30.8 C
Jakarta

Filter Bubble: Penyebaran Radikalisme Dunia Maya yang Harus Diwaspadai

Artikel Trending

KhazanahPerspektifFilter Bubble: Penyebaran Radikalisme Dunia Maya yang Harus Diwaspadai
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF

Harakatuna.com – Saat ini setiap ruang gerak dalam dunia maya selalu terkukus melalui variasi konten yang disediakan oleh media sosial (medsos) sehingga hal tersebut diarahkan oleh algoritma konten yang sering dilihat dan hal itu memiliki efek yang dominan kepada personalisasi algoritma.

Oleh karena itu, medsos mengarahkan kepada tautan yang sering dilihat dan hal tersebut tentunya membelenggu pemikiran dengan konten-konten yang diminatinya serta menjebak ruang pandang masyarakat.

Sebenarnya algoritma ini terdengar biasa saja dan tidak berbahaya, bahkan cenderung membantu pengguna dalam mencari dan menemukan konten yang mereka sukai di internet.

Sayangnya, algoritma semacam ini justru dapat mengisolasi penggunanya terhadap berita yang terjadi di luar gelembung informasi (filter bubble) yang mereka miliki. Pada akhirnya, justru algoritma ini tidak dapat membuat penggunanya berkembang atau mengetahui informasi yang lebih luas karena algoritma sistem pencari maupun platform medsos yang mereka gunakan secara tidak “terlihat” memblok informasi yang mereka justru butuhkan.

Melihat fenomena tersebut merupakan suatu hal yang rawan ketika dihadapkan kepada orang yang sedang ingin belajar agama dengan mencari referensinya berasal dari medsos yang menyediakan kepraktisan konten. Algoritma ini juga menyebabkan terjadinya fenomena echo chamber, yang mengarahkan kepada pengguna internet yang memiliki kesukaan akan suatu topik tertentu.

Sistem akan sering mempertemukan atau melihatkan dengan pengguna yang memiliki topik kesukaan yang sama. Kembali lagi, bahwa fenomena ini terlihat tidak memiliki dampak berbahaya justru terlihat seperti memudahkan penggunanya. Akan tetapi, di balik itu dapat memicu pembiasan kognitif.

Bahkan, ia dapat mempersempit cara pandang terhadap suatu topik karena sistem tersebut mempertemukan dengan pengguna lain yang memiliki opini dan topik kesukaan yang serupa. Ia menciptakan suatu pembenaran sepihak dari sebuah opini yang disukainya.

Fenomena echo chamber akan menjadi nyata ketika mereka mengemukakan pendapat mereka secara terus-menerus. Mereka percaya bahwa itu benar, padahal apa yang mereka kemukakan hanya berputar-putar saja di lingkup mereka sendiri. Mirisnya, sistem bahkan membantu mereka untuk menghilangkan atau menyembunyikan topik yang bertentangan dengan apa yang mereka sukai.

Hal tersebut didukung oleh pendapat Wisnuhardana (2018) yang menyatakan bahwa fenomena echo chamber memungkinkan bagi setiap individu untuk saling mengisi dengan individu lain yang memiliki pandangan, sikap, preferensi yang sama atas suatu topik dan objek.

Oleh karena itu, dari ruang gerak yang terbatas ini menghasikan suatu rasa nyaman yang mengakibatkan pengguna tidak kreatif atau penasaran dengan hal baru. Dengan munculnya rasa nyaman tersebut pengguna bisa jadi jauh lebih fanatik dan tidak terbuka akan hal baru. Sehingga, ia memicu misleading karena ketidaksesuaian konten atas apa yang sudah diyakini.

Ancaman Radikalisme

Hal ini apabila dikaitkan akan menjadi ancaman ketika masyarakat ingin belajar agama akan tetapi memanfaatkan medsos sebagai sarana. Mereka akan menemukan konten-konten radikal yang dibalut dengan penyuaraan agama fundamental. Tentunya hal ini akan menimbulkan kepercayaan dan kenyamanan dalam mempelajari radikalisme tanpa disadari oleh penikmat konten. Sehingga, mereka masuk dalam suatu bentuk indoktrinasi secara halus.

BACA JUGA  Merawat Kesinambungan Spirit Kebaikan-kebaikan Ramadan

Di sisi lain, pergerakan kelompok radikal dalam menyebarkan pahamnya telah beralih dengan menggunakan propaganda dalam media internet khususnya sosial media sebagai wadahnya. Dikutip dari Al-Jazeera diketahui bahwa Bahrun Naim sebagai pemimpin kelompok militan Katibah Nusantara dikatakan kini tengah berada di Raqqa, Suriah, ibu kota dari Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang mana setelah militan menguasai pada akhir 2013.

Dia melakukan aksi propaganda dan penyebaran ideologi teror. Tujuannya, menawarkan dorongan dan nasihat kepada mereka yang telah menyatakan kesetiaan kepada kelompok militan. Ia juga menjelaskan betapa mudahnya untuk berjihad, atau perang suci, dari “perang gerilya” di hutan Indonesia hingga mengarah ke sebuah kota.

Hal itu juga berkaitan dengan konflik yang terjadi di Palestina mengenai pasukan Hamas dan Israel. Konflik tersebut menjadi ladang dalam hal menyebarkan propaganda antarkelompok yang berdampak serius pada dunia melalui internet. Tak jarang akibat propaganda yang muncul menimbulkan berbagai aksi unjuk rasa pembelaan terhadap umat Islam sampai dengan penolakan berbagai barang dan jasa yang berkaitan dengan Israel.

Dari maraknya propaganda ketika banyak negara di Timur Tengah memperjuangkan nasionalisme dan independensi Palestina, para pengusung khilafah seperti Hizbut Tahrir hadir untuk turut memperjuangkan nasionalisme independensi Palestina dengan tujuan mempropagandakan sistem khilafah dengan menengarai pentingnya sistem tersebut.

Propaganda yang mereka bawa seolah membawa angin sejuk sehingga meyakinkan banyak orang atas khilafah. Dalih memperjuangkan kemerdekaan Palestina justru diarahkan kepada upaya penegakan sistem khilafah, yang diharapkan dapat memberikan perubahan menuju arah kebaikan.

Resolusi Era Kenyamanan Medsos

Radikalisme merupakan paham atau gagasan untuk melakukan perubahan sosial-politik menggunakan cara-cara ekstrem, termasuk terorisme. Mereka yang berpaham radikal mengalami perubahan cepat, drastis, dan tidak jarang menerabas sistem sosial yang telah berlaku di suatu negara atau wilayah tertentu.

Perkembangan paham radikal di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, kian mengkhawatirkan. Ini tidak terlepas dari pengaruh global. Gerakan radikal terus bertumbuh dalam skala lebih meluas dan masif sejalan dengan revolusi sarana media internet.

Algoritma ini mungkin tidak akan pernah dihilangkan. Ia melekat pada medsos yang menjadikannya menarik. Malah ke depan algoritma tersebut semakin kuat dari sisi relevansi dan presisi, hingga lebih peka dalam menyajikan konten bagi pengguna tanpa mengesampingkan intensi dari konten itu sendiri. Jika seperti itu, maka satu-satunya hal yang bisa kita lakukan adalah membekali diri kita sendiri untuk mengatasinya.

Cara yang paling mudah untuk mengatasi atau mengurangi efek filter bubble dan echo chamber tersebut adalah dengan mengedukasi diri. Sebagai contoh, mengenai penggunaan informasi, memanfaatkan fitur sortir konten yang ada, hingga melakukan pembersihan rutin akan histori pencarian pribadi yang sering kita gunakan.

Sebagai wilayah yang memeluk erat media sosial, mau tidak mau dan suka tidak suka harus pula bersiap membentengi diri dari dampak pengaruh global yang negatif, termasuk di dalamnya perkembangan radikalisme. Tepat jika pemerintah melakukan evaluasi atas persoalan radikalisme. Dengan evaluasi tersebut diharapkan pemerintah lebih mengenali substansi radikalisme dan dampaknya, lalu mewaspadainya.

Denny Firdaus
Denny Firdaus
Sarjana Sosiologi Universitas Airlangga Surabaya, Penulis buku,Podcaster, Duta Wisata Jawa Timur.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru