26.1 C
Jakarta

Menjadi Muslim Sejati dengan Meneladani Mbah Moen  

Artikel Trending

KhazanahResensi BukuMenjadi Muslim Sejati dengan Meneladani Mbah Moen  
Dengarkan artikel ini
image_pdfDownload PDF
Judul Buku: KH. Maimoen Zubair, Sang Maha Guru, Penulis: Dr. Jamal Mamur Asmani, M.A., Penerbit: Diva Press, Yogyakarta, Cetakan: I, 2021, Tebal: 218 halaman, ISBN: 978-623-293-531-0. Peresensi: Sam Edy Yuswanto.

Harakatuna.com – Mbah Moen merupakan panggilan akrab KH. Maimoen Zubair. Ia adalah salah satu sosok ulama berpengaruh di negeri ini yang layak dijadikan sebagai teladan oleh masyarakat luas. “Belajar sepanjang hayat” merupakan prinsip hidupnya.

Sebagaimana dijelaskan dalam buku ini bahwa Mbah Moen mengamalkan ajaran Islam yang mendorong manusia untuk belajar sepanjang hayat, mulai lahir sampai wafat. Doktrin agung yang diamalkannya inilah yang menjadikannya sosok alim yang luar biasa pemikiran, perjuangan, dan dedikasinya bagi dunia ilmu, pengembangan masyarakat, dan bahkan politik kebangsaan.

Mbah Moen lahir dari pasangan KH. Zubair Dahlan dan Nyai Mahmudah binti Kiai Ahmad bin Kiai Syuaib pada tanggal 28 Oktober 1928 M./1347 H. Kakek dan buyutnya, yaitu Kiai Ahmad dan Kiai Syuaib, memohon doa kepada KH. Faqih Maskumambang untuk mendoakan bayi yang baru lahir itu semoga menjadi anak yang bermanfaat bagi bangsa (hlm. 40).

Pendidikan paling menentukan Mbah Moen dimulai dari keluarga. Sejak kecil ia dalam pengawasan kedua orangtuanya. Sang ayah mendidiknya dengan serius. Sejak kecil ia dibiasakan menghafalkan kitab-kitab primer dalam kajian kitab kuning, yaitu kitab alat, khususnya tiga kitab utama, yaitu Matan al-Jurumiyah karya Imam as-Shanhaji, Nadham Imrithi karya Syekh Syarafuddin al-Imrithi, dan Alfiyyah Ibnu Malik karya Muhammad Jamaluddin bin Abdillah bin Malik al-Andalusi. Selain itu, ia juga belajar kepada sang ayah langsung kitab Fathul Qarib, Fathul Muin, dan Fathul Wahhab (hlm. 41).

Mbah Moen dikenal sebagai sosok pembelajar sejati. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya guru yang ia miliki untuk ditimba ilmunya. Sebagaimana dipaparkan penulis dalam buku ini bahwa Mbah Moen belum puas dengan ilmu yang diraih di Sarang.

Ia kemudian mengembara ke Pondok Pesantren Lirboyo Kediri (1945-1949 M) di bawah asuhan KH. Abdul Karim (Mbah Manaf), Kiai Marzuqi dan Kiai Mahrus. Kepada ketiga ulama alim ini ia belajar ilmu dan akhlak. Selain itu, Mbah Moen juga belajar kepada KH. Maruf Kedunglo Kediri yang dikenal waliyullah dan ahli riyadah.

Pada tahun 1949 Mbah Moen kembali ke Sarang dan langsung aktif mengaji di pondok. Ia juga mendirikan Madrasah Al-Ghazaliyah Asy-Syafiiyah dengan dibantu ayahnya, Kiai Zubair, Kiai Abdullah bin Abdurrahman, Kiai Musa bin Nurhadi, Ustaz Haramain Mashum, Kiai Ali Masyfu bin Kiai Fathurrahman, Kiai Abdul Wahhab bin Husain, dll. Madrasah Al-Ghazaliyah Asy-Syafiiyah ini mempertemukan para santri dari berbagai pesantren Sarang sehingga terbangun persaudaraan erat antarsesama santri Sarang tanpa terkotak dalam satu tempat (hlm. 42-43).

Semakin berilmu Mbah Moen justru semakin merasa kurang dengan berbagai ilmu pengetahun yang telah dikuasainya. Penulis mengisahkan, tidak puas dengan ilmunya, Mbah Moen mengembara ke Makkah tahun 1950 M. Di Makkah ia memiliki banyak guru yang dari mereka kelak diperoleh ilmu pengetahuan yang sangat luas dan beragam. Ketika Mbah Moen kembali ke tempat kelahirannya pun ia masih memiliki semangat tinggi dalam mencari ilmu. Ia tetap meluangkan waktu belajar kepada para ulama besar, yang dilakukan dengan cara talaqqi (bertemu langsung).

BACA JUGA  Mengoreksi Kaum Jihadis dalam Memahami Hadis

Dalam buku ini penulis juga menganalisis karakter Mbah Moen yang mengantarkannya menjadi sosok ulama besar. Di antara karakter Mbah Moen yang layak diteladani bersama antara lain sikap disiplin yang tinggi. Mbah Moen adalah sosok kiai dengan jadwal mengaji kepada para santri yang sangat padat, jadwal dakwah di tengah masyarakat yang padat, jadwal mengikuti acara partai yang padat, dan jadwal kenegaraan yang padat.

Semua aktivitas itu dilakukan secara disiplin. Salah satu yang mengagumkan adalah: ia tidak menomorduakan mengaji-membaca kitab kepada para santri. Secapek apa pun badan dan sesibuk apa pun kegiatan, tanggung jawab kiai sebagai pengasuh pesantren yang harus mendidik dan mengajar santri tetap dilakukan.

Berbakti kepada kedua orangtua juga mejadi ciri khas atau karakter Mbah Moen yang mengantarkannya menjadi sosok ulama berpengaruh. Berbakti kepada kedua orangtua merupakan ibadah bernilai luhur dan agung. Rida dan murka Allah ada dalam rida dan murka kedua orangtua. Jika keduanya rida, maka rida dan surga Allah menanti seorang anak. Mbah Moen termasuk anak saleh yang selalu berbakti kepada kedua orangtua yang telah berjasa besar dalam perjalanan hidupnya.

Mbah Moen selalu berusaha berbakti kepada kedua orangtua (birrul walidain) sepenuh hati sepanjang hayat masih di kandung badan. Salah satunya dengan cara menyambung silaturahim dengan para santri ayahnya yang sudah menjadi para ulama besar, seperti KH. MA. Sahal Mahfudh. Keduanya sangat akrab, saling menghormati posisi masing-masing dengan etika yang sangat tinggi (hlm. 53).

Karakter Mbah Moen berikutnya yang layak kita jadikan keteladanan dalam buku ini ialah tentang kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan yang begitu tinggi. Mbah Moen adalah sosok yang mencintai ilmu sepenuh hati, jiwa, dan raga. Cinta ilmu menjadikannya mengabdikan seluruh umur dan waktunya untuk ilmu, baik dengan membaca, mengajar, dan menyampaikan ilmu kepada masyarakat sepanjang hayat masih di kandung badan.

Ilmu adalah kunci utama kebangkitan umat Islam. Dalam satu hadits riwayat Baihaqi dijelaskan, “Bergegaslah menjadi orang yang punya ilmu (mengajar), atau orang yang belajar, atau orang yang mendengar, atau orang yang mencintai ilmu, dan jangan jadi orang yang kelima, maka engkau akan binasa”.

Terbitnya buku biografi Mbah Moen ini patut kita apresiasi. Melalui buku ini pembaca bisa membaca secara lebih detail tentang kisah perjuangan Mbah Moen dalam membangun negeri ini lewat pendidikan keagamaan.

Sam Edy Yuswanto
Sam Edy Yuswanto
Bermukim di Kebumen, tulisannya dalam berbagai genre tersebar di berbagai media, lokal hingga nasional, antara lain: Koran Sindo, Jawa Pos, Republika, Kompas Anak, Jateng Pos, Radar Banyumas, Merapi, Minggu Pagi, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, dll.

Mengenal Harakatuna

Artikel Terkait

Artikel Terbaru