26.7 C
Jakarta

Meredam Polarisasi, Merajut Persatuan Kembali

Artikel Trending

Milenial IslamMeredam Polarisasi, Merajut Persatuan Kembali
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Rekaman kolektif tentang perseteruan pada Pilpres 2019 silam masih menyisakan trauma sebagian kalangan. Banyak pihak yeng ingin menghapus sekat atau polarisasi akibat momentum tersebut. Namun, tidak sedikit pula yang ambil keuntungan dari perpecahan, bahkan terus menambah propaganda agar masyarakat Indonesia tidak pernah bersatu. Persatuan akan menciptakan kedaulatan dan kemakmuran, maka pihak yang anti-NKRI terus menciptakan polarisasi masyarakat.

Untuk diketahui, retorika polarisasi yang digunakan masing-masing pihak selama Pilpres 2019 lalu sangat nyata berkontribusi pada rekor jumlah pemilih; sekitar 80 persen (Alexander Arifianto, 2019). Namun, tidak banyak yang melakukan pembacaan ekstensif bahwa strategi polarisasi berbasis agama yang digunakan selama Pemilu berdampak jangka panjang terhadap iklim politik masyarakat Indonesia. Bahkan ketika periode kedua Jokowi hampir selesai, perpecahan masyarakat masih sangat kentara.

Oleh karena tidak berjalan di ruang hampa, maka dapat disimpulkan bahwa tengah lahir poros baru Islam dan politik di Indonesia saat ini. Para islamis garis keras terus menantang Jokowi selama masa jabatan lima tahun terakhirnya sebagai presiden Indonesia. Namun, jika Jokowi memutuskan untuk menindak mereka, itu dapat mengakibatkan dekonsolidasi demokrasi Indonesia lebih lanjut, yang akan menjadi kemunduran dalam lintasan Indonesia sebagai negara demokrasi mayoritas Muslim.

Singkatnya, kita hidup di era di mana ketidaktahuan tentang Islam semakin dieksploitasi untuk memecah belah orang dan melemahkan tatanan masyarakat majemuk. Dehumanisasi seluruh komunitas keagamaan melalui stereotip dan bahasa kebencian tidak hanya mengakibatkan pelanggaran HAM, tetapi juga kekerasan dan hilangnya nyawa (Ali S. Asani, 2020). Akibat polarisasi, kerukunan menjadi sesuatu yang nihil. Satu sama lain saling enggan dan tentu ini merupakan masalah besar.

Meredam polarisasi dan merajut persatuan kembali, dengan begitu, adalah niscaya. Kecil atau besar, sebentar atau lama, sekat antarsesama adalah masalah. Meredam polarisasi menjadi langkah strategis untuk menyembuhkan luka lama dan kemudian bersatu untuk kemaslahatan bangsa. Masyarakat tidak boleh larut oleh polarisasi dalam segala rupanya; politik, sosial, dan agama. Umat beragama, terutama Muslim, harus bersatu. Sementara pemecah belah di antara mereka harus ditindak tegas.

Umat Islam Bersatu!

Tidak ada yang sulit dari persatuan kecuali bahwa setiap orang atau pun kelompok memiliki kepentingannya sendiri. Di sini penting untuk dikatakan bahwa pada momentum Pemilu di mana pun, kekubuan merupakan konsekuensi logis. Dalam perspektif itu, polarisasi tampak sebagai risiko kecil dibanding perang sipil, misalnya. Namun begitu, jika polarisasi terus membengkak dan tak kunjung menemukan titik penyelesaian, pada akhirnya konflik horizontal tidak akan bisa terelekkan.

BACA JUGA  Melawan Otoritarianisme-Radikalisme dengan Tradisi Kritisisme

Di Indonesia dengan penduduk mayoritas Muslim, polarisasi terjadi antardua kelompok yang kontras secara politis maupun ideologis. Polarisasi akibat politik boleh jadi bersifat sementara dan sembuh setelah Pemilu, tetapi polarisasi ideologis menjadi masalah yang berkepanjangan. Umat Islam jadi terkotak pada dua kubu berlawanan; koalisi dan oposisi, hak dan batil, mukmin dan kafir, dan sebagainya. Intinya satu, umat Islam tidak rukun antarsesama Muslim.

Untuk itu, komitmen persatuan harus berada di atas seluruh kepentingan. Umat Islam tidak boleh terpecah karena urusan politik elektoral belaka. Namun jika persoalannya adalah pertentangan ideologis, polarisasi bisa diatasi melalui kesadaran berbangsa dan bernegara. Bahwa di Indonesia, perbedaan bukanlah masalah. Yang menjadi masalah ialah ketidakterimaan atas perbedaan tersebut dan menyemarakkan perpecahan melalui egoisme antarkelompok.

Ketika bersatu, gangguan apa pun akan bisa diatasi. Bayangkan jika umat Muslim di negara ini tidak punya sekat ideologis yang memengaruhi kerukunan mereka; aman, damai, dan tenteram. Tidak akan ada yang mampu mengusik, apalagi menebarkan propaganda. Kendati hal itu tampak mustahil, paling tidak dengan bersatunya umat di bawah panji “Islam wasathiyah”, polarisasi dapat ditekan seminimal mungkin. Dan yang tak kalah penting, sumber penyebab polarisasi harus ditindak.

Tindak Pemecah Belah!

Ini penting untuk disadari bahwa tidak semua polarisasi terjadi sebagai residu demokrasi. Misalnya, sementara kalangan menyalahkan presidential threshold sebagai biang keladi polarisasi. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya salah, namun juga tidak dapat sepenuhnya dibenarkan. Sebagian polarisasi terjadi karena sengaja diciptakan untuk kepentingan tertentu. Misalnya, untuk mengubah sistem pemerintahan, pertama harus dibuat propaganda bahwa sistem lama tidak efektif.

Dengan begitu, masyarakat akan terpolarisasi. Dan untuk melestarikan perpecahan, propaganda dijalankan secara kontinu bahwa suatu sistem tidak lagi relevan dan diperlukan sistem baru yang lebih representatif. Dari situlah, pembengkakan terjadi. Bayangkan umat Muslim di Indonesia tidak lagi terpolarisasi sebagai cebong vs kampret, melainkan Islam vs kafir atau Islam vs kapitalis-sekuler. Ada aktor yang mendesain polarisasi. Selama ini, mereka jarang tersorot.

Karena jarang tersorot, aktornya tidak ditindak dan polarisasi semakin ke sini semakin membesar. Bagaimana cara merajut persatuan kembali boleh jadi dirindukan seluruh pihak. Namun, jika polarisasi tidak diredam dengan menindak aktor-aktor di baliknya, keadaannya akan semakin memburuk. Ini jelas. Untuk itu, yang paling penting dari upaya meredam polarisasi dan merajut persatuan adalah mengondisikan para pengganggu dan meletakkan mereka ke penjara. Tidak ada cara lain.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru