33.5 C
Jakarta

Menyikapi Radikalisme Digital dengan Kecerdasan Intelektual, Emosional, dan Spiritual

Artikel Trending

KhazanahPerspektifMenyikapi Radikalisme Digital dengan Kecerdasan Intelektual, Emosional, dan Spiritual
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Di tengah derasnya arus digital, banyak manusia yang lebih mempercepat ujung jemari daripada nalar pikir serta etika dalam berpijak di dunia maya. Hal tersebut adalah salah satu bentuk penjajahan halus serta pengikisan kecerdasan nalar pikir serta moral seseorang. Jika hal tersebut tidak kita sadari dan ditindaklanjuti bersama, tentu akan mengakar dan menjamur.

Ironinya, banyak sekali kepentingan politik yang menuangkan ide kemajuan kelompok berkedok dakwah. Hal itulah yang sering disebut sebagai Islam radikal. Ajaran yang dibawa sebagai bentuk pembelokan kemurnian agama Islam sebagai agama kedamaian menjadi agama kekerasan.

Fanatisme buta yang dibangun membuat orang terbawa arus pembenaran bukan mencari kebenaran yang sesungguhnya. Minim literasi kaum digital yang bersorak ria menuangkan segala pembenarannya di dunia digital menjadi masalah serius tanpa dibarengi dengan kemunculan kaum intelektual, cendekia dan tokoh-tokoh Islam kepingan-kepingan Walisongo.

Telah dikatakan bahwasannya teknologi ibarat dua mata pisau yang sangat tajam. Dia akan mampu memberikan nilai positif apabila di tangan orang yang berpegang teguh pada nilai kebenaran, tapi sebaliknya apabila dipegang orang yang mengabaikan nilai kebenaran justru akan memberi nilai negatif bahkan berdampak fatal.

Di sinilah, perlunya potensi kaum intelektual, cendekiawan, akademisi bahkan semua insan terdidik ikut andil dalam menanggulangi bertambahnya benih-benih radikalisme.

Memasuki dunia digital, tidaklah cukup bermodalkan kegesitan dalam mengomentari bahkan mengkritik segala sesuatu, melainkan perlunya mengimplementasikan keseimbangan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional spiritual dalam menapaki dunia digital.

Bagaimanapun, manusia dalam abad ini tak bisa lepas dari transformasi digital, semua subjek-subjeknya layaknya menyelami lebih dalam penggunaannya agar senantiasa selaras dengan tujuan transformasi tersebut.

Kiai Mohammad Nuh dalam orasi ilmiah pernah menegaskan bahwa saat ini transformasi digital bukanlah suatu pilihan, melainkan suatu keharusan. Dari pernyataan singkat tersebut menunjukkan bahwa digitallah yang akan menjadi wadah bersama berpijak dalam dunia modern.

Jika kita masih memilih berjalan di tempat, maka secara otomatis zaman akan meninggalkan kita dalam suatu belenggu kebutaan digitalisasi. Efek negatifnya paham radikalisme akan terus berekspansi sebebas mungkin. Tentunya hal tersebut dapat menjajah kebangsaan dan keislaman yang rahmatal lil ‘alamin.

Dalam menyikapi hal tersebut, pentingnya mempertahankan keutuhan ajaran yang berasaskan nilai-nilai luhur toleransi, kerukunan, dan gotong royong. Kecerdasan intelektual sangat dibutuhkan sebagai benteng pertahanan yang harus dimiliki setiap insan dalam memfilter derasnya informasi yang melintas dalam dunia digital. Pemikiran kritis sangat diperlukan agar tidak mudah mengambil mentah-mentah informasi dari suatu ajaran.

Kita sebagai pelaku digital atau dengan kata lain subjek digital harus menyadari dan mampu membedakan berbagai macam bentuk ajaran yang memicu perpecahan maupun ajaran yang murni sebagai agama kedamaian.

Hal tersebut tentunya didapatkan dengan terus mempertajam kecerdasan intelektual dengan belajar kepada guru yang sahih sanadnya sampai Rasulullah Saw. ataupun dengan terus menyelami berbagai wawasan dan memperkaya literasi. Manusia yang lebih mengedepankan kritik tajam pendapat lain dengan membenarkan paham sendiri karena minim literasi akan mudah terbawa arus Islam radikal.

BACA JUGA  Filter Bubble: Penyebaran Radikalisme Dunia Maya yang Harus Diwaspadai

Rasulullah Saw. sendiri dalam mengajarkan agama Islam kepada umat manusia tidak pernah dengan cara kekerasan melainkan dengan tutur lembut, sikap ramah serta memberi suri teladan yang baik sehingga hati mudah untuk menerima ajaran yang dibawa. Adapun bagi yang tidak mau mengikuti ajaran yang dibawa, beliau tidak memaksa.

Hal tersebut dijelaskan dalam surah Yunus ayat 99-100. “Seadainya tuhanmu menghendaki, tentulah semua orang di bumi seluruhnya beriman. Apakah engkau (Nabi Muhammad SAW) akan memaksa manusia hingga mereka menjadi orang-orang mukmin? Tidak seorangpun beriman kecuali dengan izin Allah dan dia menimpakan azab kepada orang-orang yag tidak mau mengerti.

Hal serupa juga dicontohkan oleh Walisongo dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa dengan menggunakan sistem pendekatan akulturasi. Dengan pendekatan tersebut walisongo memberi edukasi bahwa Islam bukanlah agama yang mengajarkan kekerasan, melainkan agama yang mengajarkan kedamaian dan toleransi.

Metode dakwah yaang digunakan tersebut yaitu dengan mengedepankan keseimbangan kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional spiritual. Berbekal intelektual Islam yang dalam, Walisongo tidak serta merta memberantas ajaran yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.

Mereka menggunakan kecerdasan emosional dan spiritual kepada masyarakat dengan membaca situasi masyarakat setempat kala itu dan mempertahankan adat-adat yang sekiranya tidak menyimpang.

Luasnya wawasan dan cakrawala sebagai bentuk kecerdasan intelektual itulah yang mengantarkan Walisongo pada sikap toleransi sebagai bentuk kecerdasan emosional serta spiritual yang dapat mengambil nilai-nilai ajaran Islam rahmatal lil ‘alamin.

Semakin luasnya ilmu pengetahuan akan sedikit menyalahkan keadaan, namun senantiasa menganalisa, mengamati, memberikan solusi serta menyikapi segala bentuk tantangan dengan pemikiran jernih. Dengan itu, manusia mampu menyelami nilai-nilai di balik tabir perbedaan dengan mengajak tanpa mengejek dan membina tanpa menghina.

Hal itulah yang harus diperhatikan seluruh elemen masyarakat digital untuk senantiasa mempertajam kecerdasan intelektual dengan kerja keras, kesungguhan serta belajar membaca situasi dan kondisi setiap zamannya. Terlebih, sebagai subjek digital harus melek teknologi dengan berupaya memberikan suara dan menuangkan nilai-nilai luhur toleransi dan kerukunan di tengah perbedaan pendapat dan keberagaman di Indonesia.

Sejatinya semakin tajam kecerdasan intelektual seseorang, semakin sedikit pula tingkat reaktifnya melihat hal yang dihadapi karena memahami khilafiyah-khilafiyah ataupun furu’ yang ada dalam Islam.

Seiring dengan itu, kecerdasan emosional akan berperan penting sebagai pengendali diri dan kecerdasan spiritual sebagai penuntun diri menyelami nilai-nilai adab dan moralnya. Jika hanya bertumpu pada kecerdasan intelektual tanpa keseimbangan emosional dan spiritual, maka akan membawa manusia pada arus intoleransi dan sikap menyalahkan tanpa pengendalian diri.

Begitu juga sebaliknya, jika hanya bertumpu pada kecerdasan emosional spiritual semata, maka akan mudah terbawa arus radikalisme karena fondasinya belum kokoh.

Keseimbangan tersebut sangat dibutuhkan untuk membangun ruang gerak dunia digital yang sehat, harmonis serta nyaman tanpa kekerasan. Perpaduan kecerdasan itulah sebagai upaya mengikis benih-benih pemahaman Islam radikal yang semakin berekspansi luas di bumi. Wallahu a’lam bi al-shawab.

Hidayatun Qudsiyah
Hidayatun Qudsiyah
Alumni pesantren yang hobi nulis, bukan sastrawan namun pencinta sastra. Penikmat gemercik air.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru