34.8 C
Jakarta

Mewaspadai Radikalisme di Dunia Pendidikan

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMewaspadai Radikalisme di Dunia Pendidikan
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Judul: Pendidikan dan Radikalisme, Penulis: Mun’im Sirry, Penerbit: Suka Press, Cetakan: I, 2023, Tebal: 427 Halaman, ISBN: 978-623-7816-70-6, Peresensi: Senata Adi Prasetia.

Harakatuna.com – Beberapa tahun terakhir ini, kita tengah menyaksikan meningkatnya kekhawatiran masyarakat terhadap dunia pendidikan sebagai sasaran empuk dan strategis bagi perekrutan agen-agen kelompok teroris dan ekstremis sekaligus sarang penyebaran paham radikal serta tempat terpenting bagi upaya preventif penanggulangan radikalisme.

Dalam buku ini, Mun’im Sirry menguak secara mendalam bagaimana proses sedari awal keterlibatan anak muda dalam jejaring kelompok radikal, hingga apa yang melatarinya.

Dengan berbasis penelitian empiris, Sirry bersama sejumlah peneliti dari Universitas Airlangga (UNAIR) meneliti tujuh PTN yang dinyatakan BNPT telah terpapar paham radikal, yaitu IPB, ITS, UI, Unair, Undip, dan UB Malang dengan total responden sebanyak 700 mahasiswa/i. Selain itu, Sirry juga menyasar kalangan remaja SMA pada lembaga pendidikan di Jawa Timur.

Menurut Sirry, ada banyak faktor yang berkelindan yang menyebabkan seseorang terpapar radikalisasi, di antaranya jejaring sosial dan lingkup pertemanan. Tanpa mengecilkan peran penting guru di sekolah, menurutnya, tampaknya jejaring sosial di kalangan pelajar SMA berdampak besar terhadap sikap dan pandangan mereka tentang keragaman budaya.

Dengan mempertimbangkan fenomena ini, kita akan paham bahwa proses pembentukan identitas, cara pandang berikut perilakunya berlangsung kompleks, karena tidak hanya melibatkan guru dan lingkungan sekolah saja.

Temuan Sirry mengungkapkan bahwa selain, peran guru di sekolah, ternyata pelajar SMA ini juga terdapat kecenderungan menemukan sosok “guru” di luar lingkungan sekolah yang dianggap otoritatif/ panutan dalam menjalani kehidupan personal dan sosial mereka. Fenomena ini menandai sekaligus mempertegas bahwa telah terjadi pergeseran otoritas agama (shifting religious authority) dan diversitas atasnya.

Keterpaparan radikalisme di kalangan muda terpelajar di era kontemporer ini semakin tak terelakkan. Masifnya internet telah memunculkan sekaligus mengonstruk pola keberagamaan baru di kalangan remaja.

Setidaknya, menurut Sirry, ada satu konsensus yang telah disepakati di kalangan sarjana bahwa radikalisme agama tidak muncul begitu dan diterima begitu saja (taken for granted), melainkan bermetamorfosis sedemikian lama.

Penelitian Sirry yang dilakukan di tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) mengungkapkan bahwa kalangan muda terpelajar radikal ini aktif berpartisipasi dalam kelompok-kelompok studi agama, menyatakan simpati pada sistem kekhalifahan dan mendukung saudara-saudara mereka untuk berangkat ke Suriah dan bergabung dengan ISIS.

Di Institut Pertanian Bogor (IPB), misalnya, sejumlah informan menyatakan bahwa di masjid-masjid setempat, mereka biasanya memanjatkan doa bagi saudara-saudara mereka yang berada di Suriah dan bergabung dengan ISIS. Mereka yang berangkat ke medan perang, dianggap sebagai jihadis, pemberani, bermartabat dan membela kemuliaan Islam.

Dari 700 mahasiswa/i yang berpartisipasi dalam studi yang dilakukan Mun’im Sirry, 85% mengakui mulai mengenal pemikiran radikal ketika masuk kuliah, dan hanya 15% yang mengatakan sudah terekspos radikalisme sejak SMA.

Jadi, kalangan anak muda radikal, dalam pandangan Sirry, bisa disebut “radikal ogah-ogahan” karena mereka tidak sepenuhnya mendukung radikalisme, alias masih ragu-ragu atau setengah-setengah, dan keterlibatan mereka dalam kelompok radikal tidak didasari oleh keyakinan agama yang ekstrem.

BACA JUGA  Menyegarkan Keberislaman Kita untuk Menjawab Tantangan Zaman

Sebagai buktinya, Erna (23 tahun) seorang mahasiswi Universitas Airlangga (UNAIR), menjelaskan keterlibatannya dalam organisasi kemahasiswaan di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) yang sebagian besar beranggotakan kader-kader HTI. “Dari awal, saya sudah tidak nyaman dengan kegiatan mereka”, tutur Erna.

Erna, sebagaimana dikutip Sirry, menjelaskan bahwa sulit membantah argumen-argumen para ustadz HTI, karena minimnya pengetahuan agama yang memadai di kalangan mahasiswa, “sangat sedikit sekali yang berani menentang propaganda ini. Pada dasarnya, setiap orang hanya bisa menerima saja karena tidak ada yang bisa memberikan alternatif penjelasan tandingannya”, ucap Erna.

Pertanyaan berikutnya, apa yang melandasi atau memotivasi mereka sehingga ikut dalam kegiatan-kegiatan radikal? Temuan Sirry menunjukkan bahwa motivasi untuk masuk surga relatif sangat rendah, sebanyak 3,6%.

Beberapa alasan mengapa minimnya motivasi tersebut di antaranya; pertama, pandangan terkait “perjuangan aspirasi umat Islam” (dengan klaim Islam sebagai agama yang paling benar, membela Muslim yang marginal, dan semacamnya) mungkin, dengan sendirinya menjadi jalan menuju surga.

Kedua, gerakan radikal di kalangan muda terpelajar tidak didasarkan atas sebongkah keyakinan apokaliptik, semisal yang diyakini anggota ISIS yang mencitrakan organisasinya sebagai “gerakan keselamatan”.

Ketiga, perjuangan kalangan muda radikal ini tidak bertujuan untuk mengakhiri hidup dengan mati syahid. Mereka cukup sadar bahwa mereka masih muda untuk harus mengakhiri hidupnya sedini mungkin dan bercita-cita setinggi langit meraih mimpi-mimpinya.

Dalam konteks ini, Sirry menggarisbawahi bahwa ada paradigma yang kuat di antara para responden bahwa Muslim secara umum tidak begitu paham dan mempraktikkan apa yang mereka anggap sebagai “Islam yang sejati”. Dengan kata lain, ketertinggalan umat Islam tidak disebabkan oleh agama Islam itu sendiri, melainkan karena fakta bahwa ajaran Islam tidak dipraktikkan sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya.

Simplifikasinya, di kalangan muda terpelajar terdapat suatu perasaan yang kuat bahwa Islam tengah menghadapi ancaman dan tekanan dari luar sehingga harus berjuang untuk melawan hal tersebut bagaimanapun caranya.

Studi Sirry yang ia tuangkan dalam buku Pendidikan dan Radikalisme menyimpulkan bahwa tidak ada jalur tunggal menuju radikalisasi dan tidak ada pola khas untuk mengetahui seorang individu melalui tahap-tahap radikalisasi. Karena jalur-jalur menuju radikalisasi tidaklah bersifat monolitik, penting juga untuk melihat ragam hubungan antara radikalisasi dan kejahatan terorisme.

Seperti juga di belahan dunia lain, intoleransi agama dan radikalisme di Indonesia tengah menjadi perhatian utama negara. Sekalipun buku ini menempatkan temuan-temuannya dalam perdebatan yang ekstensif, buku ini tidak berpretensi hendak menguji efektivitas intervensi negara maupun lembaga non-pemerintahan dalam penanganan radikalisasi di kalangan anak muda.

Tetapi, buku ini setidaknya menjadi alarm bagi kita semua bahwa dunia pendidikan tentu bisa menjadi lahan subur bagi berkembangnya embrio ekstremisme sekaligus bagaimana mengonternya dengan langkah-langkah konkrit terutama upaya preventif terhadap faktor-faktor utama yang menyebabkan kalangan muda terpapar paham radikal.

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Alumni Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya, Penikmat kajian keislaman, pendidikan Islam, pemikiran dan filsafat Islam, sosiologi dan studi Al-Qur'an.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru