai simbol nasionalisme, lalu mendapat pengakuan UNESCO sekitar satu dekade lalu, membuatnya bersinar di panggung internasional. Pengakuan ini adalah bukti keunikan batik Indonesia dan kontribusinya terhadap kekayaan budaya dunia. Namun, di era sekarang, apakah batik menujukkan tanda-tanda degradasi dan kehilangan minat? Ternyata tidak.

Kini, justru ia menjadi penggalian identitas dan kreativitas. Teknik tradisional bertemu dengan inovasi modern, menciptakan karya seni integratif: keindahan masa lalu vis-à-vis kreativitas masa kini. Batik mengejawantah sebagai platform ekspresi identitas pluralitas kultural Indonesia. Tantangannya hanya satu, yaitu bagaimana batik tidak hanya jadi identitas seremonial, tetapi benar-benar representasi cinta tanah air.

Cinta Tanah Air

Di Indonesia, batik telah jadi salah satu lambang identitas nasionalisme. Ia menguatkan kesejahteraan, kesatuan, dan pluralitas melalui sejumlah hal. Dalam aspek ekonomi kreatif, misalnya. Industri batik memiliki dampak ekonomi signifikan. Ribuan perajin batik mendapat penghasilan dari seni mereka, menjadikan batik sebagai sumber mata pencaharian krusial dan support system ekonomi kreatif di negara ini.

Selain itu, batik menjadi diplomasi kultural. Sebagai contoh, di kantor-kantor Kedubes RI di berbagai negara, batik menjadi pengenal dan strategi diplomasi. Beberapa pejabat luar negeri yang dating ke Indonesia juga dipakaikan batik, seperti pada G20 kemarin. Artinya, batik jadi hadiah diplomatis, menggambarkan keramahan dan kekayaan budaya. Penerimaan positif terhadap batik di tingkat internasional menguatkan citra Indonesia itu sendiri.

Dalam memakai dan mempromosikan batik, masyarakat Indonesia merayakan kekhasan warisan budaya dan memperkuat identitas keindonesiaan. Dengan motifnya yang indah nan unik, batik terus memperkukuh cinta negara dan kebanggaan bersama sebagai warga negara Indonesia. Kendati batik bukan satu-satunya sarana pembuktian cinta kita pada tanah air, ia merupakan yang paling mudah dan representatif.

Apakah batik lebih mulia daripada jubah atau gamis ala Arab, misalnya? Ini pertanyaan yang tidak penting. Yang perlu dimasifkan adalah kecintaan pada tanah air, terlepas dari apa pun pakaiannya.

Kendati begitu, jangan sampai masyarakat Indonesia kehilangan kebanggaan dengan identitasnya sendiri dan memilih bangga dengan identitas kearaban seperti jubah. Apalagi jika identik sebagai pakaian teroris. Dikhawatirkan ia juga akan terseret kecintaan pada ideologi yang anti-tanah air, yakni ideologi transnasional. Dengan demikian, memakai batik mesti jadi simbol cinta NKRI dan bangga dengan keindonesiaan secara kāffah.

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru