34.4 C
Jakarta

Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI Luncurkan Policy Paper Penanganan Perempuan dan Anak Terasosiasi FTF

Artikel Trending

AkhbarNasionalProgram Studi Kajian Terorisme SKSG UI Luncurkan Policy Paper Penanganan Perempuan dan...
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Program Studi Kajian Terorisme Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Univeristas Indonesia Jakarta, 5 September 2023 menyelenggarakan acara Launching Policy Paper bertemakan Penanganan Repatriasi Perempuan dan Anak Terasosiasi Foreign Terrorist Fighters (FTF).

Acara bertempat di Gedung IASTH, animo masyarakat dari berbagai kalangan seperti organisasi masyarakat sipil, akademisi dan stake holder kementerian dan lembaga pemerintah serta publik cukup menarik perhatian, baik luring maupun daring.

Sejak konflik Suriah dan munculnya kelompok organisasi terorisme ISIS muncul di tahun 2014, diperkirakan sebanyak hampir 1800 orang WNI pergi untuk bergabung dengan mereka di Suriah dan Irak. Kepergian WNI sebanyak itu, tentu membuat pertanyaan mengapa pemerintah Indonesia bisa kecolongan untuk menghentikan warga negaranya keluar dan bergabung dengan kelompok teroris dunia.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya 2017 pemerintah mendapatkan sedikit guncangan karena tiba-tiba sebanyak lebih dari 500 orang WNI dideportasi dari beberapa negara seperti Turki, Singapura, Filipina, Thailand dan Hongkong karena diduga terlibat dengan kelompok ekstremis yang berafiliasi dengan ISIS melalui social media dan permasalahan administrasi lintas batas lainnya.

Ancaman berupa masuknya ideologi baru dari ISIS di Suriah dan Irak ke Indonesia membuat pemerintah sempat menutup akses para WNI untuk dapat kembali ke Indonesia.

Pada 2021 lalu, pemerintah mengeluarkan pernyataan memberikan opsi pemulangan WNI dari pengungsian di Suriah dan Irak bagi anak-anak yang berusia 10 tahun kebawah. Wacana ini pun bergulir dan memunculkan pro dan kontra di semua kalangan karena dianggap kebijakan tersebut tidak sesuai dengan prinsip hukum perlindungan anak di Indonesia serta hak anak-anak yang tidak bisa dipisahkan dari orang tua kandung ataupun wali yang sah mereka.

Selain itu, menurut data Satgas BNPT Warga Negara Indonesia kategori perempuan ada sekitar 181 orang dan 135 pada kategori anak-anak yang terasosiasi FTF yang berada di kamp yang dikuasai oleh milisi Kurdi di Suriah (SDF). Secara keseluruhan tempat dan kondisi khusus untuk anak-anak sangat memprihatikan dan mereka adalah orang-orang yang perlu mendapat perhatian oleh negara asalnya.

Hal ini disebabkan karena mereka mengalami kekerasan oleh kelompok yang memiliki otoritas di lokasi pengungsian tersebut, Jika melihat hal ini maka hak seorang anak sudah sangat diabaikan dimana mereka dipisahkan dengan saudara dan ibunya hanya untuk menjalani hukuman yang tidak seharusnya diterima oleh anak yang berusia masih sangat muda.

Melihat kondisi tersebut, masalah warga negara yang tidak memiliki kejelasan status terutama anak-anak dan nasib mereka yang seharusnya dapat dipulangkan ke negara asalnya, menjadi perhatian dunia terutama Dewan Keamanan PBB.

Berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB (UNSCR) 2178 disebutkan bahwa setiap negara anggota PBB diminta untuk memperhatikan warga negaranya dan dapat mencegah mereka untuk berangkat ke negara konflik atau menyiapkan mekanisme untuk menerima mereka kembali.

Untuk menjawab tantangan tersebut, maka tim peneliti dari prodi kajian terorisme menuangkan dalam penelitiannya yang dikemas menjadi polic paper dengan memberikan beberapa rekomendasi dan solusi alternatif diantaranya yaitu Pertama adanya political will dari pemerintah dibuktikan dengan pembaruan terhadap Peraturan Keputusan Menteri Polhukam No. 100 tentang Satgas FTF harus segera dilakukan.

BACA JUGA  Bahas Kebobrokan Negara, Ribuan Pemuda Mengikuti Indoktrinasi HTI di TMII

Kedua Pendirian Pusat Rehabiltasi dan Deradikalisasi di Luar Negeri dan dalam negeri. Ketiga Penyiapan mekanisme Risk Asessment dan Kebutuhan. Ketiga menciptakan program Sistem Adopsi Anak Terintegrasi (SAAT).

Dalam diskusi peluncuran policy paper Zora A. Sukabdi selaku ketua tim peneliti menyatakan bahwa rekomendasi ini diberikan agar pemerintah dapat memenuhi obligasi terhadap perlindungan HAM khsuusnya terhadap anak-anak karena Indonesia sudah meratifikasi Konvensi HAM.

Policy paper ini diambil datanya dari FGD para stakeholders di SKSG UI beberapa waktu lalu. Di sana ada pro-kontra tentang pemulangan perempuan dan anak yang terasosiasi FTF,” ujarnya.

Peraturan Perundang-Undangan sudah menjelaskan WNI berhak pulang ke Indonesia. Jika WNI tidak diberikan kesempatan pulang, potensi mereka memasuki Indonesia dari jalur ilegal lebih besar. Indonesia membutuhkan kerjasama regional seperti tertera dalam UNSCR 2396 tahun 2017.

Dalam kesempatan diskusi, Ketua Prodi Kajian Terorisme, Muhamad Syauqillah Ph.D mengatakan bahwa tantangan repatriasi memiliki tantangan yang cukup pelik, antara lain; kamp yang dikuasai kelompok kurdi, dimana Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik, political will dari pemerintah karena saat ini berada di tahun politik, hingga bagaimana menciptakan sinergi antarkementerian/lembaga dan masyarakat.

“Ini merupakan masukan bahwa nanti ketika pemerintah hendak melakukan repatriasi anak-perempuan FTF, sebagai penguat milestone pemerintah. Namun semua itu tetap kembali kepada political will pemerintah dalam hal repatriasi itu sendiri. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, baik secara regulasi maupun lainnya,” terangnya.

Sejalan dengan itu, Dr. Sri Yunanto juga menegaskan bahwa WNI adalah WNI, kalau mereka terbukti WNI maka dapat pulangkan sebagai obligasi negara, namun perlu dicatat kerentanan yang ada ketika opsi pemulangan dilakukan.

“Repatriasi ini tentang komplikasi hukum. Untuk itu, harus ada profiling terhadap ratusan WNI yang hendak dipulangkan. Takut ada yang kumat ketika sudah di tanah air. Faktanya, kita menangangi teroris dalam negeri saja sudah lengah, tidak terbayangkan jika ada pendatang lagi yang semakin menambah medan terorisme dan ancamannya di Indonesia,” terangnya.

Kombel Pol. Dr. Didik Novi Rahmanto Ketua Satgas FTF BNPT menanggapi dari sisi kesiapan pemerintah, political will memang menjadi core dalam repatriasi perempuan dan anak terasosiasi FTF, negara setuju bahwa isu ini penting dibahas, sehingga peraturan Kemenko Polhukam No. 100 tentang FTF yang berakhir pada 2020, sudah diperbaharui dengan terbitnya Kemenko Polhukam No. 90 tentang Repatriasi FTF pada 3 Agustus 2023.

“Tekanan nasional untuk repatriasi cukup tinggi namun tetap menunggu political will pemerintah. Maka kami di BNPT menyambut baik solusi dalam policy paper ini. Namun perlu telaah yang lebih Panjang lagi karena operasinya lebih kompleks, terutama payung hukum deradikalisasi.,” terangnya.

Harakatuna
Harakatuna
Harakatuna.com merupakan media dakwah berbasis keislaman dan kebangsaan yang fokus pada penguatan pilar-pilar kebangsaan dan keislaman dengan ciri khas keindonesiaan. Transfer Donasi ke Rekening : BRI 033901002158309 a.n PT Harakatuna Bhakti Ummat

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru