34.6 C
Jakarta

Umat Islam Tidak Boleh Terpecah Demi Politik, Mengapa?

Artikel Trending

Milenial IslamUmat Islam Tidak Boleh Terpecah Demi Politik, Mengapa?
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Gonjang-ganjing politik di negara ini semakin terasa. Semakin mendekati Pemilu 2024, masyarakat mulai terkotak-kotakkan sesuai pilihan mereka. Ada tiga bakal calon presiden yang akan bertanding pada Pilpres mendatang. Ketiganya sudah sama-sama punya partai dan massa. Masing-masing pendukung sudah saling unjuk gigi di hadapan publik dan media sosial. Bagaimana nasib umat Islam menuju tahun politik?

Pasca-deklarasi Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai capres-cawapres, Minggu (3/9) kemarin, umat Islam semakin memanas dalam hal pandangan politik. Luka-luka lama mencuat ke publik, dan bau-bau polarisasi semakin tercium. Ini tentu saja merupakan sinyal buruk, bahwa demokrasi yang seharusnya melahirkan keadilan justru kerap menjadi ujian persatuan. Padahal, umat Islam di negara ini tidak boleh terpecah.

Negara ini ada, utamanya, berkat perjuangan umat Islam melawan penjajah. Negara ini juga berdiri dengan damai di tengah pluralitas juga berkat kelapangan hati para founding fathers Muslim waktu itu. Andai saja mayoritas umat di saat perumusan sistem pemerintahan menghendaki kekuasaan mutlak Islam, keragaman hari ini boleh jadi tidak ada. Maka, jika hari ini terpecah, efeknya akan sangat buruk.

Politik identitas dan politisasi agama, itulah dua istilah yang sering kali menggema saat musim Pemilu. Kelompok A menggunakan agama untuk menggaet simpati pendukung, sementara kelompok B menggunakan narasi-narasi A sebagai konter-narasi politik. Masalahnya bukan tentang pembimbingan umat: ternyata si B juga tengah berkampanye dengan cara menjelekkan si A. Ini yang sedang marak terjadi.

Perpecahan Dalang Kehancuran

Pada Pilpres mendatang, perlu digarisbawahi, yang diperebutkan adalah suara umat Islam. Ini sudah rahasia umum. Sebagai mayoritas, suara Muslim selalu menjadi rebutan para capres. Untuk itu, segala jurus dipakai. Dan karena pilihan berbeda antara sesama umat Islam, masing-masing saling klaim kebenaran atas pilihan politiknya sendiri. Yang dikorbankan, dari cekcok tersebut, adalah kerukunan.

Pada saat yang sama, buzzer politik semakin memperkeruh keadaan. Narasi Pemilu pun menjelma sebagai konflik agama—konflik antarpendukung yang menggunakan agama sebagai sarana. Alih-alih bersatu, umat Islam malah terpecah. Ironisnya, sedikit sekali dari mereka yang menyadari bahwa perpecahan tersebut akan mengundang petaka: kehancuran. Hancur marwah Islam, hancur juga persatuannya.

Apakah dalang dari semua ini adalah Anies, misalnya? Tidak. Ancaman perpecahan umat ini tidak dapat ditodongkan pada satu pihak. Dalam konteks politik terkini, perpecahan juga diciptakan oleh lawan Anies. Polarisasi Pilpres 2019 masih dibawa-bawa hingga kini dan diungkit sebagai pemantik perpecahan dukungan umat. Seorang menteri, misalnya, baru-baru ini, memprovokasi hal tersebut—padahal dirinya juga tidak ada bedanya.

BACA JUGA  Kemajuan Bangsa-Negara Tidak Lahir dari Sistem Khilafah

Bahwa perpecahan merupakan dalang kehancuran, semua orang menyadarinya. Namun hasrat politik membuat mereka tidak berpikir panjang bahwa jauh di atas kepentingan elektoral, persatuan umat adalah sesuatu yang mesti dipertaruhkan. Jika pesta demokrasi melahirkan intrik politik pemecah-belah umat, setiap Muslim tidak dapat untung apa-apa. Yang gembira justru musuh Islam itu sendiri. Ironi.

Musuh Akan Gembira

Siapa yang diuntungkan jika umat Islam terpecah sebab politik? Jawabannya, mereka yang selama ini diam-diam membenci Islam. Menarik untuk dicatat, di negara yang luas dan masyarakat yang moderat ini, ada beberapa kalangan yang ingin umat Islam pecah. Kendati di hadapan publik mereka tampak berempati dengan Islam, di belakang layar boleh jadi sebaliknya. Ini yang jarang disadari bersama.

Lantas, apa solusi yang dapat ditawarkan untuk mengantisipasi perpecahan umat Islam akibat politik? Sedikitnya ada tiga hal yang dapat diupayakan. Pertama, penguatan pendidikan politik. Kedua, bijak bermedia sosial. Ketiga, pemantauan isu-isu politik yang sensitif. Tentu masih banyak hal-hal lain yang bisa mengatasi perpecahan umat karena politik, namun tiga hal tadi merupakan prioritas.

Sebagaimana diketahui bersama, literasi politik di negara ini sangat rendah. Demokrasinya illiberal, yang membuat masyarakat terpolarisasi ke dalam dualisme kelompok: benar atau salah, hitam atau putih, Islam atau kafir, nasionalis atau religius, dan lainnya. Padahal masing-masing term itu tidak kontradiktif, namun dihadap-hadapkan seolah satu sama lain tidak pernah bisa bersatu. Kalau tidak A, maka B. Serendah itu literasi politiknya.

Karena itu, pendidikan politik dapat menjadi solusi yang efektif. Literasi politik yang rendah akan melahirkan ketidakbijakan penggunaan media sosial. Maka dua langkah ini sebenarnya tidak dapat dipisahkan. Orang yang bijak bermedia sosial, dengan tidak melakukan hate speech, tidak menyebarkan hoaks, dan lainnya, itu karena mereka literasi politiknya sudah mumpuni dan tidak terjerembab dalam hitam-putih kebenaran.

Apakah dua langkah itu cukup? Langkah yang terakhir, yakni pemantauan, dapat menjadi upaya agar umat Muslim terus di rel persatuan dan kerukunan—kendati didesak oleh kepentingan politik apa pun. Musuh umat tidak boleh sampai dibuat gembira karena berhasil memecah-belah Islam.

Terakhir, mungkin dapat direfleksikan bersama, apakah sikap Partai Demokrat yang menggunakan narasi shiddiq dan amanah—yang notabene sifat Rasul—untuk menjelekkan lawannya dapat disebut sinyal keterpecahan umat akibat politik? Benar sekali. Itu tanda-tanda awal. Ke depan, tantangannya semakin besar. Seluruh umat penting untuk memegang prinsip bahwa politik harus selaras dengan persatuan, perdamaian, dan anti-perpecahan.

Wallahu A’lam bi ash-Shawab…

Ahmad Khoiri
Ahmad Khoiri
Analis, Penulis

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru